Oleh : Ners. Ijhul
Pernyataan kontroversial Kepala Dinas PUPR Provinsi NTB yang menyebut jalan-jalan di Pulau Sumbawa tidak perlu diperbaiki karena “sepi penduduk”, dan kemudian dibela Gubernur NTB, memicu kekecewaan mendalam di masyarakat. Ini bukan sekadar kesalahan komunikasi, tapi bukti nyata ketimpangan cara pandang birokrasi terhadap wilayah timur NTB membuka luka lama tentang ketidakadilan pembangunan antara Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa.
Sebagai akademisi, saya menilai ucapan itu melukai harga diri kolektif masyarakat Pulau Sumbawa. Data ekonomi menunjukkan Bima, Dompu, Sumbawa, dan Sumbawa Barat adalah penyumbang pendapatan strategis bagi provinsi, dari pertambangan, pertanian, perikanan, hingga peternakan. Jika kontribusi begitu besar, bagaimana mungkin infrastruktur dasar seperti jalan dianggap tidak penting?
Ketimpangan Pembangunan yang Nyata
Selama dua dekade, masyarakat Pulau Sumbawa terus mempertanyakan distribusi anggaran yang lebih condong ke Lombok. Jalan provinsi dan nasional di Sumbawa sering rusak, memicu kecelakaan, menghambat akses pendidikan, logistik, dan kesehatan. Keadilan sosial menuntut akses layanan publik tanpa diskriminasi—bukan berdasarkan jumlah penduduk, tapi keselamatan dan kebutuhan warga.
Dukungan Ilmiah bagi Pemekaran Provinsi Pulau Sumbawa
Momentum ini menghidupkan urgensi pemekaran Provinsi Pulau Sumbawa (PPS). Dari sisi akademik, PPS memenuhi aspek kelayakan: Sumber daya manusia: SDM terdidik, banyak perguruan tinggi di Bima, Dompu, Sumbawa.
Kelayakan Ekonomi: penyumbang PAD besar dari tambang dan agro-maritim. Kelayakan Infrastruktur: bandara, pelabuhan, rumah sakit rujukan serta kelayakan sarana pemerintahan: sudah sesuai UU Pemekaran Daerah. Jadi, tuntutan pemekaran bukan tindakan emosional, tapi pilihan rasional berbasis data.
Harapan Kepada Pemimpin Daerah
Saya menyerukan kepada pemimpin politik, terutama Wakil Gubernur NTB dari Pulau Sumbawa agar menyuarakan aspirasi masyarakat secara terbuka, jangan larut dalam kenyamanan jabatan, jadilah jembatan percepatan pemekaran PPS di Pusat.
Jabatan publik adalah amanah, bukan ruang untuk diam. Saatnya kita wujudkan keadilan pembangunan dan pulihkan martabat publik.
*Penulis: Akademisi dan Wakil Ketua Perguruan Tinggi Swasta Kesehatan di Bima-Dompu















