Gardaasakota.com.-Pelantikan Pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) masa bakti 2025–2030 di Hotel Lombok Raya, Mataram, Jumat (19/12/2025), bukan sekadar agenda seremonial organisasi profesi. Momentum ini menjadi penanda konsolidasi identitas pers nasional di daerah, sekaligus refleksi akademik atas tantangan struktural yang dihadapi jurnalisme di era algoritma digital.
Dihadiri Ketua Umum PWI Pusat Ahmad Munir, Sekretaris Jenderal Zulmansyah Sekedang, Wakil Gubernur NTB Hj. Indah Dhamayanti Putri, unsur Forkopimda, serta tokoh-tokoh pers NTB, pelantikan tersebut menegaskan peran PWI sebagai institusi historis yang terus beradaptasi tanpa kehilangan nilai dasarnya.
Dalam pidato pelantikannya, Ahmad Munir menempatkan PWI dalam lintasan sejarah kebangsaan yang panjang dan konsisten.
Sejak kelahirannya pada 9 Februari 1946, PWI diposisikan bukan semata organisasi profesi, melainkan instrumen perjuangan yang terintegrasi dengan dinamika pembangunan nasional. Penegasan ini penting secara konseptual, sebab di tengah fragmentasi informasi dan dominasi platform digital global, pers nasional berisiko tereduksi menjadi sekadar produsen konten. Munir mengingatkan bahwa kekuatan pers terletak pada etika, verifikasi, dan tanggung jawab publik—tiga pilar yang tidak dimiliki oleh ekosistem media sosial.
Ia juga menyinggung dinamika internal PWI dalam dua tahun terakhir yang telah berujung pada Kongres Persatuan Agustus 2025. Rekonsiliasi tersebut dipandang sebagai prasyarat institusional untuk melangkah ke depan secara kolektif. Dari sudut pandang organisasi, stabilitas internal menjadi modal sosial penting untuk menghadapi tantangan eksternal berupa tekanan ekonomi media, perubahan pola konsumsi informasi, dan intervensi algoritma yang kerap mengaburkan batas antara fakta dan opini.
Karena itu, seruan Munir agar wartawan tetap setia pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ) memiliki dimensi strategis: menjaga diferensiasi pers profesional dari arus konten tanpa kaidah.
Nada yang sama berlanjut dalam pernyataan Ketua PWI NTB terpilih, Ahmad Ikliludin. Ia memaknai pelantikan sebagai titik awal pembenahan kualitas pers daerah melalui peningkatan kompetensi wartawan dan penguatan kelembagaan.
Dalam kerangka hubungan pers dan negara, Ikliludin menegaskan komitmen membangun sinergi dengan pemerintah daerah, BUMD, dan sektor swasta secara proporsional—kolaboratif namun tetap independen. Sikap ini mencerminkan pendekatan normatif yang sejalan dengan teori pers demokratis, di mana media berfungsi sebagai mitra kritis pembangunan, bukan sekadar corong kekuasaan.
Ambisi PWI NTB untuk kembali mengajukan diri sebagai tuan rumah Hari Pers Nasional (HPN) 2027 memperkuat dimensi strategis pelantikan ini.
Pengalaman sukses HPN 2016 di NTB, yang diakui turut menjadi katalis percepatan infrastruktur seperti Jalan Bypass dan pengembangan Mandalika, dijadikan referensi empiris bahwa agenda pers nasional dapat berdampak langsung pada pembangunan daerah.
Tantangan dari Gubernur NTB untuk mengulang kesuksesan tersebut bukan hanya soal kapasitas teknis penyelenggaraan, melainkan juga kemampuan PWI NTB membangun legitimasi nasional dan jejaring institusional.
Dari perspektif pemerintah daerah, Wakil Gubernur NTB Hj. Indah Dhamayanti Putri memberikan penegasan yang substansial mengenai posisi pers. Ia menempatkan kritik wartawan sebagai instrumen refleksi kebijakan, bukan ancaman politik. Pernyataan bahwa pemerintah tidak ingin “dinabobokan oleh pujian” menunjukkan pengakuan normatif atas fungsi kontrol sosial pers.
Dalam konteks tata kelola pemerintahan modern, relasi semacam ini menjadi indikator kesehatan demokrasi lokal, di mana kritik dipahami sebagai mekanisme korektif untuk penyempurnaan kebijakan publik.
Isyarat dukungan pemerintah terhadap keberlanjutan Sekretariat PWI NTB juga mengandung makna simbolik. Fasilitas fisik diposisikan bukan sekadar aset, melainkan representasi aktivitas intelektual dan kontribusi pers bagi kemajuan daerah. Dengan demikian, legitimasi dukungan negara ditautkan langsung pada produktivitas dan relevansi sosial organisasi pers itu sendiri.
Rangkaian pelantikan yang diakhiri dengan pembukaan Rapat Kerja Daerah (Rakerda) PWI NTB 2025 menegaskan orientasi ke depan. Program kerja lima tahun yang akan dirumuskan diharapkan tidak hanya menjawab kebutuhan internal organisasi, tetapi juga merespons perubahan lanskap media secara sistematis dan berbasis nilai.
Dalam konteks ini, pelantikan Pengurus PWI NTB 2025–2030 dapat dibaca sebagai upaya meneguhkan kembali jati diri pers daerah: berakar pada sejarah, berpegang pada etika, dan adaptif terhadap perubahan, tanpa kehilangan orientasi pengabdian kepada publik dan bangsa. (*)

















