Gardaasakota.com.- Penelitian dan pendalaman tentang sejarah perolehan tanah di Badan Pertanahan Nasional (BPN) masih menjadi problem utama yang hingga kini masih belun ditemukan solusinya.
Hal inilah yang menjadi akar dari munculnya sengketa atau konflik tanah di negeri ini.
Sebagaimana disampaikan oleh salah seorang lawyer kenamaan NTB, Setyaningrum Hastutik Sutrisno, SH., yang mengeluhkan adanya penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) di BPN Kota Bima yang ditengarai tidak didasari atas penelusuran sejarah asal tanah dan berdampak pada tidak dikuasainya tanah oleh kliennya yang memang berhak atas tanah tersebut.
“Ini dialami oleh klien kami atas nama Siti Hadijah bersaudara warga Kota Bima yang memiliki tanah di so ule Asakota Kota Bima. Tanah seluas 1,20 hektar yang berasal dari warisan bapaknya atas nama Alm Ali Ama Hama dikuasai dan disertifikat oleh orang lain,” kata lawyer yang akrab disapa Ningrum ini kepada sejumlah wartawan, Kamis 31 Oktober 2024 di Mataram.
Bukti atas kepemilikan tanah itu menurutnya dikuatkan dengan nomor kohir 556 serta dikuatkan dengan surat keterangan dari Kelurahan Ule dan surat keterangan warisan yang didalmnya juga memuat batas-batas tanah tersebut.
“Hanya saja saat klien kami Siti Hadijah mengajukan pembuatan sertifikat rupa-rupanya tanah tersebut sudah bersertifikat atas nama orang lain,” terangnya.
Keberatan pun dilayangkan kliennya ke BPN Kota Bima bahkan sudah direspon sampai ke kementerian juga. Akan tetapi tidak ada titik temu.
“Sampai akhirnya saya gugatlah kemarin di PTUN. Tapi pada saat persiapan persidangan terkuaklah bahwa dari sertifikat itu telah terbit beberapa turunannya. Jadi sertifikat pihak pertama yang digugat itu sudah tidak berlaku karena sudah terbit dua sertifikat baru,” bebernya.
Setelah pihaknya mempelajari berkas perkara itu, ia mengaku melihat adanya kejanggalan dimana sertifikat yang diterbitkan oleh pihak pertama itu didasari kohir 551.
“Sementara Kohir atas nama klien kami ibu Hadijah bernomor 556. Jadi objeknya berbeda, hanya saja Ibu Hadijah tidak bisa menempati objek tanah miliknya. Oleh Hakim PTUN, kami diminta untuk melakukan proses administrasi ulang dengan objek sertifikat yang baru,” terangnya.
Atas dasar petunjuk hakim PTUN itu, Ningrum mengaku sudah melakukan administrasi yang baru dengan mengajukan keberatan kepada pihak BPN.
“Namun sampai sekarang keberatan kami belum dijawab oleh BPN. Oleh karena demikian, kami berencana akan membuat gugatan baru dengan objek yang baru,” ujarnya.
Berangkat dari perkara yang ditanganinya serta perkara-perkara yang sama yang ada di Bima dan Dompu, ia berharap BPN Kota Bima tidak asal-asalan dalam menerbitkan sertifikat jika belum melakukan proses verifikasi dan validasi yang akurat terkait alas kepemilikan atas objek tanah.
“Dilihat dan diteliti sejarah orang mendapatkan tanah itu, apakah melalui warisan, jual beli atau hibah. Jangan hanya didasari oleh surat keterangan menguasai tanah, atau hanya SPPT saja. Jadi harus lebih teliti lagi dalam menerbitkan sertifikat agar tidak merugikan orang lain,” tandasnya. (GA. Im*)