Mataram, Garda Asakota.-Mantan ajudan Walikota Bima 2018-2023, Syafrainsyah atau yang kerap disapa Ryan membantah pernah menelepon eks Kadis PUPR, M. Amin, untuk datang ke rumah dinas Walikota Bima saat itu.
“Tidak pernah,” tegas Ryan saat memberikan kesaksiannya di hadapan persidangan kasus dugaan korupsi terdakwa H Muhammad Lutfi Walikota Bima 2018-2022 di Pengadilan Tipikor Mataram, Jumat (8/3/2024).
Pengakuan Ryan ini berbeda dengan kesaksian dua saksi sebelumnya yang mengaku pernah ditelepon saksi selaku ajudan, atas perintah terdakwa Walikota untuk datang ke rumah dinas Walikota Jalan Gajah Mada Kelurahan Rabadompu.
Justru saksi mengaku, selama empat tahun M Amin menjadi Kadis PUPR hanya sekali saja bertemu, itu pun jelang M Amin pensiun. “Pernah ketemu sekali, sehari sebelum pensiun,” ungkap Ryan ketika ditanya JPU KPK.
“Itu tidak benar, tidak pernah saya menghubungi Pak Amin,” tepisnya.
Dalam keterangan lainnya saksi mengaku kenal Muhammad Maqdis (MM) yang diketahuinya ipar dari isteri terdakwa HML, namun selama dia menjadi ajudan Walikota Bima, jarang ia melihat Maqdis.
“Pernah sekali melihat (MM) di rumah dinas Walikota pas Idul Fitri saja,” akunya lagi.
Meski saksi lain menyebut MM pernah tinggal di rumah dinas Walikota, namun sepengetahuan saksi bahwa MM tidak tinggal di rumah dinas Walikota.
Saksi juga mengaku tidak pernah melihat sejumlah staf dinas PUPR yang mengadakan rapat di belakang rumah dinas terdakwa.
Begitupun dengan pengusaha atau para kontraktor datang ke rumah dinas, tidak pernah dilihatnya, termasuk dengan Rohficho Alfiansyah (AL) dari PT Risalah Jaya Konstruksi (RJK).
“Saya tidak kenal pak (Rohficho), saya juga tidak tahu (ada kontraktor yang ribut-ribut di rumah dinas),” ucapnya.
Pantauan langsung wartawan, selain ditanya seputar eks Kadis PUPR, Muhammad Maqdis, dan sejumlah kontraktor, Ryan juga dicecar pertanyaan seputar honorarium yang diterima terdakwa selama menjabat Walikota Bima.
Di hadapan Majelis Hakim, saksi mengakui atas perintah terdakwa pernah mentransfer sejumlah uang ke rekening kerabat eks Walikota seperti anaknya dan kepada kedua mantan isteri terdakwa, Sri Rahmawati dan Elfrianingsih.
Sumber uang yang ditransfer biasanya berasal dari honor Walikota yang saksi ambil dan dikumpulkan dari bendahara lingkup Pemkot Bima, biasanya kisaran 3 juta, 2 juta, dan setengah juta, dan ada juga honor dari sisa biaya perjalanan dinas Walikota.
“Setelah saya kumpul kumpul, pas ada perintah dikirim baru dikirim seperti ke anak dan mantan isteri,” ungkapnya.
Dalam transaksinya, saksi mengaku pernah transfer uang sebesar Rp30 juta ke rekening mantan isteri terdakwa, Sri Rahmawati. Sumber uangnya, ungkap saksi, dari honor Walikota. Kemudian ada juga transfer ke rekening Elfrianingsih ada yang Rp5 juta, ada juga Rp4 juta, terus ke anak ada Rp8 juta.
Kemudian ada juga yang saksi transfer ke rekening Muhammad Lutfi sendiri kisarannya ada yang Rp10 juta, Rp10 juta, Rp10 juta dan Rp7 juta.
