Gardaasakota.com.- Suasana ruang pertemuan di Hotel Lombok Astoria mendadak menghangat ketika Anggota Komisi IX DPR RI dari Dapil NTB II Pulau Lombok, HM Muazzim Akbar S.IP, menyampaikan pandangan panjang dan lugas mengenai persoalan pekerja migran Indonesia (PMI), khususnya yang berasal dari NTB.
Dengan gaya bicaranya yang apa adanya, Muazzim tak hanya mengurai realitas di lapangan, tapi juga membuka pengalaman pribadinya selama puluhan tahun berkecimpung dalam dunia penempatan dan perlindungan pekerja migran.
Pernyataan itu disampaikan di hadapan Wakil Gubernur NTB Hj. Indah Dhamayanti Putri, jajaran Komisi IX DPR RI, pejabat Kementerian Ketenagakerjaan, BP2MI, BPJS Ketenagakerjaan, hingga unsur daerah, di Hotel Lombok Astoria, Kamis 20 November 2025—membuat forum tersebut terasa lebih hidup karena menghadirkan pandangan langsung dari seorang legislator yang paham persoalan hingga ke akar-akarnya.
“NTB adalah sumber besar PMI, dan kita harus hadapi realitasnya”
Di awal pemaparannya, Muazzim menyampaikan rasa hormat kepada Wakil Gubernur NTB dan rombongan pejabat yang hadir. Namun, tak butuh waktu lama hingga ia mengarahkan pembahasannya pada isu utama: tingginya angka PMI, baik yang resmi maupun nonprosedural (ilegal), dari NTB.
Ia mengungkapkan bahwa tahun ini saja, sekitar 30 ribu warga NTB berangkat bekerja ke luar negeri, sementara total pekerja migran asal NTB yang berada di luar negeri sudah mencapai 60 ribu orang.
“NTB ini tidak punya industri besar seperti Jawa. Pilihan masyarakat untuk keluar dari pengangguran ya bekerja ke luar negeri,” ujarnya.
Sebagai representasi daerah, ia memberikan apresiasi kepada pemerintah pusat dan mitra kerja Komisi IX. Pemerintah, kata Muazzim, tahun ini membantu hampir 60 ribu keluarga di NTB melalui berbagai program ketenagakerjaan dan pemberdayaan nasional.
Akar masalah PMI ilegal: prosedur lambat dan kebuntuan sistem
Muazzim dengan tegas menyebut dua penyebab utama mengapa masih banyak PMI yang memilih jalur ilegal:
1. Proses resmi terlalu lama
Ia memaparkan bahwa untuk mengurus keberangkatan resmi, calon pekerja migran membutuhkan waktu minimal tiga bulan.
Mulai dari pembuatan paspor yang bisa memakan waktu sebulan, verifikasi data, penerbitan visa kerja, hingga proses penempatan.
“Di lapangan, masyarakat butuh cepat. Ada yang datang ke rumah, merayu, dan bilang ‘berangkat hari ini bisa’. Ya mereka akhirnya tergoda,” ujarnya.
2. Banyak mantan PMI overstay yang ingin kembali bekerja
Muazzim juga menyoroti banyaknya PMI resmi yang ketika tiba di Malaysia justru kabur dari majikan, lalu bekerja secara ilegal di sektor perkebunan.
Karena melanggar kontrak, mereka di-blacklist oleh sistem imigrasi Malaysia.
Saat ingin kembali bekerja, mereka tidak bisa menggunakan identitas asli.
“Jadilah mereka berangkat lewat jalur gelap. Pakai kapal laut, pakai nama baru. Ini fakta yang terjadi,” tegasnya.
LTSA Harus Diaktifkan Kembali: “Ini kunci percepatan”
Menurut Muazzim, salah satu solusi paling efektif adalah mengaktifkan kembali Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA).
LTSA, yang dulu mempercepat proses penempatan PMI karena imigrasi, Disdukcapil, dinas tenaga kerja, BP2MI, dan instansi terkait berada dalam satu gedung, kini justru banyak yang tidak lagi berfungsi.
“Kalau LTSA ini aktif, proses bisa jauh lebih cepat. Tidak perlu lagi masyarakat menunggu panjang,” katanya.
Desak Pemerintah Cabut Moratorium ke Timur Tengah
Muazzim juga menyinggung persoalan moratorium penempatan PMI ke Timur Tengah yang masih diberlakukan pemerintah. Ia menyebut keputusan itu justru ikut menyumbang maraknya pengiriman ilegal.
“Permintaan tinggi, tetapi jalurnya ditutup. Akhirnya mereka tetap berangkat lewat cara-cara yang tidak aman,” ujarnya.
Ia mengungkapkan bahwa setiap bulan masih banyak warga NTB yang dipulangkan dari Arab Saudi, sebagian besar berangkat melalui jalur tidak prosedural dengan bantuan oknum tertentu.
Pengalaman Pribadi: 13 Tahun Mengelola Asuransi PMI
Dalam forum tersebut, Muazzim juga mengungkapkan bahwa dirinya memiliki pengalaman panjang dalam dunia PMI.
Selama 13 tahun, sebelum kewenangan beralih ke BPJS Ketenagakerjaan, ia adalah pengelola asuransi perlindungan PMI secara nasional.
“Saya tahu persis persoalan PMI, dari saya jadi PJTKI, dari proses asuransinya, sampai pola penempatan. Bahkan anak saya pun bekerja di BP3MI,” tuturnya.
Komitmen Pemerintah Pusat: Kementerian Baru untuk Perlindungan PMI
Muazzim menegaskan bahwa Presiden Prabowo menunjukkan komitmen kuat terhadap perlindungan pekerja migran. Salah satunya melalui pembentukan Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, kementerian baru yang khusus mengurusi nasib PMI.
Namun ia juga menyoroti ironi kecil:
BP2MI, sebagai ujung tombak perlindungan PMI, justru memiliki anggaran paling kecil dibanding instansi pusat lainnya.
“Nanti kita akan perjuangkan penambahan anggarannya. Harus besar, karena beban kerjanya besar,” tegasnya.
Menutup dengan Harapan Kerja Kolektif
Mengakhiri penyampaiannya, Muazzim kembali menegaskan bahwa persoalan PMI tidak bisa hanya dibebankan kepada pemerintah pusat atau daerah semata.
“Butuh kerja bersama, termasuk aparat di bandara, imigrasi, dan semua lembaga terkait. Kalau mau cegah PMI ilegal, kita harus kompak dari hulu sampai hilir,” ujar Muazzim. (GA. Ese*)





















