Mataram, Garda Asakota.-Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Mataram NTB, kembali menggelar sidang atas terdakwa Walikota Bima 2018-2023, H. Muhammad Lutfi (HML) dalam perkara dugaan korupsi penerimaan gratifikasi dan pengadaan barang dan jasa lingkup Pemkot Bima.
Agenda sidang kali ini pemberian keterangan saksi yang meringankan terdakwa HML. Mereka yang dihadirkan oleh Penasehat Hukum terdakwa ini adalah Irawan Jafar Ketua LPM Rabadompu, Sunarti mantan Plt Kadis Pariwisata, dan Rizkiah Mardiati, Aktivis Perempuan dan Anak.
Sedangkan seorang saksi meringankan lainnya, Salmin Alwaini ipar terdakwa HML, batal menjadi saksi karena menuai keberatan dan penolakan dari Tim JPU KPK karena saksi diketahui pernah hadir di persidangan.
“Untuk saksi Salmin Alwaini ini ditolak Jaksa Penuntut Umum karena pernah hadir di persidangan saat keterangan saksi, dengan demikian berdasarkan pasal 159 ayat 1 KUHAP maka saudara Salmin tidak dapat memberikan keterangan dalam persidangan,” tegas Hakim Ketua, Putu Gde Hariadi, SH, MH.
Berdasarkan pantauan langsung Garda Asakota, di Majelis Hakim, Irawan Jafar yang tampil pertama dalam kesaksiannya mengisahkan pertama kali dia mengenal terdakwa HML di saat Pilkada 2018 silam.
Selama Pilkada ia mengaku kerap bertemu dengan HML, namun setelah terdakwa terpilih menjadi Walikota, jarang ketemu kecuali ada undangan dan ada keinginan mayarakat yang ingin silaturahim ke kediaman terdakwa. “Kebetulan saya Ketua LPM, saya hanya datang mengantarkan warga menghadap,” akunya.
Saat menghadap Walikota, diakuinya isi pembicaraan bersama warga, tidak ada kaitannya dengan proyek, hanya berkaitan dengan urusan sosial kemasyarakatan saja. “Setelah kami sampaikan ada kegiatan seperti sepak bola mini, beliau langsung meresponnya,” akunya.
Menurutnya, selama lima tahun memimpin HML dikenal sebagai pribadi yang baik. Diakuinya pula, banyak perubahan selama terdakwa memimpin seperti melakukan penataan kawasan Lawata, penataan obyek wisata Kolo, program command centernya hingga pembangunan Masjid Agung Al-Muwahiddin Bima.
Selama HML memimpin ia sendiri mengaku tidak pernah mengerjakan proyek kecuali proyek yang ada di Kelurahan karena memang di sanalah dia berkecimpung sebagai LPM.
“Soal proyek Kelurahan, tidak ada arahan dari terdakwa, karena memang proyeknya bersumber dari dana Kelurahan,” tegasnya.
Saksi mengaku tidak mengetahui paket proyek apa saja selama terdakwa memimpin, siapa saja kontraktornya dan pekerja pekerjanya, apalagi keuntungan yang didapatkan dari proyek proyek itu saksi juga tidak mengetahuinya.
Ketika Jaksa KPK menanyakan kepada saksi apakah mengetahui atau tidak kenapa Walikota dijadikan sebagai terdakwa saat ini?, Irawan menjawab karena kasus korupsi dan dikatakannya itu cuma berita saja. “Saya sanksi beliau ini kok bisa begitu ya (korupsi)?, orang baik menurut saya pak,” jawabnya.
“Oke. Orang baik ada kaitannya dengan korupsi atau tidak pak?, tanya Jaksa lagi. “Kalau orang baik tidak korupsi, opini saya seperti itu,” timpal saksi.
Saksi juga ditanya seputar kedekatannya dengan Rohficho alias AL yang diakui sebagai ponaannya.
Selain itu, ia juga ditanya seputar Nafilah, isteri Maqdis yang ia baru ketahui saat sekarang. “Saya nggak kenal sama Nafilah, justru baru tahu sekarang pak,” akunya.
Sementara itu, Sunarti yang menjadi Plt Kadis Pariwisata sejak Desember 2018 sampai Agustus 2020, mengaku secara sukarela menjadi saksi yang meringankan untuk terdakwa HML.
Seperti halnya saksi Irawan, Sunarti juga turut memuji kepemimpinan terdakwa sebagai Walikota Bima yang dinilainya memimpin dengan hati, tidak membedakan mana yang memilih dan tidak memilihnya. Ia juga mengaku mantan pimpinannya itu tidak suka cawe cawe.
Bahkan, kata dia, ada ASN yang meminta jabatan dan menyuruh isterinya mengantar uang ke Walikota, namun saat itu ditolak mentah-mentah oleh terdakwa.
“Kebetulan waktu itu ada saya, ia minta saya sampaikan uang itu ke Walikota. Saya bilang pak Walikota tidak terima sogokan seperti ini, tapi dia (ibu itu) maksa saya.
Karena terus dipaksa, saya pun membawa uang itu ke beliau, saya kena marah. Pak Wali bilang, saya bukan orang yang haus uang, kembalikan, kembalikan,” ungkap Sunarti meniru reaksi terdakwa saat itu.
Saat Jaksa KPK menanyakan kenapa saksi mau menerima uang itu padahal ibu sudah mengatakan tidak boleh?, “Karena dipaksa sama beliau, sama ibu itu, saya dipaksa,” jawabnya.
Apakah saksi mengetahui sehingga saksi mau menerima uang itu bahwa sebelumnya terdakwa juga pernah menerima uang?. “Tidak pernah dan saya tidak pernah berpikir bahwa pak Walikota akan menerima uang itu,” katanya.
Lantas bagaimana ibu bisa menerima uang itu?, “Karena seperti yang saya katakan tadi, ibu itu memaksa saya untuk menerima amplop itu untuk diserahkan ke Walikota,” sahutnya lagi.
Dalam kesaksiannya juga, Sunarti mengaku selama menjadi Plt Kadis Pariwisata tidak pernah diarahkan oleh terdakwa maupun isterinya dalam urusan proyek. Begitupun kepada PPK, ia tidak pernah arahkan.
“Saya tidak pernah memberikan uang kepada terdakwa maupun pihak lainnya dan kepada isteri terdakwa,” tegasnya.
Di sisi lain, Rizkiah Mardiati yang juga menjadi saksi meringankan terdakwa juga secara jujur mengakui terdakwa sebagai pemimpin yang dinilainya low profil, tidak membedakan jabatan dan kedudukan, dan bisa dijumpai dimanapun.
Era kepemimpinan HML, masyarakat diakuinya memuji derap langkah pembangunan yang dilakukannya seperti pembangunan Masjid Agung Al-Muwahiddin Kota Bima yang selama ini terbengkalai, dan juga pembangunan sarana ibadah lainnya
Ia malah merasa heran kenapa orang sebaik terdakwa ini bisa tersangkut masalah hukum. “Masyarakat Kota Bima menangis dengan adanya musibah yang menimpa H Muhammad Lutfi.
Kenapa orang sebaik beliau bisa tersangkut masalah ini, rata rata masyarakat di Kota Bima berdo’a untuk beliau, mudah-mudahan semua urusan dilancarkan dan dimudahkan.
Masyarakat sekarang hampir di setiap masjid yang beliu bantu selalu membacakan Al-Fatihah untuk beliau,” tuturnya sambil terisak. (GA. Tim*)