Mataram, Garda Asakota.-Persidangan pemeriksaan terdakwa H Muhammad Lutfi (HML) dalam kasus dugaan korupsi berupa penerimaan gratifikasi dan pengadaan barang dan jasa lingkup Pemkot Bima tahun anggaran 2018-2023, yang berlangsung kemarin di PN Tipikor Mataram, Senin (22/4/2024), berjalan alot.
Selain menyorot peran terdakwa HML, Tim JPU KPK juga mengungkap peran isteri terdakwa, Hj. Eliya Alwaini dan iparnya Muhammad Maqdis (MM) Direktur PT Risalah Jaya Konstruksi (RJK) Cabang Kota Bima.
Awalnya, dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Ketua, Putu Gde Hariadi, SH,.MH, terdakwa HML mengaku selama menjabat Walikota Bima dirinya tidak mengetahui keberadaan PT RJK yang diduga beroperasi di kediamannya Jalan Gajah Mada.
Justru terdakwa baru mengetahui adanya PT RJK setelah ada informasi lewat FB yang diluncurkan oleh salah satu Pelapor.
“Setelah ada di medsos baru saya tahu, perusahaan jasa konstruksi yang diketahui pasca persidangan ini milik kakaknya Maqdis (Muhammad Maqdis),” ungkapnya.
Dicecar pertanyaan oleh Tim JPU KPK, HML juga tidak mengetahui pekerjaan apa saja yang dikuasai Maqdis selama dirinya menjabat Walikota Bima, terdakwa hanya mengetahui bahwa ipar dari isterinya ini pernah mendapatkan pekerjaan di Kabupaten Bima.
“Saya tidak pernah tahu dia punya pekerjaan selama menjadi Walikota, tahunya lewat facebook saja,” akunya lagi.
Sebagai Walikota, terdakwa mengaku pernah diingatkan oleh mertuanya Muhammad Alwaini, bahwa anak dan mantunya tidak ada seorang pun yang boleh mengerjakan proyek atau tidak boleh menjadi kontraktor.
“Pas saya Walikota, kita dikumpulin sama Abah (mertua), tidak boleh anak saya, mantu saya menjadi kontraktor,” akunya meniru warning dari mertuanya saat itu.
Kenapa warningnya (mertua itu) dilakukan setelah saudara menjadi Walikota?, “Karena saya menjabat Walikota,” sahut terdakwa.
Baik, kemudian kapan jadinya Maqdis itu berkecimpung dalam dunia kontraktor? “Saya tidak tahu, saya tahunya (dia) kontraktor tahun 2018 saja pas saya menjadi anggota DPR RI,” jawabnya lagi.
Setelah dikumpulkan oleh mertua?, apakah saudara terdakwa tidak mengingatkan Maqdis, tidak usah jadi kontraktor?. “Saya nggak gomong, saya diam saja,” aku HML. Tapi apakah Maqdis tetap jadi kontraktor? “Saya tidak tahu,” timpal mantan anggota DPR RI dua periode ini.
Nah, kalau saudara tidak tahu, kemudian tadi saudara mengatakan pernah meminjam profesi pak Maqdis untuk mengerjakan rumah saudara. Apakah saudara juga tidak tahu kalau dia itu kontraktor?.
“Itu isteri yang melaporkan ke saya pak bahwa rumah ini dikerjakan Maqdis,” jawabnya. Artinya saudara tahu kan? “Iya,” ujar terdakwa.
“Maksud saya tadi itu saudara mengatakan tidak tahu, yang mengerjakan konstruksi rumah saudara kok tidak tahu. Jadi saya harap saudara harus tetap terbuka, kedua tolong dipikir dulu baru dijawab yah,” sentil JPU KPK.
Sebelumnya, terdakwa mengaku mengetahui bahwa Maqdis pernah membangun kediamannya di Jalan Gajah Mada dimana menyedot anggaran sekitar Rp500 juta di tahun 2018.
“Sekali saja pak, itu uang untuk membangun rumah tinggal. Akhirnya dikembalikan pada bulan Juli tahun 2019 seperti dalam BAP saya. Ditransfer dari rekening perusahaan Eliya isteri saya selaku Direktur Air Asakota, dikirim ke rekening pribadi Maqdis,” aku terdakwa.
Jadi setelah saudara dilantik jadi Walikota di atas tahun 2018 apakah Maqdis masih berkecimpung sebagai kontraktor?, “Tidak tahu pak, karena hasil dari omongan mertua saya dia mengatakan tidak akan menjadi kontraktor,” kata terdakwa.
