Gerakan untuk meningkatkan peran politik perempuan terus digalakkan di berbagai daerah termasuk di kota dan kabupaten Bima. Salah satu bentuk keseriusan pemerintah kota Bima terkait peran politik perempuan adalah dengan menyelenggarakan acara sosialisasi dan advokasi peningkatan dan partisipasi pendidikan politik perempuan kota bima pada tanggal 28 agustus 2024 lalu. Dalam acara tersebut, PJ walikota bima Drs.H.Mukhtar MH, menyampaikan pentingnya peran perempuan dalam dunia politik khususnya dalam konteks daerah.
“Pendidikan politik bagi perempuan adalah langkah strategis untuk mendorong keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan, baik di tingkat lokal maupun nasional. Dengan pendidikan politik ini, diharapkan akan lahir kader-kader perempuan yang mampu berkontribusi secara nyata dalam pembangunan Kota Bima,” ujarnya. (brida.bimakota.go.id)
Sejak satu dekade terakhir, partisipasi politik perempuan selalu menjadi perbincangan. Kebijakan yang lahir sebagai produk dari sistem politik dirasa kurang jika suara perempuan terabaikan. Jumlah ketercukupan perwakilan perempuan di bidang legislatif kemudian menjadi indikator untuk mengukur partisipasi politik.
Pada pertemuan parlemen anggota Meksiko (MIKTA) Speakers’ Consultation ke-10, Ketua DPR RI Puan Maharini menegaskan bahwa partisipasi dan kepemimpinan perempuan dalam proses politik ialah kunci mencapai kemajuan negara. Ia menganggap 2024 sebagai momentum bagi akselerasi kepemimpinan perempuan di dunia politik. Katanya, kepemimpinan perempuan akan menjamin berbagai suara masyarakat lebih jelas terdengar dan berbagai kepentingan masyarakat lebih terwakili pada institusi publik. (nasional.kompas.com)
Perempuan dan Dilema Partisipasi Politik
Peran politik perempuan adalah salah satu manifestasi dari wacana emansipasi. Para aktivis perempuan berpendapat bahwa tempat berkiprah perempuan tidak hanya berkutat pada persoalan rumah tangga dan keluarga. Lebih dari itu, menurut mereka perempuan harus berperan di sektor publik tanpa diskriminasi.
Tidak bisa dipungkiri, isu emansipasi yang bernaung di bawah feminisme dianggap sebagai solusi oleh beberapa pihak. Isu marginalisasi yang kaum perempuan alami di berbagai sektor menjadi landasan bangkitnya perjuangan kaum feminis. Oleh sebab itu, seruan kesetaraan dan penetapan kebijakan yang tidak bias gender menjadi isu yang terus digulirkan.
Jika kita mengamati dan meneliti fakta keterlibatan perempuan di ranah politik, akan kita jumpai beberapa anomali, sebagai berikut :
Pertama, keterlibatan perempuan di dalam ranah politik saat ini belum bisa memberikan solusi seperti yang diharapkan. Berbagai masalah multidimensional yang dialami bangsa ini masih saja mengemuka. Sebut saja kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, kenakalan remaja, narkoba dan sebagainya masih menghantui bangsa ini.
Kedua, keterlibatan perempuan belum bisa memberikan solusi bagi masalah utama politik seperti korupsi dan politik dinasti. Bahkan beberapa oknum politisi perempuan justru menjadi pelaku kejahatan korupsi dan politik dinasti. Termasuk sebagian dari mereka menjadi pelaku turut serta tindak pidana korupsi suaminya.
Hal tersebut seperti menepis beberapa pendapat yang mengatakan, bahwa perempuan bisa meredam korupsi di dunia politik sebagamana disebutkan sebuah studi awal 2000-an yang dikutip dari Modul 8 Corruption and Gender yang diterbitkan UNODC yang dilakukan Dollar dkk (1999) yang menemukan bahwa semakin banyak perempuan di parlemen, semakin rendah tingkat korupsi.
