Pada tanggal 25 Oktober 2025, saya mengantar seorang teman dari adik H.Ahmad Muslim, menyambangi Masjid Kubah 99 Makassar. Saya mengemudi Kijang tua, mobil yang selalu ‘mengantar’ ke mana pun di Kota Makassar ini sejak tahun 2008. Di mobil, selain istri, Ubaidillah Umar — teman adik itu — juga disertai istri dan sepasang anaknya plus seorang anak balita yang tinggal bersama anak perempuannya di Komples Bumi Tamalanrea Permai (BTP). Anak perempuannya itu Kamis (23/10/2025) diwisuda pada Program Studi Tata Kota Fakultas Teknik Universitas Bosowa (Unibos) Makassar.
Pemandangan matahari terbenam (sunset) masih dapat kami saksikan saat berjalan di lantai dua, teras luar masjid. Masjid ini dibangun pada tahun 2017 pada era kepemimpinan Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo. Namun diresmikan pada tahun 2023 pada era kepemimpinan Andi Sudirman Sulaiman yang menggantikan Prof.Dr. Nurdin Abdullah, M.Agr. yang tersandung masalah.
Masjid yang arsitekturnya merupakan produk Ridwan Kamil — saat menjabat Gubernur Jawa Barat — merupakan ikon baru Kota Makassar. Kapasitasnya bisa mencapai 13.000 orang jamaah. Biaya yang diserap bagi pembanguann masjid ini mencapai Rp 160 miliar.
Bentuk masjid memang sangat futuristik dan unik dengan mengusung ikon “Asmaulhusna”. Sembilan puluh sembilan nama Allah SWT. Sembilanpuluh sembilan kubah “dipoles” dengan warna merah, jingga, dan kuning. Luas bangunan masjid 72 x 45m2, yang dibagi menjadi tiga area. Ruang salat dapat menampung 3.800 jamaah. Ruang “mezzanine” (lantai tambahan) kapasitas 1.005 jamaah dan dan pelataran suci berdaya tampung 8.190 jamaah.
Dari atas lantai dua teras masjid, pengunjung dapat menikmati matahari terbenam jika tidak tertutup awan di bagian barat. Jika melepaskan pandangan ke timur, akan tersaji Pantai Losari yang sudah direvitalisasi sejak lama, 1965, kemudian dilanjutkan tahun 1975, dan efektif pada periode 2012-2013 pada era kepemimpinan Ilham arief Sirajuddin dan dilanjutkan oleh Mohammad Ramdhan “Danny” Pomanto. Revitalisasi terakhir menjadikan Pantai Losari yang dulu dikenal sebagai meja terpanjang di dunia (the long chair of the world) — panjang tempat duduk sekitar 1 km — kini sarat dengan ikon yang terhimpun dalam nama “Anjungan Pantai Losari”.
Di dalam anjungan yang arealnya sudah dimajukan (ditambah ke dalam) dan mempersempit bentang laut dari timur ke barat, di tepi Masjid 99 Kubah, terepresentasikan tiga anjungan besar. Anjungan Pantai Losari, Anjungan Bugis-Makassar, dan Anjungan Toraja-Mandar. Di Anjungan Pantai Losari dapat dilihat replika produk budaya Sulawesi Selatan seperti becak dan pesepak raga. Juga ada monumen pemain bola legendaris Indonesia kelahiran Sulawesi Selatan, Ramang. Sosok pesepak bola Indonesia satu-satunya yang dipuji oleh FIFA sebagai inspirator sepak bola Indonesia tahun ‘50-an.
Jika kita melepaskan pandangan ke utara, terhampar Pulau Laelae yang nyaris “menyentuh” dengan areal Center Point of Indonesia (CPI), tanah tumbuh dan urukan sebagai tempat berdiri masjid ikonik ini, istana presiden, hotel, dan juga rumah sakit serta perumahan lainnya. Di sisi kanan, tampak berjejer Pelabuhan Peti Kemas Makassar yang melenyapkan salah satu ruas jalan di Kota Makassar, yang menyontek nama Raden Eddy (RE) Martadinata, mantan Kepala Staf TNI Angkatan Laut yang lahir 29 Maret 1921 dan meninggal 6 Oktober 1966 akibat kecelakaan helikopter di Riung Gunung Bogor.
Ke arah selatan di ruang pandang kita di kejaujan tersajikan jejeran bangunan bisnis. Mulai Trans Studio Mall, Mal Graha Tata Cemerlang (GTC) milik Lippo Karawaci, didirikan pada tahun 2003, dan kompleks perumahan. Bangunan-bangunan ini berada di kawasan Kota Mandiri Tanjung Bunga yang dikembangkan PT. Gowa Makassar Tourism Development Corporation (GMTDC), satu konsorsium tripartit, Kota Makassar, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, dan Lippo Karawaci.