Terdakwa mengaku pernah terima transferan uang dari Maqdis melalui rekening Bank Mandiri, rinciannya sebelum jadi Walikota Rp15 juta dan bulan Oktober 2018 senilai Rp40juta.
Ketika diperlihatkan BB, ada transfer di tanggal 19 September 2018 sebelum terdakwa menjadi Walikota dan 1 Oktober 2018 Rp15 juta dan ada transfer Rp40 juta setelah terdakwa menjadi Walikota.
Bukan hanya terkait pembangunan rumah dinas oleh Maqdis, terdakwa juga dicecar pertanyaan seputar pengeluaran cek senilai Rp500 juta oleh PT RJK untuk pembelian mobil Vios sebagai hadiah Ultah isteri terdakwa.
Menjawab soal ini terdakwa tidak pernah mengetahuinya. Terdakwa juga mengaku tidak pernah membelikan isterinya sebuah mobil Vios di tahun 2019.
JPU kemudian menunjukkan Barang Bukti (BB) nomor 130 hal 5 berupa isi chat melalui HP yang disita Penyidik dari Rohficho alias AL.
Dari chat itu, terungkap adanya chat antara Kabid SDA Dinas PUPR dengan Rohficho soal pembelian mobil untuk isteri terdakwa atas perintah terdakwa sebagai kado Ultah isterinya itu, namun dugaan pembelian mobil bersumber dari uang PT RJK itu terang dibantah terdakwa. “Tidak ada pak,” tepis terdakwa.
Terdakwa HML juga menampik mengenai beberapa aliran dana ke rekening pribadinya termasuk aliran dana senilai Rp240 juta. Ia mengaku uang tersebut merupakan akumulasi dari gajinya sebagai Walikota.
Di hadapan Majelis Hakim, terdakwa mengaku kenal dengan saksi Burhan Kasubag Perencanaan dan Keuangan Dinas PUPR, namun tidak pernah menemui dirinya di kediaman.
Setahunya, hanya Kadis PUPR saja yang datang menghadap dirinya di kediaman sekitar pertengahan tahun 2019 silam.
“Pak Amin ini datang dengan sendirinya tanpa saya undang seperti dalam BAP saya, beliau membawa draft pekerjaan pekerjaan di Kota Bima pada tahun itu.
Karena saya banyak tamu, saya minta penjelasan kepada pak Amin. Bahwa ini hasil rekap pekerjaan program program yang ada di Dinas PUPR, kemudian saya bertanya, apakah program ini sudah mengakomodir hasil Musrenbang baik tingkat Kelurahan, Kecamatan dan tingkat Kota Bima.
Jadi, tidak sempat saya baca, saya minta ditaruh di atas meja tamu belakang rumah, karena pak Amin merasa saya tidak respon, akhirnya dia pulang,” cetusnya.
Ketika Jaksa KPK menanyakan bahwa yang datang bukan orang sembarang melainkan Pejabat yang percayakan lagi oleh terdakwa menjadi Kadis PUPR?, HML mengungkapkan bahwa bagi dirinya saat itu kedatangan Kadis PUPR sesuatu yang aneh karena terkesan melanjutkan kebiasaan lama.
“Karena bagi saya ada yang aneh, ada apa bawa seperti ini?, makanya saya tidak respon. Artinya kebiasaan lama, dia lakukan terhadap saya, makanya saya tidak respon dan ditaruh di meja,” jelasnya.
Kebiasaan lama seperti apa yang bapak maksud? “Ya kebiasaan lama kepala daerah bawa list proyek, biasanya bawa seperti itu, saya tidak pernah minta,” sahutnya.
Merasa penasaran dengan jawaban terdakwa, JPU kemudian lanjut bertanya, yang terdakwa ketahui sebelum-sebelum itu kebiasaan apa? HML mengatakan bahwa menurut informasi bahwa kepala dinas suka membawa daftar proyek ke Walikota yang ada.
“Informasinya seperti itu. Kebiasaannya mereka dulu menghadap kepala daerah membawa daftar proyek pak,” cetusnya lagi.
Pak Amin (Kadis PUPR) membawa daftar list pekerjaan kenapa saudara tolak? “Beliau datang tidak diundang membawa daftar itu, makanya saya katakan ini kebiasaan lama.
