Gardaasakota.com.- Keputusan Gubernur NTB yang memutus hubungan kerja ratusan tenaga non-database menuai kritik tajam dari DPRD. Di tengah banyaknya output sarjana yang baru lulus dari Perguruan Tinggi dan keterbatasan lapangan kerja, kebijakan ini dinilai kontraproduktif dan minim empati sosial.
Anggota DPRD Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dari Fraksi Amanat Bintang Nurani Rakyat (ABNR), H. Muhamad Aminurlah, melontarkan kritik keras terhadap keputusan Pemerintah Provinsi NTB yang memutus hubungan kerja (PHK) terhadap 518 tenaga non-database per 31 Desember 2025. Pernyataan itu disampaikan Aminurlah kepada wartawan media ini, Jum’at, 19 Desember 2025.
Menurut Aminurlah, alasan klasik “tidak masuk database” yang dijadikan dasar kebijakan justru membuka ruang kontradiksi serius dalam tata kelola pemerintahan daerah. Ia menilai, keputusan tersebut tidak hanya terburu-buru, tetapi juga mengabaikan realitas sosial dan tanggung jawab negara dalam melindungi warga yang telah lama mengabdi.
“Kalau alasannya karena tidak masuk database, lalu SK-SK mereka dari gubernur sebelumnya itu apa? Mereka sudah mengabdi 5 tahun, 7 tahun. Ini kontradiktif. Punya SK tapi disebut non-database,” tegas Aminurlah.
Politisi yang akrab disapa Aji Maman ini menolak anggapan bahwa keputusan PHK diambil karena keterbatasan kemampuan keuangan daerah. Menurutnya, fiskal NTB masih cukup mampu untuk mempertahankan 518 tenaga tersebut dengan skema yang lebih rasional dan berkeadilan.
Ia bahkan menyebutkan alternatif konkret: pengurangan belanja penunjang, perjalanan dinas, TPP, hingga pos-pos belanja lain yang dinilai belum prioritas.
“Tidak harus digaji Rp2,8 juta atau Rp2,5 juta. Kalau digaji Rp1 juta saja, hitungannya tidak besar. Jauh lebih kecil dibanding belanja-belanja lain seperti sewa mobil listrik dan perjalanan dinas. Banyak ruang yang bisa dikurangi,” ujarnya.
Bagi Aminurlah, menjadikan “sistem” sebagai tameng kebijakan justru memperlihatkan kegagalan pemerintah dalam membaca skala prioritas.
Kritik Aminurlah semakin tajam ketika ia mengaitkan kebijakan PHK ini dengan bonus demografi yang sedang dihadapi Indonesia, termasuk NTB. Setiap tahun, ribuan lulusan perguruan tinggi memasuki pasar kerja, sementara lapangan kerja tidak bertambah signifikan.
“Bagaimana kita bicara bonus demografi kalau kebijakan hari ini justru menambah pengangguran? Ini bukan mengurangi pengangguran, tapi menambah pengangguran,” katanya.
Ia menegaskan, negara dan daerah memiliki kewajiban konstitusional untuk melindungi warga negaranya, bukan justru mendorong mereka ke jurang pengangguran atas nama prosedur administratif.
Aminurlah mempertanyakan sikap pemerintah daerah yang menjadikan keputusan PHK sebagai keputusan final tanpa pembahasan komprehensif dengan DPRD dan pemangku kepentingan lainnya.
“Ini seharusnya dibahas bersama. Dievaluasi. Bukan serta-merta diputuskan. Kalau gubernur tidak mampu memobilisasi kebijakan lain, kenapa yang dikorbankan anak-anak bangsa ini?” ucapnya lantang.
Ia juga menyinggung rencana pemberian pesangon sebagai solusi, yang menurutnya justru menegaskan adanya kemampuan fiskal, sekaligus membuktikan bahwa opsi mempertahankan mereka sebenarnya masih terbuka.
Lebih jauh, Aminurlah menyoroti sikap lembaga legislatif yang dinilainya belum sepenuhnya hadir sebagai jembatan aspirasi rakyat. Ia mendorong pimpinan DPRD dan seluruh fraksi untuk bersuara lebih keras, tidak hanya berkutat pada urusan pokok-pokok pikiran (pokir).
“Pimpinan jangan hanya bicara urusan pokir. Harus bicara kepentingan masyarakat yang hari ini menjadi pengangguran,” katanya.
Ia menegaskan dukungan pribadinya terhadap 518 tenaga non-database tersebut.
“Saya dukung 100 persen. Ayo kita duduk bersama, bicarakan secara menyeluruh dan komprehensif,” tegas Aminurlah.
