Gardaasakota.com.-Situasi demokrasi di Universitas Mataram (Unram) makin keruh. Sejumlah dosen, mahasiswa, dan alumni kampus terbesar di NTB itu menggelar diskusi dan konsolidasi aksi bertema “Matinya Demokrasi di Kampus: Membongkar Kejanggalan Senat dan Upaya Penjegalan Kandidat Calon Rektor Unram” di Kedai Bumi Resto, Kamis (16/10).
Forum ini menjadi titik ledak baru dari kemarahan akademisi terhadap dugaan rekayasa politik kampus menjelang pemilihan rektor baru. Dosen, mahasiswa, hingga alumni bersuara senada: demokrasi di Unram telah mati, dikubur oleh kekuasaan yang ingin mempertahankan diri dengan segala cara.
Sanksi Etik Tanpa Proses, Dosen Gugat ke PTUN
Dosen Fakultas Teknologi Pangan dan Agroindustri (Fatepa), Dr. Ansar, menjadi salah satu wajah perlawanan. Ia menceritakan bagaimana dirinya dijatuhi sanksi etik kategori berat tanpa pemeriksaan dan tanpa dasar hukum yang jelas.
“Ini kriminalisasi akademik. Saya hanya ingin menggunakan hak saya untuk mendaftar senat, tapi malah dijadikan sasaran politik,” ujarnya.
Ansar mengungkap, setelah ia menggugat ke PTUN, sanksi itu mendadak dicabut—namun waktunya sudah habis untuk mendaftar sebagai anggota senat.
“Akal-akalan mengerikan. Jadwal dibuat maraton, protes tak didengar, proses terus jalan. Demokrasi di Unram mati suri,” tegasnya.
Ia menilai tindakan itu bukan sekadar pelanggaran etik, tetapi indikasi sistematis pembungkaman hak politik dosen, dengan memanfaatkan regulasi internal yang direkayasa demi kepentingan segelintir elit kampus.
Dugaan Premanisme Akademik
Nada lebih keras datang dari David Putra Pratama, S.H, alumni Fakultas Hukum Unram. Ia menuding kepemimpinan universitas telah berubah menjadi arena kekuasaan yang menjijikkan.
“Rektor yang seharusnya menjadi teladan justru mempertontonkan politik kotor di hadapan civitas akademika. Ini premanisme akademik,” ujarnya lantang.
Menurutnya, pemilihan rektor seharusnya menjadi ajang kompetisi ide, bukan permainan kekuasaan untuk menjegal calon tertentu.
“Kalau cara-cara seperti ini dibiarkan, kami siap turun ke jalan. Ini tanggung jawab moral kami sebagai alumni,” tegasnya.
Dugaan Kecurangan Terbuka dan Konsolidasi Aksi
Kritik juga datang dari M. Affan Fadilah, mantan Ketua DPM Unram sekaligus koordinator Forum Mahasiswa Penjaga Demokrasi Kampus (FOKUS). Ia membeberkan kejanggalan demi kejanggalan selama proses penjaringan senat dan calon rektor.
“Senat dilantik tanpa SK, baru muncul setelah desakan publik. Ada sanksi etik disampaikan lisan, baru diformalkan setelah aksi mahasiswa. Di MIPA, pemilihan bahkan pakai form berisi nama pemilih dan yang dipilih, jelas-jelas tidak rahasia,” ungkap Affan.
Ia menyebut, mahasiswa kini bersiap melakukan aksi besar-besaran jika Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tidak segera turun tangan.
“Kampus ini sedang darurat demokrasi. Kami tidak akan diam jika ruang akademik dirusak oleh kepentingan politik,” ujarnya.
Tuntutan ke Kemendikbudristek
Para peserta forum menyepakati satu hal: Kementerian harus melakukan audit kepatuhan terhadap seluruh proses pemilihan senat dan rektor Unram. Mereka menilai, kejanggalan yang terjadi bukan lagi sekadar pelanggaran etik, melainkan bentuk penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran terhadap asas-asas keadilan akademik.
“Jika dunia pendidikan dibusuki kesewenang-wenangan, maka yang mati bukan hanya demokrasi kampus, tapi juga nurani bangsa,” ujar Dr. Ansar menutup pernyataannya. (*)













