Mataram, Garda Asakota.-Selain Direktur CV Nawi Jaya, hadir menjadi saksi di persidangan kasus dugaan korupsi H Muhammad Lutfi (HML) Walikota Bima 2018-2023 di Pengadilan Tipikor Mataram, Jumat kemarin (15/3/2024) yakni tiga orang Direktur perusahaan.
Mereka itu adalah Bambang Hermanto Direktur PT Bumi Maha Marga, Al-Imron Direktur CV Titi Sari dan Sri Rahma Direktur CV Restu Bunda.
Pantauan langsung Garda Asakota, ketiganya ini disidang bersamaan karena masing-masing saksi ada keterkaitannya, dimana Bambang Hermanto Direktur PT Bumi Maha Marga mengakui pernah meminjam perusahaan CV Titi Sari milik Al-Imron dan CV Restu Bunda milik Sri Rahma.
Bahwa di tahun 2019 perusahaannya melaksanakan paket proyek pembangunan jalan lingkungan Kota Bima senilai Rp3,8 Miliar, PPK-nya Fahad dengan menggunakan perusahaan sendiri yakni PT Bumi Maha Marga.
Selain menggunakan perusahaan sendiri, saksi juga mengakui adanya pekerjaan lain dengan sistem pinjam bendera seperti CV Titi Sari dengan nilai proyek kisaran Rp1,8 Miliar, Rp4 M, Rp2,2 M, ada juga yang nilainya Rp3,6 M dan Rp6 M lebih, mulai dari tahun 2019 sampai 2022.
“Ada sekitar lima paket pekerjaan yang rata-rata itemnya peningkatan jalan,” ungkap saksi seperti tertera dalam BAP Saksi.
Selain CV Titi Sari, Bambang juga menggunakan bendera CV Restu Bunda di tahun 2022 untuk paket senilai Rp3,1 Miliar.
Soal pinjam bendera ini, juga diakui langsung oleh kedua saksi pemilik perusahaan, yakni Al-Imron dan Sri Rahmah.
Proses mendapatkan paket pekerjaan, awalnya dia diperkenalkan oleh Fahad (Kabid Cipta Karya) kepada terdakwa Muhammad Lutfi Walikota Bima 2018-2023, sekitar Juni tahun 2022. Saksi mengaku pernah datang ke rumah dinas Walikota bersama Fahad.
Terkait dengan pekerjaan sejumlah paket proyek di lingkup Pemkot Bima, saksi mengakui adanya dugaan pemberian fee ke Pokja melalui Kabag LPBJ Agussalim, kisarannya sebesar 0,5 persen dari setiap nilai kontrak proyek. Seingatnya pernah memberi uang sebesar Rp20 juta.
“Saya memang tetap beri 0,5 persen setiap lelang/tanda tangan kontrak setiap paket proyek,” bebernya.
Saksi mengaku kepada PPK dan Kadis tidak pernah diberikan fee. Namun ketika JPU KPK menanyakan pemberian fee kepada terdakwa?, saksi mengatakan, kalau secara langsung tidak ada.
Memang tidak memberikan fee setiap paket pekerjaan itu, tapi diakuinya ada dugaan pemberian secara tidak langsung sejak 2019 sehingga totalnya sekitar Rp2,4 miliar ditransfer ke rekening yang berbeda. “Kita anggap sebagai fee,” ungkapnya.
Apakah atas permintaan terdakwa atau atas nama orang lain mengatas namakan terdakwa?, Direktur PT Bumi Maha Marga yang masih satu group dengan PT Tukad Mas ini, sekilas menceritakan bahwa pada saat itu perusahaannya sedang mengurus perijinan tata ruang di Pemkot Bima.
Saksi mengaku, yang diduga dihubungi Walikota saat itu yakni Salim Kepala PT Tukad Mas Cabang Bima. Pak Walikota mengatakan ke Salim, untuk mengurus tata ruang itu perlu dana dan ada juga terungkap bahasa pinjam dulu.
“Yang bilang ke Salim itu terdakwa atau orang lain?,” tanya Jaksa. “Pak Salim bilang ke saya bahwa yang selalu telepon itu terdakwa, Salim juga sering bertemu dengan terdakwa, menurut pak Salim selalu meminta transfer dana untuk proses ijin,” tuturnya.
