Gardaasakota.com.-Keberadaan Desa atau Kelurahan sebagai basis kekuatan politik di era Pilkada langsung ini menjadi kian sexy untuk menjadi bahan dalam penyusunan visi, misi dan program dari setiap pasangan Calon Kepala Daerah.
Dari data yang ada, tahun 2022 jumlah desa di NTB sebanyak 1.166 desa dengan penyaluran dana desa tahun 2024 yang mencapai angka hampir Rp1 trilyun atau sekitar Rp958,42 Milyar.
Pada momentum Pilkada 2024 ini, salah satu pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur NTB, H Lalu Muhammad Iqbal dan Hj Indah Dhamayanti Putri, dalam visi, misi dan programnya ingin mengalokasikan dana bantuan desa sebesar Rp300-500 juta per desa atau kelurahan jika terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur NTB.
Hanya saja seperti apa teknis pelaksanaannya belum diketahui persis apakah akan langsung include dalam alokasi dana desa ataukah dalam bentuk berupa alokasi paket per desa masih belum diketahui secara jelas.
Ketua Partai UMMAT Provinsi NTB, Yuliadin, S.Sos., menilai program tersebut merupakan program cocokologi terhadap program ADD yang saat sekarang dianggap berhasil, tidak mendidik dan dianggap tidak rasional dengan kondisi fiskal daerah.
“Inikan program cocokologi, tidak mendidik dan tidak realistis. Mestinya mereka melihat prioritas program yang ada di RPJM Daerah. Jangan sampai program ini hanya menghambur-hamburkan APBD kita yang sekarang masih dalam kondisi belum stabil ini,” kata mantan Ketua DPRD Kabupaten Dompu ini kepada wartawan, Sabtu 05 Oktober 2024.
Secara aturannya bisa saja daerah menghibahkan bantuan dana seperti itu kepada Desa.
“Cuman pertanyaannya apakah itu prioritas?. Dan kecenderungannya program itu tidak mendidik karena program seperti itu sudah ada bahkan berpotensi menimbulkan conflict of interest di tubuh Pemerintahan Desa. Apalagi ketika SDM nya belum matang maka berpotensi memunculkan masalah baru,” timpalnya.
Ia mengaku setuju jika masyarakat Desa harus diberdayakan. Tetapi tidak dengan cara mengiming-imingi mereka dengan besaran anggaran yang menggiurkan yang hanya bertujuan meraup suara masyarakat desa pada akhirnya sulit untuk dilakukan atau diwujudkan akibat keterbatasan anggaran dan aspek teknis lainnya.
“Boleh-boleh saja kita menjual program ke masyarakat. Tapi yah harus realistislah,” pungkasnya. (GA. Im*)