Gardaasakota.com.- Anggota DPRD NTB dari PDI Perjuangan, Raden Nuna Apriadi, mempertanyakan kedudukan hukum Peraturan Gubernur NTB, H Lalu Muhamad Iqbal, tentang pergeseran anggaran TA 2025.
Pasalnya, menurut eks Ketua Fraksi Persatuan Perjuangan Restorasi (FPPR) DPRD NTB implikasi dari lahirnya Pergub 06 tahun 2025 yang dirilis Mei 2025 tersebut, program pokir eks anggota DPRD NTB sebesar Rp76 Milyar tersebut dikabarkan mengalami pergeseran.
“Berdasarkan informasi yang kami terima anggaran tersebut telah mengalami pergeseran anggaran bahkan by name by adress. Ternyata didalam perkembangannya setelah Pergub itu dikeluarkan, Rp76 Milyar ini utuh,” ungkap Raden Nuna Apriadi saat menggelar konferensi pers bersama Ketua Fraksi PPR, Made Slamet dan anggota DPRD NTB dari PDIP, Suhaimi, di Sekretariat DPC PDIP Kota Mataram, Rabu 17 September 2025.
Imbas dari tidak tersserapnya anggaran tersebut, akhirnya program tersebut diprogramkan kembali pada APBD Perubahan 2025 bahkan ada penambahan anggaran dari Rp76 Milyar naik menjadi Rp80 Milyar.
“Ini merupakan inkonsistensi belanja yang berdampak pada rendahnya serapan anggaran kita yang hanya mencapai sekitar 35 persen. Serapan anggaran itu sangat kecil sekali dan menjadi perhatian serius kita semua karena itu menyangkut pergerakan ekonomi masyarakat kita. Sebab kalau anggaran tidak terserap dengan baik maka ekonomi kita tidak jalan atau macet,” sorot Raden Nuna.
Ia mengkhawatirkan serapan anggarannya bakal dieksekusi pada akhir tahun sekitar November-Desember dalam kondisi dimana saat itu musim hujan.
“Apa ini merupakan strategi belanja?, tapi ini jelas tidak baik dan tidak produktif,” kata Raden Nuna.
Ia pun mempertanyakan kedudukan hukum terkait Pergub yang dikeluarkan Gubernur NTB terkait dengan pergeseran anggaran ini.
“Yang menjadi pertanyaan kami bagaimana kedudukan hukum terhadap Pergub terkait Pergeseran anggaran tersebut?,” katanya kritis.
Penggunaan BTT Juga Dipertanyakan
Selain menyoroti soal Pergub tentang Pergeseran Anggaran tersebut, ia juga menyoroti soal Belanja Tidak Terduga (BTT) yang dikhawatirkannya akan menjadi persoalan serius dikemudian hari.
“Penggunaan dana BTT harus memiliki tiga unsur yaitu adanya kebutuhan yang mendesak yang tidak bisa diprediksi, unsur lainnya ada kedaruratan, dan unsur kelebihan pembayaran penerimaan daerah,” ungkapnya.
Penggunaan dana BTT juga menurutnya harus betul-betul dipertanggungjawabkan berdasarkan rencana kebutuhan belanja.
“Kami sudah minta kepada TAPD untuk memberikan rincian penggunaan BTT ini sebab penggunaan BTT ini pengenaannya dibebankan kepada BTT itu dan ada yang melalui masing-masing OPD,” tegasnya.
Penggunaan BTT melalui OPD ini jelas didasari oleh adanya telaahan yang disampaikan kepada Gubernur.
“Ini yang harus menjadi perhatian agar jangan sampai belanja BTT masuk kedalam kegiatan yang tidak masuk kedalam tiga syarat unsur yang disebutkan tadi,” tegasnya.
Penggunaan BTT itu harus jelas laporan pertanggungjawabannya yakni satu bulan setelah penggunaan BTT itu.
“Kita ingin agar persoalan ini terbuka agar pertanggungjawabannya menjadi jelas. Dan kami tidak ingin BTT ini dipergunakan untuk kebutuhan lain yang tidak masuk kedalam ketiga kategori tadi karena ini bisa berimplikasi hukum,” tegasnya lagi.
Tolak Penyertaan Modal Rp8 M ke PT GNE
Sementara itu, Anggota DPRD NTB dari PDI P yang juga Ketua FPPR DPRD NTB, Made Slamet juga menyoroti kebijakan Gubernur Iqbal yang mengalokasikan anggaran sebesar Rp8 M kepada PT GNE sementara kondisi Perusahaan Daerah itu diduga tengah dirundung berbagai masalah.
“Ada masalah besar disana. Sementara audit dari BPK terhadap Perusda itu sampai sekarang belum ada,” sorot Made Slamet.
PDI Perjuangan sendiri menegaskan menolak adanya penyertaan modal sebesar Rp8 M kepada PT GNE dengan alasan adanya belitan masalah hukum yang diduga menjerat eks Direktur PT GNE. Alasan lainnya juga karena belum adanya audit BPK terhadap manajemen pengelolaan keuangan dan usaha perusda tersebut.
“Bahkan kabarnya perusda ini tidak bisa membayar pajak. Jangan sampai suntikan dana Rp8 M itu dipergunakan untuk membayar utang,” tegasnya.
Dalam sejarah berdirinya PT GNE, menurutnya awalnya Perusda ini bernama PT Wisayasa. Dan sejak awal berdirinya perusda ini tidak pernah memberikan kontribusi untuk daerah.
“Akan tetapi Daerah selalu memberikan suntikan dana. Jangan sampai muncul kesan perusda ini tempat penampungan tim sukses dan hanya membebani APBD saja,” sorotnya lagi.
Letak PT GNE yang berada ditengah-tengah Kota juga menjadi sorotannya.
“Masa ditengah Kota ada pabrik kayak gitu. Selain banyak perumahan elit disekitarnya, keberadaannya berada diperempatan jalan yang rawan kemacetan. Harusnya segera dievaluasi dan dikaji untuk dipindahkan keberadaannya ke daerah-daerah yang strategis,” sarannya. (GA. Im*)




















