Hari ini saya membaca sebuah berita dari salah satu media daring. Berita itu berisi komentar salah seorang koordinator liputan yang juga kepala biro wilayah media daring yang lainnya. Menilik nama medianya, mungkin berkantor pusat di Sulawesi, tetapi entah Sulawesi yang nama.
Inti komentarnya, dia menduga ada ketidaksesuaian antara informasi yang disampaikan dengan fakta yang ada di lapangan dari media daring yang dia komentari. Yang dipersoalkan adalah masalah inisial nama yang disebutkan di dalam berita tersebut.
“Apakah informasi yang beredar tersebut sudah melalui konfirmasi yang cukup akurat. Kami ingin memastikan bahwa sumber yang digunakan untuk berita itu valid dan keterangan yang diperoleh sesuai dengan kejadian yang sebenarnya,” kata sang koordinator liputan itu, yang beritanya saya kutip dari salah satu grup WA wartawan.
Di balik kasus berita ini, ada tiga hal yang paling mendasar yang perlu diberi catatan kaki.
Pertama, adanya saling mengoreksi yang berkaitan dengan kerja-kerja jurnalistik dan ini positif. Hanya saja, koreksi tersebut dilakukan dengan menjadikan objek berita sebagai bahan pemberitaan.
Kedua, sang korlip lebih memilih mengomentari hasil pemberitaan wartawan dari media lain, dibandingkan turun melakukan peliputan-yang sesuai pengetahuan jurnalistiknya–sesuai standar jurnalistik yang tepat.
Ketiga, jika yang dijadikan objek pemberitaan itu benar-tidak memenuhi teknis dan etika jurnalistik-itu berarti wartawan telah melanggar dan mengabaikan aturan mainnya sendiri yang disepakati oleh organisasi pers dan Dewan Pers.
Baiklah kita ‘bedah’ satu demi satu tiga persoalan tersebut. Pertama, saling koreksi adalah satu langkah yang positif bagi menyadarkan dan mengingatkan teman se-profesi. Ini penting agar para pekerja pers tidak terjebak dalam tindakan hukum yang bernama delik pers.
Sanksi atas penggugatan terhadap kesalahan pemberitaan kerap tidak memuaskan pihak penggugat atau orang yang dirugikan akibat pemberitaan pers.
Pasalnya, sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran etika jurnalistik terhadap seorang wartawan yang dijatuhkan oleh pimpinan media sering tidak memuaskan pihak yang dirugikan.
Bagaimana dengan media daring yang pengelolaannya menganut ‘manajemen tukang sate”? Si A yang memimpin media, meliput, menyusun, dan menayangkan berita dalam satu tangan, dan sebagainya.
Sanksi yang diberikan lebih bersifat hukuman moral. Kalau media itu sadar, wartawan yang melakukan kesalahan itu “dimejakan”. Artinya, dia tidak boleh meliput di lapangan atau “dibelajarkan” di ruang perpustakaan atau kerja-kerja administrasi kantor.
Tetapi itu jika terjadi terhadap media cetak (semasa saya). Bagaimana dengan wartawan media daring yang “mejanya” di tempat lain. Misalnya saja – maaf – mereka sering bekerja di warung-warung kopi, tempat para wartawan bisa saling membarter berita.
Lalu bagaimana menyanksi seorang wartawan yang mengelola media dengan manajemen tukang sate itu tadi? Ini persoalan!
Kedua, langkah yang dilakukan sang korlip dengan mengomentari berita yang dibuat oleh wartawan dari media lain, memperlihatkan adanya sikap saling tidak menghargai dan hilangnya rasa solidaritas terhadap sesama pekerja pers.
Sesama pekerja pers sebaiknya tidak boleh saling “melambung”, seperti kerap ada idiom yang menyebutkan “sesama bus kota tidak boleh saling melambung.
Saya berpendapat, ketika ada media lain yang tidak akurat memberitakan sesuatu, di situlah peran yang seharusnya dimainkan oleh media lain, tempat sang korlip berkarier.
Dia sejatinya turun meliput sesuai standar teknis dan etika jurnalistik, sehingga pembaca akan tercerahkan dengan informasi valid yang diperolehnya.
Jika ini dilakukan, media yang menampilkan informasi yang valid dan terkonfirmasi (tidak ada cacat teknis dan etika jurnalistik) akan memperoleh kepercayaan dari publik pembaca. Sebaliknya terjadi “untrust” (ketidakpercayaan) terhadap media yang memberitakan informasi yang tidak valid itu. Ingat, media perlu mem-“branding” (memerek) dirinya menjadi yang terbaik, unggul, dan dipercaya oleh pembaca. Ketika imejnya runtuh, maka kepercayaan public pun akan rubuh.