Diakui saksi, Salim memiliki nomor HP khusus yang diterima langsung dari terdakwa untuk kepentingan yang di luar dinas.
Hanya saja nomor rekening yang dipakai untuk mentransfer uang bukan atas nama terdakwa Muhammad Lutfi, namun nomor rekening orang lain yang berbeda beda.
Meski demikian, kata dia, diyakini rekannya Salim bahwa aliran dana diterima terdakwa karena nomor ponsel maupun suara penelpon itu diyakini terdakwa HML.
Sebagaimana terungkap dalam point 13 BAP Saksi, ada 15 kali pengiriman uang di tahun 2019 totalnya sebesar Rp2,4 Miliar, hal itu tertuang dalam barang bukti (BB) nomor 35.
“Semuanya dikirim secara transfer, sumber uangnya dari PT Tukad Mas karena terkait ijin AIP, tapi ada juga sumber uangnya dari perusahaan PT Bumi Maha Marga,” tegas saksi.
Di sisi lain, saksi mengungkap adanya percakapan Fahad dengan dirinya via WA. Dalam percakapan itu, Fahad curhat sudah empat bulan terakhir tidak ketemu Salim.
Setelah percakapan itu, saksi kemudian menyuruh Salim untuk bertemu Fahad. Usai pertemuan, Salim bercerita kepada saksi bahwa isi pertemuan itu, membahas adanya permintaan kontribusi atau uang karena PT Tukad Mas sering menang lelang di Pemkot Bima?.
Tapi Salim, lanjut saksi, menjelaskan ke Fahad bahwa pada tahun 2019 diduga sudah memberikan uang kepada Muhammad Lutfi selaku Walikota Bima dalam beberapa kali pemberian dengan total nilai Rp2,4 Miliar, sumber uang dari PT Tukad Mas dan ada juga dari perusahaan PT Bumi Maha Marga.
Ketika Jaksa KPK menanyakan, apakah yang diminta Fahad itu kontribusi terkait proyek yang didapatkan perusahaan saksi atau bagaimana?, “Maksudnya seperti itu pak, kontribusi dari proyek yang didapatkan, sementara yang diberikan Rp2,4 Miliar itu terkait ijin,” jawab saksi.
Karena sudah sering memberikan uang terkait ijin, perusahaan bersikap tidak lagi kasih uang kontribusi terkait proyek. Tapi Fahad, kata saksi, tetap meminta kontribusi tersebut karena menurut Fahad, Muhammad Lutfi belum pernah menerima pemberian dari Salim.
Beberapa waktu kemudian, saat berada di Lombok, Fahad kembali menghubungi saksi via WA yang meminta ketemuan. Dalam pertemuan di sebuah cafe itu Fahad meminta bukti-bukti transfer yang sudah diberikan kepada Walikota, karena menurut Fahad merasa belum terima?, tanya Jaksa lagi.
“Iya begitu, kemudian saya pun menyerahkan bukti bukti itu dalam bentuk copian kepada Fahad. Aslinya masih ada sama pak Salim,” beber saksi.
Selanjutnya, pada malam tanggal 17 Juni 2022, saksi bersama Salim dan Fahad bertemu terdakwa di rumah dinas Walikota. Setelah duduk dan bincang bincang, dengan nada marah Walikota mengatakan bahwa Saksi dan Salim tidak pernah memberikan kontribusi kepada Muhammad Lutfi padahal sudah mendapatkan paket proyek di Kota Bima.
“Pada akhirnya kami tidak tanggapi permintaan itu, karena sebelumnya sudah mentransfer Rp2,4 itu karena kita anggap bagian dari kontribusi pekerjaan proyek proyek juga,” sebut saksi.
Sementara itu, Penasehat Hukum Terdakwa, Abdul Hanan, SH, MH, mencecar pertanyaan ke saksi terkait kedekatannya dengan Salim yang sama-sama mengabdi satu group di bawah naungan PT Tukad Mas maupun PT Bumi Maha Marga.
Menjawab pertanyaan PH, saksi mengakui datang ke kediaman Walikota untuk pertama kalinya berdua bersama Fahad.
Kemudian setelah itu, mengungkap pernah mentransfer uang beberapa kali melalui rekening berbeda seperti ke rekening atas nama Anton Prabowo dan Budi Sutiono.