Sama-sama Tepian
Sambil berjalan menikmati pemandangan matahari terbenam, saya menjelaskan kepada Ubaidillah — Dillah –, Kota Bima dan Kota Makassar memiliki kontur utama yang sama. Sebagai kota tepian. Kota Bima dan Kota Makassar pun sama-sama memiliki Masjid Terapung. Di Makassar, Masjid Terapung, ‘tegak’ di atas laut, sama dengan di Kota Bima. Hanya saja, Masjid Terapung dalam sisi kunjungan, tersaingi oleh Masjid Kubah 99 di seberangnya. Tetapi tetap padat dengan jamaah, khususnya pengunjung Anjungan Pantai Losari. Arsitekturnya pun melambangkan ciri khas masjid. Ada dua menara dan juga ada dua kubah hijau.
Masjid Terapung Kota Bima pun disertai tiga menara yang ada di ujung utara dan selatan dan tengahnya. Atapnya tidak bermakna arsitektur religiusitas kemasjidan. Banyak orang yang mengkritik atap masjid ini karena tidak menyimbolkan arsitektur masjid yang dikenal publik, kubah.
Salah satu yang perlu “dikoreksi” pada Masjid Terapung Kota Bima ini adalah alur jalan para jamaah dari lokasi batas bebas suci, tempat semua alas kaki harus “diparkir”. Jarak antara batas suci dengan pintu masjid berkisar 20m. Jarak itu sangat menyiksa saat para jamaah singgah salat zuhur di tengah terik matahari. Berjalan telanjang kaki di bawah terik matahari dan di atas tegel yang panasnya minta ampun adalah sebuah ‘penderitaan’. Kalau tidak dapat dikatakan sebagai ‘penyiksaan’. Atau mungkin yang membuat arsitektur masjid ingin menitip pesan secara implisit.
“Rasakan dulu panasnya lantai luar masjid, (oleh sebab itu) jangan sampai merasakan panasnya api neraka!”.
Pemantau Kota
Pada laman bimakota.id.id, 30 September 2025 diberitakan, Dinas Komunikasi dan Informasi (Kominfo) Kota Bima akan memasang Circuit Closed Television (CCTV) pada beberapa titik dengan target total 80 titik. Tujuan pemasangan CCTV ini untuk mendukung program Bima Indah, Sehat, Asri (BISA), yakni terhadap pelaku pembuangan sampah di sembarang tempat dan demi keamanan kota.
Membaca fungsi untuk memantau para pembuang sampah, tentu harus disiapkan peraturan daerah (perda) yang dapat mengganjar pelaku pembuangan sampah agar jera. Perda sebelum diberlakukan hendaknya disosialisasikan secara berjenjang sesuai struktur pemerintahan dan cukup masif kepada warga. Sosialisasi juga dapat dilakukan dengan menempel banyak papan bicara yang mengingatkan sanksi membuang sampah di sembarang tempat dikenakan pelanggaran pasal sekian dengan denda sebanyak sekian. Juga dapat dilakukan dengan memasang stiker pada kendaraan dengan muatan pesan yang sama.
Hanya satu hal yang mungkin sebenarnya tidak perlu, yakni pengumuman lokasi titik pemasangan CCTV. Filosofi kehadiran CCTV adalah pemasangan kamera pemantau tersembunyi yang tidak boleh diketahui oleh publik. Kalau publik atau warga mengetahui, dia akan menghindar membuang sampah di tempat yang tidak dipasangi CCTV.
Melihat langkah yang dilakukan Diskominfo ini, saya teringat ketika di Masjid Amirul Mukminin Kompleks Unhas Manggala Makassar sudah dipasangi beberapa unit CCTV. Pengurus masjid langsung memasang pengumuman melalui spanduk pada dua pintu masuk di pagar masjid bahwa “masjid ini dilengkapi CCTV”.
Melihat pengumuman ini saya geleng-geleng kepala. Sebagai Sekretaris Wali Jamaah Masjid — badan legislatif yang memilih pengurus masjid — saya pun memberi tahu Sekretaris Pengurus Masjid yang kebetulan seorang dosen sama dengan saya dan kini sudah menjabat Profesor — agar spanduk kecil itu segera dicabut. Saya mengatakan, CCTV adalah kamera tersembunyi yang hanya pengurus masjid tertentu yang tahu keberadaannya. Tidak berapa lama, pengumuman itu dicabut.
Berkaitan dengan pemasangan CCTV ini, Pemkot Bima mungkin bisa melakukan “bench marking” (studi komparasi) ke Kota Makassar. Di Makassar memantau situasi kota seluas 175 km2 tersebut dilakukan dari lantai 10 Menara Balai Kota di Jl. Jenderal A.Yani, Makassar. Saya kebetulan pernah masuk ke ruangan pemantauan yang disebut “War room” (‘ruang perang’).
