Gardaasakota.com.-Sekretaris Komisi III DPRD NTB, Raden Nuna Abriadi, menyoroti minimnya lampu penerangan jalan dikawasan pariwisata yang menjadi lumbung Pendapatan Asli Daerah (PAD) mulai dari Kawasan Senggigi, Sekotong, Narmada di Lombok Barat, Mandalika dan di Teluk Nare Lombok utara.
“Padahal, pajak PJU itu adalah wewenang pemda kabupaten/kota dan bukan Pemprov. Lantas dikemanakan PPJU itu, ini aneh daerah pariwisata utama NTB, kok gelap gulita,” tegas Raden Nuna Abriadi pada sejumlah wartawan, Selasa 08 April 2025.
Menurutnya, Pajak Penerangan Jalan Umum (PPJU) dibebankan kepada setiap pelanggan PLN melalui tagihan listrik bulanan.
Hal itu, masuk menjadi kompone sumber pendapatan daerah dalam APBD kabupaten/kota.
Untuk itu, Raden Nuna mengherankan jika dana tersebut acap kali, tidak digunakan sesuai peruntukannya.
“Siapa pun pelanggan PLN, pasti membayar PPJU. Tapi ironisnya, di banyak daerah, lampu jalan justru tidak ada. Pemerintah kabupaten/kota harusnya punya perencanaan matang agar dana ini kembali ke rakyat dalam bentuk penerangan yang layak dengan bergandengan tangan dengan PLN,” ujarnya.
Raden Nuna mendesak pemda kabupaten/kota harus jujur untuk mengalokasikan PPJU sesuai kebutuhan riil masyarakat, terutama di lokasi strategis seperti kawasan wisata.
Bahkan, ia menyoroti perlunya inovasi dalam penyediaan penerangan jalan, seperti pemanfaatan teknologi tenaga surya.
”Provinsi NTB ini kaya matahari. Kenapa tidak dimaksimalkan?. Tak harus bergantung pada diesel dengan kerjasama dengan Pihak PLN kan bisa. Sehingga akses jalan BIL menuju ke Mataram dan BIL ke Mandalika enggak mati seperti saat ini,” jelas Raden Nuna.
Sebelumnya, Ketua DPD PDI Perjuangan NTB H Rachmat Hidayat, menginstruksikan Fraksi PDIP di seluruh DPRD Kabupaten/Kota di Pulau Lombok, menelisik tata kelola Pajak Penerangan Jalan Umum atau PPJU.
Audit menyeluruh PPJU sangat mendesak mengingat distribusi manfaat pajak yang dipungut dari setiap pelanggan PLN ini tak kunjung merata hingga kini.
”Keadilan dalam pajak bukan hanya soal siapa yang membayar, tetapi juga siapa yang menikmati manfaatnya. Audit menyeluruh terhadap tata kelola PPJU ini wajib dilakukan agar PPJU tidak menjadi pungutan tanpa kepastian manfaat bagi masyarakat,” tegas Rachmat di Mataram, Senin (7/4) kemarin.
Anggota Komisi I DPR RI ini menegaskan, seluruh masyarakat yang telah membayar PPJU setiap bulan, berhak mendapatkan penerangan jalan yang layak. Itu sebabnya, dirinya menginstruksikan agar seluruh Fraksi PDI Perjuangan di setiap DPRD Kabupaten/Kota di Pulau Lombok untuk bertindak agar tidak ada lagi daerah gelap sementara pajak tetap dipungut.
”Fraksi PDIP di seluruh DPRD Kabupaten/Kota harus memastikan bahwa setiap rupiah dari PPJU ini benar-benar digunakan untuk menerangi jalan rakyat. Bukan hanya sebagai angka dalam laporan keuangan daerah semata,” kata legislator Senayan empat periode ini.
Dua hari selepas perayaan Idulfitri, politisi kharismatik Bumi Gora ini mengungkapkan, dirinya bersama sejumlah kolega menyempatkan diri berkeliling memantau situasi di Pulau Lombok dengan menggunakan helikopter. Helikopter sengaja terbang rendah di seluruh Kabupaten/Kota dan mendapati bagaimana sebagian besar jalan-jalan raya yang menjadi urat nadi kehidupan masyarakat, kondisinya gelap gulita di malam hari.
Kondisi jalan raya yang terang benderang hanya terdapat di Kota Mataram. Sementara di Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, dan Lombok Utara, penerangan jalan di malam hari sangatlah memprihatinkan.
Sebagaimana diketahui, PPJU dibebankan kepada semua pelanggan listrik PLN sebagai bentuk kontribusi terhadap penerangan jalan di daerahnya. Pajak ini dipungut langsung PLN dan tercantum dalam tagihan listrik bulanan setiap pelanggan.
Sesuai UU, besaran pajak minimal 3 persen dan maksimal 10 persen dari setiap tagihan sesuai kebijakan tiap Pemerintah Daerah. PLN kemudian menyetor pajak yang terkumpul ke kas daerah.
Rachmat mengungkapkan, terjadinya kesenjangan antara pembayaran PPJU dan manfaat yang diterima masyarakat sangatlah mencemaskan.
Apalagi, realitas yang menunjukkan banyaknya jalan yang gelap karena tidak memiliki penerangan yang memadai, sementara masyarakat tetap diwajibkan membayar PPJU, bukanlah terjadi baru-baru ini. Melainkan sudah terjadi bertahun-tahun.
”Ketimpangan antara pelanggan yang membayar PPJU dan wilayah yang menikmati penerangan jalan masih menjadi masalah utama kita. Banyak pelanggan PLN di pedesaan atau daerah terpencil tetap dikenakan PPJU, padahal di wilayah mereka tidak ada penerangan jalan umum sama sekali,” beber Rachmat.
Membiarkan hal tersebut terus berlanjut, berarti kata Rachmat, sama saja dengan melanggengkan kesan bahwa PPJU lebih bersifat sebagai pajak wajib tanpa keadilan distribusi manfaat.
”Ini dzalim namanya,” tandas politisi lintas zaman ini. (*)