Mataram, Garda Asakota.-Eks Kabag Prokopim Pemkot Bima era terdakwa H Muhammad Lutfi (HML) Walikota Bima Bima 2018-2023, Abdul Malik, Jumat kemari (8/3/2024) menjalani persidangan sebagai saksi dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dan pengadaan barang dan jasa lingkup Pemkot Bima yang melibatkan terdakwa HML.
Dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Tipikor Mataram tersebut, pria yang menjabat selama tiga tahun sebagai Kabag Prokopim (Kabag Humas) di era Walikota Bima, Muhammad Lutfi, ini dicecar pertanyaan mulai dari besaran anggaran di Prokopim, biaya perjalanan dinas Walikota hingga adanya pengakuan permintaan uang kepada kontraktor atas suruhan Umi Eliya isteri terdakwa HML.
Malik mengawali kesaksiannya seputar besaran alokasi anggaran di Bagian Humas yang didapat setiap tahunnya. Dia menyebut kisarannya sekitar tiga miliar setiap tahun, sementara besaran UP awalnya sekitar Rp200 juta.
“Khusus untuk anggaran perjalanan dinas Walikota biasanya mengikuti intensitas kegiatan Walikota ke luar daerah,” ungkapnya.
Begitu ada perintah tugas, kata dia, biasanya Kasubag Protokol yang menghandelnya, lalu nanti akan dihitung berdasarkan rincian yang ada baru nanti bendahara yang menyerahkan kepada pelaku perjalanan dinas.
Ditanya Jaksa cara mengantisipasi anggaran perjalanan dinas di saat kas kosong? Yang pertama, kata dia, selaku Kabag dirinya akan mendiskusikan pinjam pakai uang diantara internal, terkadang juga menyampaikan ke pelaku perjalanan dinas seputar kondisi kas nol tersebut.
“Dan biasanya juga pelaku perjalanan dinas pakai uang sendiri dulu, setelah pulang mereka menyerahkan SPJ, terus dihitung kembali oleh bendahara. Begitu kasnya ada, baru dibayarkan,” ungkapnya.
Saksi juga mengakui bahwa selama menjabat Kabag Prokopim pernah menalangi kegiatan perjalanan dinas Walikota dan pernah menalangi lebih dulu menggunakan uang pribadinya.
“Kalau nggak ada uang kas, beliau (terdakwa) pakai uang sendiri, tapi pernah juga pada saat kas kurang atau kosong, seperti misalnya untuk membiayai perjalanan dinas Rp15 juta sementara kas hanya Rp10 juta, Rp5 jutanya saya yang talangi sebagai bentuk tanggungjawab saya sebagai pemegang jabatan di situ,” akunya.
Untuk tahun 2019, saksi mengaku total dana uang pribadinya untuk menanggulangi kegiatan perjalanan dinas Walikota sekitar Rp86 juta seperti tertuang dalam BAP Saksi.
“Tapi setiap GU keluar, selalu diganti,” tegas pria yang pernah menjadi anggota DPRD Kota Bima ini.
Saksi mengaku pernah mengirim uang talangan perjalanan dinas ke rekening pribadi Walikota karena tidak adanya kas. “Yang dikirim itu termasuk uang hotel, transpor dan lain lainnya,” ucapnya.
Menariknya, dalam kesaksiannya itu, pria yang sudah mengabdi di Pemprov NTB ini mengaku pernah dimintai bantuan oleh isteri terdakwa, Umi Elya untuk meminta uang kepada teman yang ia kenal.
Awalnya ia tidak menyebut siapa teman yang dimaksud itu. Namun saat merespon pertanyaan JPU KPK?, ia pun secara vulgar menyebut nama Mulyono Tang atau Baba Ngeng.
“Awalnya ada acara di kediaman, pada saat hendak pulang, beliau (Umi Eliya) minta tolong kepada saya untuk meminta uang kepada Mulyono,” sebutnya.
Saksi mengaku, permintaan itu ia sampaikan langsung kepada Baba Ngeng, namun apa yang terjadi setelah itu tidak diketahuinya karena tugasnya hanya menyampaikan saja pesan dari Umi Eliya. Ia juga tidak melaporkan kembali ke Eliya setelah menyampaikan pesan tersebut ke Baba Ngeng.
“Saat itu saya temui Baba Ngeng di rumahnya, karena kebetulan saat itu mau ke Lawata,” ucapnya.
Apakah permintaan seperti itu pernah disampaikan isteri terdakwa pada kesempatan yang lain?. Jeda waktu berikutnya sekitar tahun 2022, sesuai isi BAP saksi, isteri terdakwa lewat dirinya juga pernah meminta hal yang sama kepada Baba Ngeng.
“Saat saya selesai acara, lalu pamit seperti biasanya, kemudian disampaikan pesan seperti itu lagi (untuk menyampaikan pesan Umi Eliya, minta uang kepada Mulyono),” akunya.
Terus saudara saksi ketemu dengan Mulyono?, tidak ketemu karena komunikasinya saat itu terputus. “Saya hubungi, dia matiin hp. Terputus komunikasinya,” cetus saksi.
Sementara itu, terdakwa H Muhammad Lutfi yang saat itu didampingi Penasehat Hukum (PH), Abdul Hanan, SH, MH, memberikan tanggapan terkait dengan kesaksian mantan Pejabatnya itu.
Di hadapan Majelis Hakim, terdakwa membenarkan adanya uang talangan yang disebutnya sebagai panjar. “Soal panjar itu benar,” akunya.
Sedangkan soal permintaan uang oleh isteri terdakwa sendiri, HML mengaku tidak mengetahuinya sama sekali. “Saya tidak mengetahuinya,” tegas terdakwa. (Tim. GA*)