Layang-Layang Naga dari Pelangi Nusantara Warnai FORNAS VIII NTB

Salah satu yang mencuri perhatian adalah pertunjukan layang-layang 3D berbentuk naga dari komunitas Pelangi Layang Indonesia, yang membawa semangat tradisi dan inovasi dalam satu tarikan benang.

Gardaasakota.com.- Di tengah riuhnya Festival Olahraga Rekreasi Nasional (FORNAS) VIII di Nusa Tenggara Barat, langit Mataram dihiasi warna-warni kreasi seni layang-layang dari berbagai penjuru Nusantara.

Salah satu yang mencuri perhatian adalah pertunjukan layang-layang 3D berbentuk naga dari komunitas Pelangi Layang Indonesia, yang membawa semangat tradisi dan inovasi dalam satu tarikan benang.

Dalam ajang FORNAS kali ini, tim Pelangi dari Kalimantan Selatan dan Kepulauan Riau, tampil dengan berbagai bentuk dan kategori layangan. Mulai dari dragon kite, 2D kreasi, hingga spot kids dan trend renteng yang semuanya dirakit secara mandiri dengan penuh ketelitian dan semangat gotong royong. Tak jarang, proses merakit satu layangan besar memakan waktu hingga dua jam lebih.

“Kami buatnya di sini, rakit langsung sebelum diterbangkan. Ribet, tapi menyenangkan. Ini bukan sekadar main layang-layang, ini karya seni yang butuh teknik, tenaga, dan tim yang kompak,” ujar Rahmat salah satu peserta dari Kepulauan Riau di eks bandara selaparang Mataram, Selasa 29 Juli 2025.

Salah satu tantangan terbesar para pelayang adalah lokasi penerbangan yang terbatas di perkotaan seperti Mataram. Sawah pun kerap menjadi pilihan terbaik, meski harus menunggu musim panen dan cuaca cerah.

“Lahan kosong susah ditemukan di kota. Kami biasanya terbangkan saat musim panas, setelah panen, dan itu pun belum tentu anginnya bersahabat,” timpalnya.

Yang menarik, para seniman layangan dari NTB tengah berproses belajar membuat kreasi layangan tiga dimensi seperti naga, terinspirasi dari daerah lain.

“Kami punya banyak seniman, tapi saat ini masih fokus di tradisional. Nantinya, kami ingin ke arah 3D, belajar dari kawan-kawan luar daerah yang sudah lebih dulu,” ujar Jaka, Ketua Panitia Penyelenggara Inorga Pelayang.

Para pelayang ini tidak hanya bermain untuk menang, melainkan juga misi edukasi. Layangan bukan sekadar permainan anak-anak, tapi juga medium pembelajaran, kreativitas, dan budaya. Pelangi Layang Indonesia, misalnya, rutin menyasar sekolah-sekolah untuk mengajarkan pembuatan layang-layang kreasi. Beberapa karya mereka bahkan sudah tampil di festival internasional di Malaysia dan Thailand.

Soal biaya? Jangan ditanya. “Kami dari komunitas, tidak ada anggaran pemerintah. Semua dari dana pribadi. Tapi karena cinta, kami rela merakit pelan-pelan, kumpulkan bahan sendiri, bahkan fiber pun beli karena lebih tahan lama dan akurat saat diterbangkan,” ujar pelayang dari Kalimantan Selatan.

Harga layangan kreasi bisa mencapai Rp50 juta per unit tergantung desain dan ukuran. Namun, bagi para pelayang, nilai karya tidak bisa diukur dengan angka. Tantangan terberat justru datang dari alam: angin yang terlalu kencang bisa merusak struktur layangan atau gagal terbang sama sekali.

Salah satu pelayang wanita bahkan mengaku telah mengikuti FORNAS sejak empat edisi sebelumnya. “Saya suka layangan. Meski keluar banyak uang, tapi ini hobi yang membawa kebahagiaan satu keluarga. Kami rancang, buat, dan terbangkan bersama,” tuturnya dengan mata berbinar.

FORNAS VIII bukan sekadar lomba, melainkan panggung inklusi budaya. Di bawah langit NTB, benang-benang layangan bukan hanya menghubungkan bambu dan kertas, tapi juga mengikat semangat persatuan, kreativitas, dan cinta Tanah Air. (GA. Ese*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You cannot copy content of this page