Ketiga, keterlibatan perempuan dalam politik saat ini belum mampu memberikan solusi bagi persoalan perempuan sendiri. Bahkan dengan keterlibatan perempuan di sektor publik yang tidak dibarengi dengan keseimbangan peran mereka di ranah privat membuat perempuan seperti terlepas dari kodrat dan fitrahnya sebagai istri dan ibu.
Banyak sekali kasus ketika seorang Ibu terpaksa mengambil peran laki-laki justru memunculkan masalah baru akibat terbengkalainya fungsi dasar perempuan di dalam rumah tangga.
Masalah Paradigma Politik, bukan Gender
Banyak pihak mengatakan, belum maksimalnya peran perempuan dalam politik lantaran persentase perempuan belum memadai. Penulis melihat bahwa hal ini bukan hanya masalah gender yakni minimnya jumlah perempuan yang terlibat politik melainkan kualitas dan paradigma politik.
Perempuan saat ini berpolitik tidak sesuai fitrahnya dengan dua ciri :
Pertama, perempuan berpolitik dibawah bendera sekularisme, kapitalisme dan asas manfaat sebagai nilai interaksinya. Sehingga seluruh solusi politik berawal dari pemikiran yang rusak tersebut. Maka wajar solusi dari pemikiran rusak jutsru akan merusak bangsa ini meskipun solusi tersebut dilaksanakan di tangan perempuan. Inilah akar persoalannya.
Kedua, perempuan berpolitik dibangun dari asas persaingan dengan laki-laki. Hal tersebut diduga berasal dari trauma ideologis dan historis perempuan ketika berada di bawah sistem diskriminatif seperti di eropa di masa kegelapan. Diskriminasi perempuan yang tidak mendapatkan pendidikan, akses kesejahteraan dan akses lainnya membuat aktivis perempuan banyak menyerukan bangkitnya perempuan sebagai pihak yang hadir menandingi laki-laki. Dengan asas ini perempuan terkadang diprovokasi untuk selalu bersifat melawan laki-laki. Padahal perempuan dan laki-laki adalah pertner, baik di ranah privat maupun publik.
Islam Memberdayakan Perempuan dalam Berpolitik
Islam adalah mercusuar kebangkitan bagi perempuan. Keterlibatan perempuan di ranah publik menjadi hal yang tidak asing. Pada permulaan Islam, banyak wanita Islam yang terkenal alim serta ahli dalam berbagai disiplin ilmu. Seperti Khadijah radhiyallahu anha, seorang pengusaha sukses, Aisyah radhiyallahu anha. yang telah meriwayatkan 2210 hadist dan menjadi guru bagi para sahabat, Abbasa saudara perempuan Harun Ar-rasyid merupakan seorang ahli sastra dan penyair, Zubaidah istri Khalifah Harun Ar-rasyid yang merupakan sosiawan yang juga membuat saluran air dari sungai Tigris di Bagdad sampai Arafah.
Memang, ada yang berpendapat bahwa keterlibatan perempuan di ranah politik tidak layak dan melanggar fitrah. Ini sesungguhnya bersumber dari pemahaman yang salah dalam memaknai politik. Mereka memaknai politik dengan pemaknaan yang sempit dan terbatas. Alhasil, mereka menjauh dari aktivitas politik.
Sayangnya, menjadi apolitis justru memantik keberpihakan pada hukum positif yang notabene sekuler. Akhirnya, Islam hanya menjadi seruan-seruan moral untuk perbaikan individu, padahal sebagai sebuah sistem hidup, Islam sejatinya memiliki lensa yang agung dan aturan yang unik tatkala mendudukkan peran politik perempuan.
Allah Swt. telah menurunkan seperangkat aturan untuk menjelaskan mengenai pemberdayaan perempuan, baik di sektor domestik maupun publik. Dalam sektor domestik, peran perempuan adalah sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Tidak seperti yang digambarkan oleh kaum feminis, Islam justru menjadikan amanah tersebut sebagai kunci keberhasilan keluarga dan masyarakat. Dari didikan seorang ibulah, generasi cemerlang harapan masa depan suatu bangsa terwujud.