Saya di kasih tahu sama pak Sekda bahwa kebiasaan birokrasi kita ini adalah cari muka dengan membawa list proyek dan segala macam, isterinya ditaruh di rumah Walikota, sehingga saya cut semua itu tidak boleh ada isteri pejabat yang dekat dengan isteri saya, nah begitu juga kepala dinas, jadi hubungannya tercipta hubungan struktural, tidak ada hubungan emosional,” terangnya.
Kebiasaan lama seperti apa yang saudara ketahui, cecar Jaksa lagi? “Kebiasaan lama itu saya tidak tahu pak, hanya sebatas itu mereka datang cari muka, kebiasaannya isteri pejabat sering datang ke kediaman walikota, supaya suaminya bisa dipromosi.
Ini yang saya cut, makanya saya tidak respon. Cuman pak Amin satu satunya Kadis yang ada di Kota Bima yang seperti itu, yang lain tidak,” tuturnya.
Namun di sisi lain JPU menegaskan bahwa isteri terdakwa ini, Eliya Alwaini, juga aktif memimpin organisasi salah satunya di PKK, siapa saja anggota PKK tersebut, apakah ada isteri isteri kepala dinas?.
Spontan terdakwa menjawab bahwa keanggotaan PKK yang dipimpin isterinya saat itu banyak, termasuk isteri isteri pejabat di pemkot Bima. “Cukup,” sergah Jaksa.
Hal lain yang terungkap dalam sidang pemeriksaan terdakwa HML ini adalah terkait dengan BB19 hal 2, yang mengungkapkan bahwa sekitar tahun 2022 silam, ada beberapa chat WA di ponsel Kadis DP3A Kota Bima yang banyak menyebut nama Umi untuk koordinasi paket proyek?
Jaksa kemudian menanyakan kepada terdakwa yang terkenal di Bima itu Umi siapa pak?, “Umi Elya,” jawab terdakwa.
Kenapa Kadis harus minta petunjuk dulu kepada isteri Walikota?, “Ya peran isteri Walikota ya bagaimana mendampingi saya pak,” jawabnya
Untuk urusan tender proyek? “Tidak ada pak,” tegasnya Tidak ada kewenangan isteri Walikota dalam urusan tender.
Dalam chat lainnya sesuai BB19 hal 19, terungkap lebih jelas penyebutan nama Umi Wali dalam percakapan via WA.
Apa kaitannya Umi Wali ini atau isteri bapak dengan pekerjaan paket tender, apakah ada perintah bapak untuk semua OPD untuk menghubungi isteri bapak, tanya JPU KPK?, “Tidak ada pak, tidak pernah,” kata terdakwa.
Bagaimana seorang Kadis bisa mengatakan agar menghubungi Umi Wali dulu baru bisa mengumumkan hasil tender?, terdakwa menjelaskan bahwa DP3A ini bidang koordinasinya adalah program program dalam rangka membantu PKK dan Dekranasda, makanya ada bantuan mesin jahit dan lain lain.
Etikanya Walikota tidak boleh ikut campur dalam proses tender. Namun dalam BB17 hal 4, terungkap adanya chat di HP milik Fahad Kabid Cipta Karya yang disuruh menghadap pak Walikota terkait proyek pembangunan kantin.
Padahal tegas Jaksa dalam suatu pekerjaan, sudah diawali dengan perencanaan dan lain lain sudah diperhitungkan semuanya? Nah kenapa pada saat pelaksanaan pekerjaan, minta ijin dulu ke bapak (terdakwa)?
“(chat) itu berkaitan dengan soal letaknya pak, apakah di sebelah kiri jalan atau kanan jalan, sehingga saya sarankan di sebelah kanan, karena di belakamg kantor walikota itu langsung masjid soalnya,” jelasnya.
Jaksa lainnya memberondong terdakwa dengan pertanyaan apakah sebagai Walikota terdakwa melarang isteri sebagai Ketua PKK untuk bertemu dengan pejabat pejabat yang lebih intens?, menyikapi pertanyaan ini terdakwa mengatakan bahwa pertemuan isterinya selaku Ketua PKK dengan pejabat itu tidak bisa dihindari karena mereka melaksanakan tugas organisasinya.
“Sebagai isteri saya tegas ngomong, tapi sebagai Ketua PKK tidak bisa dihindari pak (bertemu pejabat pejabat),” ujarnya.
Tapi berdasarkan fakta persidangan sampai sampai ada muncul pemikiran kadis kadis itu bahwa harus memberitahu isteri Walikota dulu untuk bisa mengumumkan hasil lelang proyek, itu bagaimana pak?.
