Gardaasakota.com.-Proses seleksi calon anggota Komisi Informasi (KI) Nusa Tenggara Barat periode 2025–2030 kini berada dalam sorotan serius publik dan lembaga legislatif. Dugaan cacat administrasi yang mengemuka dalam tahapan penjaringan komisioner mendorong DPRD NTB mengambil langkah politik-institusional dengan memanggil tim panitia seleksi (Pansel) guna memastikan proses berjalan sesuai prinsip hukum, transparansi, dan akuntabilitas.
Ketua Komisi I DPRD NTB yang membidangi politik, hukum, dan pemerintahan, Muhammad Akri, menegaskan bahwa pemanggilan Pansel merupakan bentuk tanggung jawab dewan dalam mengakomodasi aspirasi dan keberatan peserta seleksi. Ia menilai laporan dugaan pelanggaran administratif tidak bisa diabaikan begitu saja, mengingat Komisi Informasi merupakan lembaga strategis yang bertugas menjamin keterbukaan informasi publik. DPRD, kata Akri, akan mendalami persoalan ini dengan mendengarkan keterangan seluruh pihak agar diperoleh gambaran yang utuh dan berimbang.
Dalam tahapan yang berjalan, Pansel telah menyerahkan 15 nama peserta yang lolos seleksi wawancara untuk mengikuti uji kepatutan dan kelayakan. Akri menyebut, keberatan administratif yang dilaporkan peserta tidak serta-merta menghentikan proses lanjutan tersebut. Namun demikian, DPRD memastikan akan melakukan pengawasan dengan mendengarkan penjelasan dari Pansel maupun peserta yang merasa dirugikan, sehingga proses seleksi tetap berada dalam koridor hukum dan etika kelembagaan.
Persoalan seleksi KI NTB tidak hanya bergulir di ruang legislatif, tetapi juga telah masuk ke ranah hukum. Sejumlah peserta yang tidak lolos menggugat proses tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Kuasa hukum peserta, Muhammad Erry Satriawan, bahkan secara tegas meminta agar hasil seleksi dibatalkan karena dinilai mengandung pelanggaran administratif yang bersifat mendasar.
Erry menguraikan sejumlah temuan, mulai dari penggunaan surat keterangan sehat jasmani dan rohani yang tidak sesuai ketentuan. Dalam regulasi Komisi Informasi maupun pedoman seleksi yang diumumkan Pansel, surat keterangan sehat ditegaskan harus dikeluarkan oleh rumah sakit pemerintah. Namun pada praktiknya, terdapat peserta yang dinyatakan lolos ke 15 besar dengan menggunakan surat keterangan dari puskesmas. Perbedaan kewenangan antara puskesmas dan rumah sakit, khususnya dalam pemeriksaan kesehatan kejiwaan, dinilai berimplikasi serius terhadap validitas persyaratan.
Selain itu, Pansel juga disorot karena tidak mengumumkan hasil tes psikotes dan dinamika kelompok sebagaimana diwajibkan dalam aturan. Ketentuan menyebutkan bahwa hasil tahapan tersebut harus diumumkan paling lambat dua hari setelah pelaksanaan dan ditayangkan selama tiga hari berturut-turut melalui media elektronik atau media massa. Ketidakterbukaan pada tahapan ini dinilai bertentangan dengan semangat transparansi yang justru menjadi ruh dari Komisi Informasi itu sendiri.
Keberatan berikutnya menyangkut kehadiran anggota Pansel dalam proses wawancara. Dalam pedoman seleksi, seluruh tahapan wajib diikuti oleh semua anggota Pansel tanpa kecuali. Namun pada praktiknya, khususnya di hari kedua wawancara, hanya empat dari lima anggota Pansel yang hadir. Alasan ketidakhadiran karena urusan mendesak dinilai keliru oleh pihak keberatan, karena ketentuan kuorum sejatinya hanya berlaku dalam rapat pengambilan keputusan, bukan dalam keseluruhan tahapan seleksi.
Persoalan lain yang tak kalah krusial adalah syarat non-afiliasi partai politik selama lima tahun terakhir. Persyaratan ini bahkan diunggah secara resmi melalui laman Pansel dan ditandatangani seluruh anggota Pansel di atas materai. Namun dalam proses seleksi, muncul dugaan bahwa mantan calon legislatif Pemilu 2024 justru dinyatakan lolos ke 15 besar. Dalih Pansel bahwa unggahan persyaratan tersebut dilakukan sekretariat tanpa sepengetahuan Pansel dinilai janggal dan mencederai prinsip kehati-hatian, mengingat dokumen tersebut ditandatangani secara resmi oleh seluruh anggota Pansel.
Di tengah kritik tersebut, Pansel seleksi Komisi Informasi NTB membantah seluruh tudingan cacat administrasi. Wakil Ketua Pansel yang juga Kepala Dinas Kominfotik NTB, Yusron Hadi, menegaskan bahwa seluruh proses seleksi telah mengacu pada Peraturan Komisi Informasi Nomor 4 Tahun 2016. Ia menyatakan tim seleksi telah mencermati dan melaksanakan setiap tahapan sesuai ketentuan yang berlaku, serta memastikan proses dilakukan secara terbuka.
Yusron juga menjelaskan bahwa dalam ketentuan seleksi, peserta dari badan publik tetap diperbolehkan mendaftar sepanjang bersedia mengundurkan diri apabila terpilih. Hal ini, menurutnya, berlaku bagi siapa pun, termasuk anggota legislatif maupun aparatur sipil negara. Terkait laporan ke PTUN dan rencana pemanggilan oleh DPRD, Pansel menyatakan menghormati langkah tersebut sebagai bagian dari mekanisme kontrol publik dan keterbukaan informasi.
Lebih lanjut, Yusron memastikan bahwa laporan dan polemik yang berkembang tidak akan mempengaruhi tahapan seleksi yang sedang berjalan, termasuk uji kepatutan dan kelayakan yang dilaksanakan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Ia menegaskan komitmen Pansel untuk tetap mengikuti seluruh proses sesuai aturan, sembari menghormati hak peserta untuk menempuh jalur hukum maupun pengaduan institusional.
Polemik seleksi KI NTB ini pada akhirnya menjadi ujian penting bagi komitmen tata kelola pemerintahan yang baik di daerah. Di satu sisi, DPRD dituntut memastikan proses seleksi lembaga strategis berjalan akuntabel dan bebas dari cacat prosedural. Di sisi lain, Pansel juga memikul tanggung jawab moral dan hukum untuk membuktikan bahwa seluruh tahapan seleksi benar-benar menjunjung prinsip transparansi, profesionalisme, dan keadilan—nilai-nilai yang kelak akan dijaga oleh Komisi Informasi itu sendiri. (*)

