Beberapa waktu yang lalu, ada upaya dari pemerintah, kalau tidak salah satu lembaga di bawah pemerintahan Joko Widodo, melarang adanya pemberitaan yang bersifat investigatif yang dilakukan media TV. Alasannya, jika berita investigasi tersebut sudah ditayangkan oleh salah satu media, katanya, akan mematikan media yang lain memberitakan informasi itu, karena berita tersebut sudah ditayangkan.
Saya kira ini pendapat yang perlu diluruskan. Kita ambil contoh tentang berita tabung gas elpiji 3 kg yang menghebohkan itu. Satu media TV misalnya, bisa saja membuat laporan investigasi tentang topik yang sama, tetapi tetap terbuka ruang bagi media TV yang lainnya melakukan hal yang sama. Tentu saja media TV kedua mengambil ‘angle’ yang lain dan belum tersentuh oleh media TV pertama.
Di sini para redaktur akan diuji kemampuannya menggunakan nalar kritis untuk melihat suatu persoalan yang hendak diberitakan.
Saya selalu menjadikan rujukan berita Majalah ‘Tempo’ dan Harian ‘Kompas’ misalnya. Laporan utama majalah ‘Tempo’ adalah juga informasi yang pernah diberitakan oleh berbagai media di Indonesia. Bahkan, mungkin berita yang dijadikan rujukan itu berita kecil saja di media-media lain. Namun ‘Tempo’ jeli melihat dan menggunakan kiat kerja jurnalistik kelompok dengan menggunakan laporan investigatif yang “indepth” (mendalam) yang tidak ditemukan di media lain.
Ketiga, persoalan pelanggaran kode etik jurnalistik, bukan baru sekarang, melainkan sejak puluhan tahun silam. Pada tahun 1980-an saya pernah membaca berita pada salah satu media yang mengungkapkan bahwa sebagian besar wartawan Indonesia tidak pernah membaca kode etik jurnalistik.
Penelitian tentang penaatan atas kode etik jurnalistik telah dilakukan pada tahun 2019 (sesuai “artificial intelligence” –AI, kecrdasan buatan). Berdasarkan data yang diperoleh, terdapat beberapa kasus pelanggaran kode etik jurnalistik yang dilakukan oleh wartawan pada tahun tersebut.
Penelitian lain juga menemukan bahwa pemahaman dan pelanggaran kode etik jurnalistik masih menjadi masalah yang perlu diperhatikan dalam industri jurnalistik di Indonesia. Selain itu, penelitian tentang penerapan kode etik jurnalistik dalam perspektif Islam juga telah dilakukan untuk meningkatkan profesionalisme wartawan dan memastikan bahwa mereka mematuhi kode etik jurnalistik.
Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, disebutkan bahwa wartawan memiliki hak dan kewajiban untuk mematuhi kode etik jurnalistik. Kode etik jurnalistik ini ditetapkan oleh Dewan Pers dan harus dipatuhi oleh semua wartawan di Indonesia.
Meskipun tidak ada data terkini tentang persentase wartawan yang mematuhi kode etik jurnalistik, Dewan Pers telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman wartawan tentang kode etik jurnalistik.
Berkaitan dengan kode etik jurnalistik ini, pada tahun 2021, seorang pemimpin redaksi media online di Sumatra Utara tewas ditembak oleh orang tidak dikenal (OTK) ketika korban melintas di salah satu jalan di Simalungun, Sumatera Utara. Kapolda Sumut Irjen Pol.Panca Putra (waktu itu) menyebutkan, motiv pembunuhan adalah dendam dan sakit hati.
Begitu membaca berita penembakan wartawan yang terjadi 19 Juni 2021 itu, saya langsung ‘menyisir’ berita-berita yang diturunkan media online yang dipimpiin almarhum. Lima berita yang saya jadikan sampel, setelah diamati, semuanya berita kontrol sosial yang harus dikonfirmasi (‘check and re-check’), tetapi tidak satu pun ada informasi penyeimbang yang merupakan hasil konfirmasi dilakukan media itu.
Dua dari lima berita tersebut adalah menyorot oknum aparat penegak hukum daerah. Satu di antara kedua berita tersebut, mendesak ‘bos’ aparat penegak hukum setempat dipecat.
“Otak intelijen’ saya jalan dan menduga, dua berita itulah yang menjadi pemicu kematian almarhum. Apalagi dikaitkan dengan penjelasan Kapolda yang menyebut motiv pembunuhan adalah dendam dan sakit hati.
Siapa yang sakit hati, hingga sang wartawan yang menjadi tumbalnya? Silakan jawab di dalam hati.
Inilah yang saya maksudkan, wartawan kerap melakukan “harakiri” (bunuh diri sendiri) karena kelakuannya. Kekerasan terhadap wartawan pun banyak terjadi karena ulah wartawan sendiri.
Dan, kita semua kadang tidak sadar dan lalai dengan dampak atas pelanggaran kode etik jurnalistik yang menjadi rujukan operasional kegiatan jurnalistik.
Selamat Hari Pers, tetap menjadi wartawan yang berkualitas dan beretika. Wassalam. (*). .