“Itu satu Kadis pak,” sahutnya yang langsung dikatakan Jaksa bahwa fakta tersebut merupakan satu contoh saja dari beberapa fakta kesaksian di persidangan. “Itu satu contoh, seorang Kadis takut, harus memberitahu dulu Umi Eliya baru mengumumkan hasil lelang,” tegas Jaksa.
Fakta lain yang terungkap bahwa terdakwa HML memiliki tujuh buku tabungan, namun Jaksa mempertanyakan ada dua buku tabungan yang fungsinya sama yakni buku rekening BNI dan Bank NTB.
“BNI tidak kita pakai setelah ada penerapan pembayaran non tunai ke Bank NTB, meski demikian buku rekening BNI masih aktif sampai sekarang,” akunya. “Semuanya sudah diserahkan ke KPK,” timpalnya lagi.
JPU KPK juga menanyakan saksi lainnya Safran yang diakui dikenal terdakwa seorang pemuda dari Kelurahan Sadia. Safran ini, kata terdakwa seorang aktivis bukan sebagai Timses dirinya saat Pilkada 2018.
“Pernah sekali datang di kediaman di Ule Asakota 2018, ada Kadis PUPR, M. Amin. Safran hanya datang main main saja, setelah saya dilantik menjadi Walikota sekitar akhir Desember 2018,” katanya.
Diakuinya, Safran tidak pernah minta pekerjaan atau paket proyek, bahkan ia tidak pernah menyuruh Safran untuk bertemu dengan isterinya, Eliya Alwaini.
Jaksa lainnya, menanyakan sejumlah pekerjaan poyek 2019, namun terdakwa tidak mengetahui satu pun siapa pelaksana dan perusahaan mana saja yang mendapatkannya, termasuk beberapa paket pekerjaan yang dikerjakan oleh PT RJK.
“Kalau laporan soal progres proyek tidak saya ketahui yang mulia, yang ada yakni laporan terkait serapan anggarannya saja,” cetusnya.
Bahkan sampai Jaksa menyebut satu per satu berapa nama perusahaan, mantan Walikota itu mengaku sama sekali tidak pernah mengetahuinya. “Tapi kalau meninjau hampir semua saya tinjau,” katanya menjawab pertanyaan Jaksa lainnya.
Ketika saudara diundang dalam acara peresmian proyek atau meninjau lokasi proyek tersebut, siapa saja yang hadir?.
“Ya rata rata Kadis, Dandim, dan Kapolres. Kalau PPK dan KPA-nya saya kurang tahu, saya hanya ketemu PPK Ismunandar di relokasi Kadole sama Kepala Dinasnya,” imbuhnya.
Apakah saat saudara meninjau pembangunan jalan perumahan Oi Fo’o 2, mengetahui siapa yang mengerjakan, “Tidak tahu,” sahutnya.
Apakah tidak disampaikan oleh kepala dinas bahwa yang mengerjakan proyek perumahan Oi Fo’o ini PT RJK, apakah pak Maqdis saat itu ada di sini?, “Saya tidak melihat, justru di situ karena saya melihat pekerjaan tidak bagus saya suruh bongkar semua,” jawabnya. “Saya tidak tanya itu terdakwa, tidak perlu saudara jelaskan,” potong Jaksa.
Pekerjaan.pelebaran jalan Nungga-Toloweri Cs pelaksana PT RJK, pertanyaan yang sama pak, ketika meninjau apakah bapak Maqdis ada di sini?, “Saya tidak meninjau yang ini,” ujarnya.
HML mengaku ketika meninjau proyek tidak pernah menanyakan ini proyek siapa, tapi yang ia hanya melihat progres pembangunannya.
Nah, ketika saudara meninjau ada pekerjaan yang nggak beres, saudara minta dibongkar padahal yang mengerjakan tadi PT RJK, apakah pernah menanyakan siapa kontraktor proyeknya?.
“Kontraktornya saya tidak tanya,” jawab terdakwa. Kenapa nggak tanya, kan hal aneh, padahal proyek itu pasti ada pelaksananya, fungsi pengawasan saudara sebagai kepala daerah, apa tidak dilaporkan ke Inspektorat untuk memeriksa proyek yang bermasalah itu?. “Pada akhirnya pekerjaan itu sudah diperbaiki,” imbuhnya.
Terkait pengadaan mesin jahit, terdakwa lebih banyak tidak tahu ketika merespon pertanyaan Jaksa. Begitupun dengan kesaksian Hendra yang mengaku mendapat perintah dari Walikota untuk menghadap Kabag LPBJ, tapi pernah ketemu untuk membantu pekerjaan pagar kediamannya. Sedangkan urusan yang lainnya terdakwa mengaku tidak mengetahuinya.