Menutup pernyataannya, Aminurlah mengingatkan bahwa kebijakan publik selalu memiliki dampak politik dan sosial jangka panjang. Menurutnya, kebijakan PHK massal ini dapat menjadi preseden buruk bagi wajah pemerintahan, terutama di mata generasi muda.
“Ini tidak baik bagi pemerintahan. Jangan atas nama sistem, kita justru mencederai masa depan anak-anak bangsa,” pungkasnya.
Dengan kritik tajam ini, bola kini berada di tangan Pemerintah Provinsi NTB: mempertahankan keputusan yang menuai resistensi, atau membuka ruang dialog demi kebijakan yang lebih adil, manusiawi, dan berpihak pada rakyat.
Menjawab kritikan ini, Gubernur NTB, H Lalu Muhamad Iqbal, menegaskan, Pemerintah Provinsi NTB berada dalam posisi yang sangat sulit dan dilematis, karena kebijakan terkait penataan tenaga honorer bukan lagi sepenuhnya berada di tangan pemerintah daerah, melainkan merupakan kebijakan mutlak dari Pemerintah Pusat yang wajib dijalankan oleh seluruh daerah.
Penegasan tersebut disampaikan Gubernur Iqbal dalam pertemuan langsung dengan Aliansi 518 Honorer Pemprov NTB, yang digelar di Ruang Rapat Anggrek, Kompleks Kantor Gubernur NTB, Rabu malam (17/12). Pertemuan itu turut dihadiri Wakil Gubernur NTB, Hj Indah Dhamayanti Putri.
“Pemerintah Provinsi NTB memahami kegelisahan dan keresahan saudara-saudara kita. Namun kami harus menyampaikan secara jujur bahwa ini bukan semata-mata keputusan daerah. Ini adalah kebijakan nasional yang sudah berlaku dan harus kami patuhi,” tegas Iqbal.
Menurut Iqbal, kebijakan penataan tenaga honorer mengacu pada regulasi nasional yang mengatur secara ketat mekanisme pendataan, pengangkatan, dan skema kepegawaian, termasuk PPPK Paruh Waktu. Dalam konteks tersebut, keberadaan honorer yang tidak tercatat dalam database nasional menjadi persoalan serius yang tidak dapat diselesaikan hanya dengan kebijakan daerah.
Ia menegaskan, Pemprov NTB tidak memiliki kewenangan untuk melangkahi atau mengabaikan aturan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, termasuk yang berkaitan dengan persetujuan Kementerian PAN-RB.
“Kami tidak ingin mengambil kebijakan yang justru melanggar aturan dan berpotensi menimbulkan masalah hukum di kemudian hari. Pemerintah daerah tidak boleh bertindak di luar koridor regulasi,” ujarnya.
Meski demikian, Gubernur Iqbal menekankan bahwa Pemprov NTB tidak menutup mata terhadap aspek kemanusiaan. Pertemuan dengan Aliansi 518 honorer, menurutnya, merupakan bukti bahwa pemerintah daerah tetap membuka ruang dialog dan mencari solusi terbaik yang memungkinkan dalam batas kewenangan yang ada.
“Kami mendengar, kami mencatat, dan kami memahami aspirasi mereka. Ini bukan persoalan sederhana, dan tidak bisa diselesaikan dengan satu keputusan instan,” kata Iqbal.
Ia juga menegaskan bahwa Pemprov NTB akan terus melakukan koordinasi dan komunikasi dengan Pemerintah Pusat guna mencari ruang kebijakan yang memungkinkan, tanpa melanggar ketentuan perundang-undangan.
Menanggapi kritik dari DPRD NTB yang menilai kebijakan tersebut berpotensi menambah angka pengangguran, Iqbal menyatakan bahwa pemerintah daerah justru berupaya menjaga agar setiap langkah yang diambil tidak menimbulkan dampak jangka panjang yang lebih buruk, baik secara hukum maupun tata kelola pemerintahan.
“Kami tidak ingin mengambil langkah populis yang hari ini terlihat menyenangkan, tetapi esok hari justru menjadi beban besar bagi daerah dan masyarakat,” ujarnya.
Iqbal menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa Pemprov NTB tetap berkomitmen menjalankan pemerintahan yang taat aturan, sekaligus berusaha menjaga keadilan sosial di tengah keterbatasan kewenangan daerah.
“Ini bukan soal kemauan atau tidak kemauan pemerintah daerah. Ini soal batas kewenangan. Dan dalam situasi sulit ini, kami berusaha tetap berada di jalur yang benar,” pungkasnya. (GA. Im*)

