Ibu memiliki posisi yang sangat strategis dalam melahirkan generasi peradaban. Tugas tersebut mengharuskan seorang ibu memiliki pengetahuan yang mumpuni serta wawasan luas agar mampu mencetak generasi rabani. Kewajiban perempuan di ranah domestik sama sekali tidak menunjukkan ketertindasannya oleh kaum laki-laki karena kewajiban sebagai ibu merupakan kedudukan mulia yang Allah ganjar banyak pahala.
Pada sektor publik, Islam menggariskan kewajiban kepada perempuan untuk turut serta menyebarkan dakwah Islam. Hal tersebut mengharuskan kaum perempuan untuk menuntut ilmu, mengajarkannya, dan dengan ilmu itu pula ia menjalankan perannya dalam memperhatikan kemaslahatan umat seraya mengadopsi solusi bagi umat.
Peran perempuan di sektor publik ini sejatinya adalah aktivitas politik itu sendiri. Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya, Afkaru Siyasi, mendefinisikan bahwa politik bermakna ‘mengatur urusan umat’.
Negara berperan sebagai institusi yang mengatur urusan umat secara praktis, sedangkan umat mengoreksi pemerintah dalam melaksanakan tugasnya. Aktivitas politik tidak hanya dibebankan kepada laki-laki sebab perempuan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari umat. Nas terkait kewajiban beraktivitas politik ini banyak tertuang dalam dalil, baik di Al-Qur’an maupun Sunah. Allah Swt. Berfirman yang artinya,
“Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kebaikan (Islam), memerintahkan yang makruf, dan mencegah kemungkaran.” (TQS Ali Imran: 104).
Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang bangun pada pagi hari dan tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, ia tidak termasuk golongan mereka.” (HR Al-Hakim dan Al-Khatib).
Aktivitas politik tersebut mengharuskan seluruh umat Islam, baik laki-laki maupun perempuan, untuk bergabung dalam sebuah jemaah/partai politik yang melaksanakan aktivitas menyeru pada Islam dan melakukan amar makruf nahi mungkar.
Aktivitas yang dilakukan partai politik adalah mengungkap kebobrokan pemikiran kufur di tengah masyarakat, mengungkap persekongkolan penguasa dan musuh, serta mengadopsi berbagai kemaslahatan umat dalam kerangka pemikiran Islam. Perjuangan partai politik ini tidak dilakukan dengan kekerasan, melainkan dengan dakwah yang bersifat pemikiran, sebagaimana yang Rasulullah saw. contohkan.
Demikianlah peran politik yang seharusnya perempuan perjuangkan. Melalui aktivitas ini, tercipta atmosfer muhasabah kepada penguasa sebagai wujud dari aktivitas amar makruf nahi mungkar. Ini tentu sangat berbeda dengan fakta politik hari ini yang penuh intrik dan oportunistis. Alih-alih memperjuangkan rakyat, politik hari ini lebih diwarnai dengan upaya penyelamatan kepentingan oligarki dan melanggengkan politik dinasti.
Oleh karenanya, tidak ada pilihan, kecuali kembali menyelami makna politik sesuai perspektif Islam. Tidak acuh akan hal ini akan bermuara pada terabaikannya syariat. Dalam kondisi inilah, nasihat Rasulullah penting untuk kita resapi. Rasulullah saw. bersabda,
“Akan datang tahun-tahun penuh kedustaan yang menimpa manusia. Pendusta dipercaya, orang yang jujur didustakan. Amanah diberikan kepada pengkhianat. Orang yang jujur dikhianati, dan ruwaibidhah turut berbicara.” Lalu beliau ditanya, “Apakah ruwaibidhah itu?” Beliau saw. menjawab, “Orang-orang bodoh yang mengurusi urusan perkara umum.” (HR Ibnu Majah).
Memilih sikap apolitis memang bukan pilihan bijak. Namun, partisipasi politiknya wajib merujuk pada bingkai Islam, yakni dengan menyelami firman Allah dan hadis-hadis Rasulullah. Wallahualam.*)