Dividen Mandek, DPRD NTB Tekan Pemprov Audit dan Benahi Kinerja Dua BUMD Strategis

Ketua Komisi III DPRD NTB, Sambirang Ahmadi.

Gardaasakota.com.-Menjelang penutupan tahun anggaran 2025, sorotan DPRD Nusa Tenggara Barat tertuju pada kinerja badan usaha milik daerah (BUMD) yang dinilai belum optimal dalam berkontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD). Di tengah upaya Badan Anggaran (Banggar) DPRD NTB memaksimalkan sumber-sumber penerimaan daerah, fakta bahwa dua BUMD belum menyetorkan dividen hingga akhir tahun memantik desakan evaluasi serius kepada Pemerintah Provinsi NTB.

Dua perusahaan daerah yang dimaksud yakni PT Bangun Askrida dan PT Gerbang NTB Emas (GNE). Berdasarkan dokumen APBD murni 2025, PT Bangun Askrida tercatat memiliki kewajiban dividen sebesar Rp37,8 juta, sementara PT GNE dibebani target setoran dividen senilai Rp1 miliar. Namun hingga menjelang tutup tahun anggaran, kewajiban tersebut belum terealisasi ke kas daerah.

Anggota Banggar DPRD NTB, Sambirang Ahmadi, menegaskan bahwa kondisi ini perlu ditelusuri secara cermat dan transparan. Ia mengakui persoalan PT GNE relatif telah diketahui publik, terutama terkait beban utang dan persoalan keuangan lain yang menghambat kinerja perusahaan. Namun untuk PT Bangun Askrida, DPRD justru belum memperoleh gambaran yang utuh mengenai kondisi terkini perusahaan tersebut. Padahal, meski berstatus sebagai perusahaan nasional, Pemprov NTB tercatat memiliki saham dan berhak atas pembagian laba.

Menurut Sambirang, kejelasan status dividen PT Bangun Askrida menjadi penting agar DPRD dapat menilai sejauh mana investasi daerah memberikan imbal hasil yang terukur. Ketidakjelasan tersebut, jika dibiarkan, berpotensi melemahkan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah dan mereduksi kepercayaan publik terhadap kinerja BUMD.

Sorotan lebih tajam diarahkan kepada PT GNE, terlebih setelah perusahaan itu menerima suntikan penyertaan modal dari Pemprov NTB sebesar Rp8 miliar. DPRD menilai perlu ada penjelasan rinci mengenai pencairan dan pemanfaatan dana tersebut, termasuk apakah digunakan untuk menutup kewajiban perusahaan kepada pihak ketiga serta melunasi tunggakan pajak. Tunggakan pajak inilah yang sebelumnya berujung pada pemblokiran status Administrasi Hukum Umum (AHU) PT GNE oleh Direktorat Jenderal AHU Kementerian Hukum.

Sambirang menegaskan bahwa setelah penyertaan modal dicairkan, manajemen PT GNE semestinya segera menyelesaikan seluruh kewajiban hukum dan fiskal perusahaan. Pembayaran pajak, pemulihan status hukum, hingga pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) menjadi prasyarat penting sebelum berbicara lebih jauh soal pembagian dividen. Ia mengingatkan agar dana penyertaan modal tidak mengendap tanpa kejelasan penggunaan, karena hal tersebut dapat berujung pada persoalan hukum dan dianggap sebagai bentuk pembiaran atau bahkan pembohongan publik.

Desakan senada disampaikan Anggota Banggar DPRD NTB lainnya, Raden Nuna Abriadi. Ia secara tegas meminta Gubernur NTB, Lalu Muhamad Iqbal, untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja dua BUMD tersebut. Menurut Nuna, problematika PT Bangun Askrida sudah tampak sejak laporan keuangan 2024 yang dinilai tidak secara eksplisit mencantumkan kontribusi dividen kepada daerah, sehingga perannya terhadap PAD menjadi tidak terukur.

Atas dasar itu, DPRD mendorong dilakukannya audit independen, baik audit keuangan maupun audit kinerja investasi, untuk memastikan bahwa penyertaan modal daerah benar-benar memberikan manfaat ekonomi. Selain itu, evaluasi model bisnis dinilai krusial, mengingat bidang usaha PT Bangun Askrida berpotensi tumpang tindih dengan perusahaan asuransi swasta nasional, yang dapat mempengaruhi daya saing dan profitabilitas perusahaan.

Tidak hanya itu, DPRD juga meminta Pemprov NTB melakukan audit menyeluruh terhadap BUMD nonkeuangan, termasuk PT GNE dan PT Bangun Askrida. Jika dari hasil evaluasi ditemukan adanya inefisiensi struktural atau potensi kerugian berkelanjutan bagi daerah, maka opsi restrukturisasi bahkan likuidasi dinilai perlu dipertimbangkan sebagai langkah rasional dan bertanggung jawab.

Lebih jauh, DPRD menekankan pentingnya kontrak kinerja yang jelas dan terukur bagi seluruh BUMD, disertai mekanisme sanksi finansial. Setiap BUMD, menurut Nuna, wajib memiliki target laba tahunan dan kewajiban menyetor dividen sebagai bentuk kontribusi nyata terhadap pembangunan daerah. Ketidakpatuhan tanpa alasan rasional tidak boleh ditoleransi, karena BUMD pada hakikatnya dibiayai oleh uang publik dan harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.

Dalam konteks pengembangan usaha, DPRD tidak menutup ruang bagi diversifikasi investasi BUMD. Namun langkah tersebut harus didasarkan pada kajian mendalam dan disesuaikan dengan kapasitas fiskal perusahaan. Penanaman modal daerah, tegas Nuna, harus dilakukan secara selektif ke sektor-sektor riil dan strategis seperti pangan, energi, dan logistik, yang memiliki dampak langsung terhadap perekonomian daerah.

Desakan DPRD ini menjadi penanda bahwa pembenahan BUMD bukan lagi sekadar wacana, melainkan kebutuhan mendesak di tengah tekanan fiskal daerah. Evaluasi kinerja, transparansi pengelolaan, dan keberanian mengambil keputusan strategis menjadi kunci agar BUMD benar-benar hadir sebagai instrumen ekonomi daerah, bukan sekadar beban anggaran yang minim kontribusi. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You cannot copy content of this page