“Pada saat bertemu, beliau (Walikota) langsung marah-marah sama Salim, kalau hal seperti itu tidak benar, ini ada penipuan dalam perusahaan saudara, sebaiknya laporkan ke polisi saja,” ujar saksi meniru pernyataan terdakwa saat itu.
Saksi mengaku pihaknya tidak mengambil langkah untuk melaporkan polisi seperti apa yang disarankan Walikota saat itu, karena pihaknya tidak ingin persoalkan.
“Apakah di perusahaan saudara dibenarkan hanya melalui telepon ada orang minta uang atas nama Walikota, perusahaan saudara langsung mentransfer?.,” tanya Abdul Hanan.
“Saksi menyadari bahwa pengiriman uang tersebut salah dan menyalahi aturan hukum, kalau ini diketahui juga oleh Burhan selaku Direktur, benar?, tanya PH lagi. “Benar,” jawab saksi.
“Apakah Salim sebelum mengirim uang ke orang orang yang disebutkan itu, pernah konfirmasi balik ke saudara saksi?,” tanya PH yang diakui pernah oleh Bambang.
“Terus saya tanya, kamu yakin itu suara pak Walikota yang menelpon? yakin pak,” timpal saksi mengutip jawaban Salim.
Saudara Salim itu diakui saksi, mengenal suara orang yang menelpon maupun nomor HP-nya. Salim tetap konfirmasi ke dirinya bahwa yang menelpon itu terdakwa Walikota, saksi pun percaya begitu menerima laporan dari Salim.
Terkait dengan ini, apakah saudara saksi pernah konfirmasi langsung ke saudara terdakwa?, “Tidak pernah,” ucap saksi.
Sebagai PH tentu dirinya bertanda tanya, karena pengiriman ini ada juga yang setiap hari, sehingga dalam satu bulan perusahaan saksi mengeluarkan uang Rp2,4 Miliar, apakah saudara tidak mencurigai?.
“Tidak pak karena Salim sudah yakin bahwa pak Walikota yang minta. Salim sudah mengenal betul suara pak Wali,” ungkapnya.
Dalam penegasannya, PH Terdakwa mengatakan bahwa, pemilik rekening atas nama Anton Prabowo dan Budi Sutiono tersebut sudah diperiksa KPK, justru keduanya tidak mengenal terdakwa.
Terkait dengan pengajuan rekomendasi Tata Ruang, saksi mengakui bahwa berkasnya diajukan ke Sekda. Kepada saksi, Sekda meminta agar mengikuti prosedur hingga akhirnya rekomendasi keluar dari Sekda.
Apakah saksi mengetahui bahwa Sekda tidak tahu soal rekomendasi itu ataupun tidak pernah tanda tangan? “Tahu pak, itu sudah dilaporkan ke polisi,” jawab saksi.
Lantas, bagaimana tanggapan Terdakwa H Muhammad Lutfi terkait dengan kesaksian Bambang Hermanto ini.?
Di hadapan Majelis Hakim, terdakwa mengakui adanya pertemuan dirinya dengan Bambang dan Salim di rumah dinasnya.
“Itu di tahun 2022 yang mulia, sedangkan peristiwanya 2019,” aku terdakwa.
Hanya saja, terdakwa menyebutkan bahwa apa yang disampaikan saksi Bambang ada kekeliruan bahwa saat bertemu Salim dirinya tidak pernah menanyakan tentang urusan proyek.
“Saya cuman menanyakan kenapa memberikan uang, rumah saya jaraknya hanya satu kilo, tidak konfirmasi ke saya selama beberapa hari.
Nah, ini artinya bahwa ini ada penipuan dan perampokan,” tegas mantan anggota DPR RI dua periode ini.
Soal nomor telepon saksi mengakui nomor ponselnya tidak pernah berubah dari tahun 2019 sampai 2022 di LHKPN, yakni nomor HP 081288888991.
“Saya juga tidak pernah kasih nomor ke pak Salim, waktu saya di BAP saya ceritakan seperti itu. Lainnya saya tidak tahu, mengenai kesaksian Al-Imron dan ibu Sri Rahma saya tidak tahu,” tandasnya. (GA. Tim*)