Belajar dari Jawa Timur, Demi Pekerja Migran, Pemprov Jatim Kucurkan Miliaran Rupiah untuk Layanan Terpadu

Plt Kepala UPT Pelayanan dan Perlindungan Tenaga Kerja Disnakertrans Provinsi Jawa Timur, Purwanti Utami, S.Sos., M.Si., saat menerima kunjungan rombongan Press Trip Forum Wartawan Parlemen (FWP) DPRD NTB, bersama Diskominfotik, Sekretariat DPRD dan Disnakertrans NTB, Rabu (12/11/2025).

Gardaasakota.com.- Tidak banyak daerah di Indonesia yang mampu membangun Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) untuk pekerja migran dengan kehadiran penuh dari berbagai instansi strategis, termasuk imigrasi. Namun, Jawa Timur berhasil melakukannya. Dan di balik keberhasilan itu, ada kisah panjang perjuangan, komitmen anggaran, dan keseriusan koordinasi lintas lembaga yang dijaga rapat selama hampir satu dekade.

Hal itu diungkapkan Plt Kepala UPT Pelayanan dan Perlindungan Tenaga Kerja Disnakertrans Provinsi Jawa Timur, Purwanti Utami, S.Sos., M.Si., saat menerima kunjungan rombongan Press Trip Forum Wartawan Parlemen (FWP) DPRD NTB, bersama Diskominfotik, Sekretariat DPRD dan Disnakertrans NTB, Rabu (12/11/2025).

“Imigrasi itu termasuk institusi yang paling sulit diajak bergabung di layanan terpadu. Tapi sejak awal, Pemprov Jawa Timur sudah punya komitmen yang jelas untuk menghadirkan layanan satu atap bagi pekerja migran,” ujar Purwanti membuka penjelasannya di ruang rapat LTSA Jawa Timur.

Perjuangan dari Nol: Rp 1,5 Miliar untuk Server Imigrasi

Purwanti menceritakan, saat LTSA Jawa Timur dibangun pada 2016, pihaknya tidak sekadar meminta kementerian atau lembaga pusat untuk bergabung. Pemprov Jatim justru menyiapkan segala infrastruktur dan kebutuhan teknis agar instansi seperti imigrasi merasa nyaman bekerja di bawah satu atap.

“Kami mengalokasikan anggaran APBD sebesar Rp 1,5 miliar hanya untuk membeli server khusus imigrasi. Mereka minta server paspor harus terpisah dari server data PMI. Itu kami penuhi,” katanya.

Tak hanya server, Pemprov Jatim juga menganggarkan printer khusus pencetak paspor seharga Rp 500 juta per unit, berikut biaya perawatan tahunan yang mencapai Rp 55 juta per kali servis.

“Biaya printer paspor luar biasa mahal, tapi kami tetap sediakan. Karena ini bentuk keseriusan kami agar layanan imigrasi bisa berjalan lancar di LTSA,” tutur Purwanti dengan nada tegas.

Kunci Sukses: Komunikasi dan Kolaborasi Antarinstansi

LTSA Jawa Timur saat ini menjadi salah satu model layanan pekerja migran yang paling lengkap di Indonesia. Di dalam satu gedung, terdapat loket-loket dari berbagai instansi: Imigrasi, BPJS Ketenagakerjaan, BP3MI, Dispendukcapil, hingga Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Namun, di balik integrasi itu, Purwanti menekankan pentingnya menjaga komunikasi yang sehat dan intens antarinstansi.

“Setiap institusi punya regulasi sendiri, kadang ada yang tumpang tindih atau bahkan kontraproduktif. Karena itu, kami rutin rapat koordinasi lintas loket, seperti hari ini jam satu siang kami akan rapat dengan BPJS, BP3MI, dan imigrasi,” jelasnya.

Ia menambahkan, pola komunikasi yang baik menjadi kunci agar setiap permasalahan bisa diselesaikan bersama di satu meja, tanpa saling menyalahkan.

Tantangan PMI Purna dan Desa Migran Produktif

Selain mengawal layanan di LTSA, Purwanti juga menyoroti persoalan klasik para Pekerja Migran Indonesia (PMI) Purna, terutama mereka yang bekerja di sektor domestik.

“Rata-rata uang hasil kerja mereka habis, lalu mereka kembali lagi ke luar negeri. Padahal pemerintah tidak menginginkan mereka bolak-balik seperti itu,” ungkapnya.

Disnakertrans Jatim pun melakukan berbagai bimbingan dan pelatihan usaha produktif bagi para PMI purna, terutama melalui program Desa Migran Produktif (Desmigratif) yang dulu diinisiasi oleh Kementerian Ketenagakerjaan.

Purwanti menekankan, keberlanjutan pemberdayaan PMI purna harus memperhatikan empat pilar utama, yakni:

  1. Informasi kerja luar negeri yang akurat,
  2. Pendampingan usaha produktif,
  3. Community parenting untuk anak-anak PMI, dan
  4. Penguatan ekonomi komunitas migran.

“Banyak anak PMI menjadi korban karena tidak terpantau dengan baik saat orang tuanya di luar negeri. Jadi community parenting ini juga harus hidup kembali,” ujarnya penuh keprihatinan.

Data Remitansi Masih Jadi Pekerjaan Rumah

Di bagian akhir pertemuan, Purwanti mengakui bahwa data remitansi pekerja migran hingga kini belum sepenuhnya valid. Meskipun Bank Indonesia menjadi sumber utama, data tersebut belum mampu memisahkan jumlah remitansi per provinsi secara akurat.

“Kami sampai minta data ke pusat, tapi belum juga bisa dipilah. Akhirnya kami membuat proyeksi sendiri untuk kebutuhan kebijakan kepala daerah,” kata Purwanti.

Kunjungan Press Trip FWP DPRD NTB ke Jawa Timur menjadi momentum penting bagi kedua daerah untuk saling belajar tentang inovasi pelayanan tenaga kerja. Dan dari kisah LTSA Jawa Timur, tampak jelas bahwa pelayanan publik yang terintegrasi tidak lahir dari perintah semata, melainkan dari komitmen, anggaran, dan kerja sama yang berkelanjutan. (GA. Ese*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You cannot copy content of this page