Bagaimana saudara saksi beda hari saja ada transfer ke rekening Muhammad Lutfi Rp10 juta, angkanya ini tidak sesuai dengan keterangan saudara saksi yang mengaku hanya mengumpul honor dari bendahara 2 juta, 1 juta. Nah, yang ditransfer ke Walikota ini uang honor apa?, tanya JPU KPK ketika menelisik sumber dananya.
Saksi sempat terdiam kemudian menjawab bahwa yang dikirim ke rekening terdakwa itu merupakan uang perjalanan dinas. “Tadi saudara katakan uang honor, kenapa saudara selalu jawab di BAP itu honor (yang dikumpul dari bendahara)?.
Sementara faktanya ada dua kondisi yang berbeda, kenapa saudara saksi?, dari mana sumber uang ini, dari bendahara atau pihak lain?, saksi lama terdiam kemudian menjawab. “Kalau saya dari bendahara pak,” aku saksi.
Penasehat Hukum, Abdul Hanan, SH, MH, mempertsnyakan kepada saksi terkait dengan pengiriman uang ke rekening terdakwa.
Saksi mengakui bahwa honor dari 2018-2019 itu masih diterimanya secara manual, belum ada sistem transfer. Adapun sumbernya berasal dari semua dinas yang dikumpulkan satu per satu secara manual kisaran Rp1 juta hingga Rp2 juta.
“Setelah terkumpul, ketika saudara terdakwa ada permintaan dikirim, saudara kirim ke rekening yang dituju, begitu?,” tanya PH, diiyakan saksi.
Terkait penerimaan honor ini, Majelis Hakim menyorot pengakuan saksi yang dianggapnya rancu dan terkesan berbelit belit.
Dalam keterangannya, masih di tahun 2019, justru ada honor yang dikasih terdakwa kepada saksi untuk ditransfer ke rekening Walikota senilai Rp8 juta, padahal faktanya saksi sendirilah yang menyimpan dan memegang honor-honor Walikota?.
Padahal sebelumnya, saksi menjelaskan bahwa semua honor itu diambil lewat bendahara.
Terkait jawaban saksi yang tidak konsisten ini, berkali kali baik JPU maupun Majelis Hakim mengingatkan saksi agar memberikan keterangan yang benar, ada pasalnya loh?.
“Saudara ini tidak konsisten jawabannya,” sebut Majelis Hakim. Lama didalami soal ini, akhirnya saksi mengatakan. “Mungkin sebagian honor itu lewat pak Walikota,” aku saksi.
“Kapan saudara bilang honor lewat Walikota, keterangan dari tadi saudara bilang honor diambil dari bendahara.
Tidak ada saudara terangkan sebagian saudara (yang kumpul honor), sebagian pak Wali, tidak ada,” tegas Majelis Hakim.
“Jangan mungkin, karena jawaban itu tidak pasti, bisa iya bisa tidak, yang dibutuhkan itu fakta, bukan mungkin,” timpal Hakim merespon jawaban saksi yang lebih banyak diam dan kerap menjawab mungkin.
“Ayo saksi, kenapa saudara bingung, apa yang membuat saudara bingung?. Jujur itu gampang loh,” cetus Hakim.
Sementara itu, terdakwa eks Walikota, H Muhammad Lutfi, menjelaskan masalah tamu dan honor yang dipegang eks ajudannya.
Mengenai tamu yang ingin menemuinya harus ijin dari ajudan. Kemudian masalah honor diakui terdakwa semua datanya dari 2018 sampai 2022 sudah diserahkan ke KPK.
Soal honor yang dipegang saksi? “Yang ini agak lupa sedikit, honor ini benar, disimpan saudara saksi.
Honor saya ini ada juga yang bendahara kirim lewat bank mini, termasuk yang dari Forkopimda Rp10 juta setiap bulan, kita punya data semua lengkap,” pungkasnya. (GA. Tim*)