Mataram, Garda Asakota.-Penasehat Hukum terdakwa mantan Walikota Bima, Abdul Hanan, SH, MH, meyakini kliennya terdakwa H Muhammad Lutfi (HML) tidak bersalah dalam melakukan tindak pidana korupsi di lingkup Pemkot Bima.
Hal itu terungkap dalam sidang pembelaan (pledoi) terdakwa HML dalam kasus dugaan korupsi berupa penerimaan gratifikasi dan pengadaan barang dan jasa yang digelar di Pengadilan Tipikor Mataram, Senin (13/5/2024).
Justru Penasehat Hukum menilai selama persidangan berlangsung pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK tidak bisa membuktikan kesalahan korupsi yang menjerat Walikota Bima periode 2018-2023 tersebut.
“Dakwaan Jaksa Penuntut Umum itu penuh dengan argumentasi, framing yang tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya.
Tidak ada satupun fakta yang menyebutkan adanya aliran dana yang diterima terdakwa, H Muhammad Lutfi,” ungkap Penasehat Hukum terdakwa dalam persidangan yang berlangsung selama kurang lebih 2 jam tersebut.
Menyikapi tuntutan pidana penjara selama 9 tahun 6 bulan penjara, denda, dan pengembalian uang Rp1,9 Miliar dinilai sangat memberatkan karena tidak mencerminkan rasa keadilan dan menyakitkan bagi diri terdakwa karena yang menjadi dasar sehingga JPU menuntut terdakwa karena telah mengarahkan dalam pemenangan proyek di seluruh dinas Pemkot Bima dan terdakwa tidak menunjukkan penyesalan.
“Karena memang apa yang harus disesali karena terdakwa tidak pernah melakukan pelanggaran tindak pidana sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum dan yang jelas terdakwa tidak pernah menyesal telah menjadi Walikota Bima yang telah menjalankan tugas tersebut dengan sebaik baiknya, jujur, dan telah membuat kemajuan daerah Kota Bima,” jelasnya.
Terdakwa meyakini bahwa semua fakta persidang tidak bisa dibuktikan oleh JPU. Bukti kecil saja, terdakwa dituduh turut serta dalam pengadaan paket proyek.
“Akan tetapi dari awal persidangan hingga akhir persidangan, list paket proyek (dalam tulisan tangan terdakwa) itu tidak bisa dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum,” tegasnya.
Kepada sejumlah wartawan, Abdul Hanan, SH, MH, juga menyorot adanya perubahan angka kerugian Negara dari Rp1,950 Miliar dirubah menjadi Rp2,15 Miliar yang dinilai tidak boleh dilakukan sesuai ketentuan pasal. Perubahan itu, sebutnya, tidak ada dasarnya.
“Jadi, fakta persidangan juga tidak ada yang bisa dia buktikan satu pun,” kata Penasehat Hukum kepada wartawan di PN Tipikor Mataram, Senin (13/5/2024).
Hal yang paling kecil saja, penerimaan aliran uang Rp100 juta dari Safran, itu saja tidak bisa dia buktikan karena Safran sendiri di depan persidangan mengatakan tidak pernah memberikan uang kepada terdakwa.
“Hal kecil itu saja tidak bisa buktikan, apalagi dia bisa membuktikan uang satu koma sekian milyar itu,” cetusnya.
Karena tidak bisa membuktikan kerugian Negara senilai Rp1,950 Miliar itu, maka dia (JPU KPK) merubah dengan memasukan bukti baru yang justru dinilainya tidak ada dalam dakwaan seperti uang Rp500 juta yang justru merupakan hutang piutang antara Eliya Alwaini dengan iparnya Muhammad Maqdis, kemudian penerimaan uang dari Rusdin Rp100 juta, sementara Rusdin sendiri tidak pernah dihadirkan di persidangan, dan ada dari Munawir juga.
“Tidak ada semua itu, fakta persidangan tidak ada. Karena tidak bisa dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum mohon terdakwa harus dibebaskan dari segala unsur baik dari unsur dakwaan pertama maupun dakwaan yang kedua,” pintanya.
Abdul Hanan juga menyinggung keterangan saksi yang meringankan seperti semua kepala dinas maupun yang lainnya. Menurutnya, kalau para kadis ini ada memberikan uang kepada terdakwa, tentu tidak akan berani datang ke sini (persidangan).
“Tapi karena mereka ini tidak punya beban makanya mereka hadir memberikan pernyataan bahwa tidak pernah ada memberikan kepada terdakwa, begitupun dengan kepala sekolah, malahan jabatan yang ada itu gratis tidak pernah diperjual belikan,” tandasnya. (GA. Tim*)