Dalam persidangan, juga terungkap bahwa terdakwa mengaku tidak mengenal Nawir, Direktur CV Nawi Jaya. Padahal dalam keterangannya di BAP, Nawir mengaku sekitar tahun 2019, pernah ke kediaman Walikota sudah ada Muhammad Lutfi dan Maqdis yang sedang duduk di depan kediaman.
Saat itu Maqdis meminta bantuan untuk dicarikan batu koral (batu alam) yang langsung disanggupi Nawir karena dijanjikan dua paket proyek PL.
Kurang lebih satu minggu kemudian pada saat batu alam datang, Nawir bertemu Lutfi di depan rumahnya, saat itu yang bersangkutan mengatakan kepada Nawir, apa itu? dijawab Nawir, ini batu alam untuk taman pak Lutfi, dijawab terima kasih ya, apa betul seperti itu?. “Tidak ada itu pak,” sahut terdakwa.
Menjawab pertanyaan Jaksa lainnya, terdakwa mengaku tidak kenal Nasuhan, kakak Maqdis. Selain itu, terdakwa juga tidak kenal CV Buka Layar, CV Zafira Bima, CV Nawi Jaya, CV Cahaya Berlian, CV Temba Na’e, CV Indo Bima Mandiri, CV Mutiara Hitam, CV Poni Perdana, CV Yuanita, dan CV Berlian.
Terdakwa juga mengaku tidak mengetahui pekerjaan pengadaan lampu jalan Kota Bima, tapi programnya ia ketahui karena ada permintaan masyarakat, tapi terdakwa tidak kenal Nasuhan sebagai kuasa Direktur pelaksana proyeknya dan tidak pernah main ke kediaman bersama Maqdis alias Dedy.
Terdakwa juga mengaku kenal dengan Cengsin (Amsal Sulaiman) seorang Pengusaha alat berat di Kota Bima. Pernah bertemu dengan dirinya ketika ada acara Natalan, namun ia tidak mengetahui Cengsin ini memiliki perusahaan. “Saya tidak tahu,” cetusnya.
Di sisi lain, terdakwa juga mengaku tidak pernah melaporkan ke KPK terkait dengan penerimaan gratifikasi. “Tidak pernah, karena memang tidak ada, tidak pernah menerima (gratifikasi),” tegas terdakwa.
Sementara itu, Abdul Hanan, SH, MH, Penasehat Hukum terdakwa H Muhammad Lutfi, mempertegas pertanyaan kepada kliennya terkait dengan fungsi pengawasan kepala daerah. Menurut terdakwa, fungsi pengawasan yang dimaksud adalah fungsi pengawasan dalam aparatur atau perangkat daerah.
“Sedangkan fungsi pengawasan dalam pekerjaan proyek tidak ada, karena itu sudah didelegasikan kepada Inspektorat dan oleh OPD terkait, jadi tidak melekat pada saya (selaku kepala daerah),” tegas terdakwa.
Terdakwa juga membantah pernah menerima uang Rp100 juta dari Safran. Sedangkan terkait dengan transferan uang senilai Rp15 juta dari Maqdis sebelum dirinya dilantik sebagai Walikota yang diakuinya merupakan pinjaman pribadinya kepada keluarga.
Begitupun dengan transferan uang Rp40 juta dari Maqdis satu bulan pasca dirinya dilantik sebagai Walikota. “Memang saya tidak ada uang, itu juga hutang saya dan sudah dilunasi, malah saya lebihkan Rp5 juta,” jelasnya.
Terdakwa juga menceritakan pertemuan dirinya dengan Mursalim Direktur PT Tukad Mas Cabang Bima yang diakuinya pernah bertemu satu kali pasca Pileg 2019. Ia membantah pernah memberikan nomor ponselnya kepada Mursalim alias Salim dan menerima transferan uang miliaran rupiah dari Mursalim.
“Tiba tiba di tahun 2022, saya diberitahu pinjam uang Rp1,2 Miliar, tersentak saya. Saya katakan, rumah bapak kan dekat dengan saya ini, yang pinjam siapa?.
Ada yang ngaku atas nama pak Wali, saya kemudian sarankan laporkan ke Polisi, karena saya tidak pernah kasih nomor ke bapak. Itu murni penipuan yang mengatasnamakan saya,” bantahnya sembari mengutip percakapannya dengan Salim saat itu. (Tim. GA*)