“Ibarat perang, kita memonitor perang,” Taufik, lulusan Jurusan Elektro Fakultas Teknik Unhas selaku Ketua Tim I Operator CCTV mengatakan kepada saya saat ditanya nama ruangan yang cukup mengerikan itu.
Di ruang ini terdapat satu layar digital lebar yang berisi laporan “real time” (dalam waktu bersamaan) peristiwa yang terekam oleh CCTV di berbagai sudut kota. Total di seluruh kota Makassar, saat saya berkunjung terdapat 300 unit CCTV terpasang dan sudah beroperasi dari rencana 3.000 unit. Sebanyak 145 unit CCTV di antaranya bisa berputar 360 derajat. Ada juga CCTV yang berkolaborasi dengan PT Telkom.
Di “ruang perang” ini terdapat dua bagian. Pertama, operator CCTV. Tugasnya menangani jika terjadi kerusakaan pada CCTV, seperti gangguan jaringan, termasuk gangguan komunikasi internet.
Kedua, operator ‘call center 112”, yakni bagian yang menerima telepon melalui nomor darurat ini. Warga dapat melaporkan keadaan darurat yang mereka alami. Misalnya masalah kebakaran. Gratis.
“Boleh juga menelepon tentang masalah yang lainnya,” imbuh Taufik yang merupakan angkatan pertama diterima bekerja di pusat pengendalian informasi Kota Makassar pada tahun 2016 dengan total personil 15 orang.
Operator CCTV terbagi atas beberapa tim yang bekerja bergiliran setiap 12 jam. Untuk “call center 112” setiap 8 jam tenaganya berganti. Sehingga, dalam 1 x 24 jam, tetap ada personil yang bertugas. Mereka berjumlah 15 orang untuk operator CCTV “Call center 112” sebanyak 7 orang, mencakup lima tim, total 35 orang. Jumlah yang bekerja di “ruang perang” ini 50 orang. Mereka bekerja dalam tiga ‘shift’.
Ada juga yang disebut “dashboard”, papan data elektronik yang terhubung secara daring dengan laman Diskominfo Kota Makassar, Smart Panakkukang, yakni layanan digital yang berurusan dengan armada angkutan sampah Kota Makassar. Jaringan ini akan menginformasikan jumlah armada dan di jalur-jalur mana saja mereka bertugas.
Terdapat juga “dashboard” Dukcapil online. Melalui data ini akan diketahui secara “real time” jumlah kelahiran dan kematian di Kota Makassar setiap hari.
Ada pula “papan data” Sistem Informasi Pajak (Sinpak) guna memantau objek yang berhubungan pajak di Makassar. “Somberetta” Makassar untuk Humas Pemkot memantau kegiatan di Satuan Perangkat Pemerintah Daerah (SKPD) Kota Makassar. Di layar tampak titik-titik hujau yang dipantau CCTV.
Tersedia pula “papan pintar” Dinas Kesehatan Kota Makassar yang memungkinkan petugas di “ruang perang” dapat memantau kegiatannya. Melalui ruangan ini, pejabat yang memerlukan data tidak perlu lagi menyambangi atau mengontak satu demi satu SKPD.
Ada juga fasilitas untuk memantau pergerakan kendaraan-kendaraan Puskesmas, keberadaan bank, dan truk sampah memanfaatkan ‘global positioning system” (GPS).
Taufik yang lulus di Unhas tahun 2018 menjelaskan, “papan pintar’ RSU Daya Makassar menyediakan informasi berkaitan dengan jumlah pasien, kamar tersedia, dan masalah obat-obatan. Datanya tinggal diklik sesuai dengan yang diperlukan.
Warga pun dapat meminta bala bantuan ke “ruang perang”. Misalnya, telah terjadi kecelakaan di salah satu jalan di Kota Makassar. Warga tinggal datang membawa KTP ke ‘ruang perang’ dan memperoleh informasi yang diperlukan sebagai bukti. Pihak petugas “ruang perang” akan merekamnya menggunakan ‘compact disk’ (CD). Semua gratis.
Fasilitas ini dirancang oleh Mohammad Ramdhan Pomanto saat dia menjabat Wali Kota Makassar (dua periode). Kepala Unit Pelayanan Teknis Daerah (UPTD) membawahi urusan “ruang perang” ini di lingkup Dinas Kominfo.
Jangan heran, jika terjadi kejahatan jalanan di Makassar, tak cukup 24 jam pelakunya sudah dibekuk. Kamera pemantau di berbagai bagian kota itu “akan mengidentifikasi” ciri-ciri pelaku yang memudahkan aparat kepolisian menangkapnya. Data “ruang perang” ini, juga terkoneksi dengan Polrestabes Makassar. Saat keluar dari Bandara Sultan Hasanuddin, wajah Anda sudah terpantau di lantai 10 Menara Balai Kota dan jaringan koneksitasnya.
Penulis: Akademisi, Jurnalis, & Penulis, tinggal di Makassar *)
(*).




















