“Badai” penyalahgunaan barang haram, narkoba, di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), khususnya di Kabupaten dan Kota Bima, sudah bukan rahasia umum. Pengaruh penggunaan obat terlarang ini sudah merasuk ke desa-desa terpencil.
Sepertinya kita semua tidak berdaya, untuk tidak mengatakan membiarkan dan permisif menyaksikan fenomena penghancuran moral generasi bangsa ini. Bahkan penjual barang haram ini sudah melibatkan ibu rumah tangga di desa-desa terpencil di dekat gunung.
Gerah melihat tidak adanya kepedulian para pihak mencanangkan perang terhadap narkoba, muncul “wanita Jantan” bernama Uswatun Hasanah yang kerap mencurahkan kegelisahannya melalui akun media sosial berlabel “Badai NTB”.
Muncul sebagai sosok yang antagonis, perempuan kelahiran Desa Ngali 11 September 1998. Ini kerap mendapatkan intimidasi. Ini terjadi menyusul unggahannya yang memuat sejumlah nama yang termaktub dalam “kloter” pihak yang terlibat dalam peredaran illegal narkoba di Provinsi NTB, khususnya di Kota dan Kabupaten Bima.
Namun alih-alih gusar dengan intimidasi dari berbagai pihak, “Badai NTB” malah memperoleh respon positif dari Markas Besar (Mabes) Polri. Pasalnya, membongkar bandar narkoba yang digaungkan oleh Badai NTB sebelumnya melaporkan sejumlah oknum yang terlibat dalam sindikat dan jaringan narkoba di NTB ke Propam Polri dengan sejumlah data dan dugaan peranan masing-masing.
Menurut media, atas laporan Badai NTB itu, Pihak Mabes Polri mengeluarkan surat pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan Propam (SP2HP2) tertanggal 22 Januari 2025. Surat yang bernomor B/381/I/WAS2-4/2025/Divpropam itu ditandatangani oleh Kombespol Yudo Hermanto, S I.K selaku Kakorpaminal atas nama Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri.
Dalam isi surat sebagaimana yang di upload oleh Akun Facebook Badai NTB Jum’at 24 Januari 2025 tersebut isinya secara garis besarnya adalah melakukan penyelidikan lebih lanjut oleh Biro Paminal Divpropam Polri atas aduan Badai NTB.
Badai NTB pun atas SP2HP2 itu menyampaikan sejumlah isi hatinya melalui postingan di Akun Facebook Pribadinya yang disertai oleh selembar surat yang dikeluarkan oleh Mabes Polri.
Aksi ‘Badai NTB” ini telah mendapat respon kaum perempuan Bima yang sangat khawatir dengan keadaan anak mereka terjerumus ke dalam penggunaan narkoba yang bukan lagi rahasia umum di Kabupaten/Kota Bima. Bahkan melalui media sosial terunggah aksi demo yang mendukung kegiatan berani yang dilakukan oleh Uswatun Hasanah.
Beberapa warga Bima yang berdomisili di berbagai daerah di Indonesia pun mengeluarkan pernyataan “Bima Darurat Narkoba” seperti yang dideklarasikan oleh Kerukunan Masyarakat Bima Sulawesi Selatan (KMBS) awal Februari 2025 dalam pertemuan silaturahim bulanannya.
Lahir dari Desa “Warani”
Uswatun Hasanah lahir dari Desa “Warani” (Bahasa Bugis, berarti berani) Ngali Kecamatan Belo Kabupaten Bima. Dalam Sejarah Bima, desa ini terkenal dengan Perang Ngali (1908-1909). Dalam catatan Sejarah, Perang Ngali meletus karena rasa tidak puas rakyat Bima, khususnya Ngali atas mengikuti sensus penduduk yang oleh rakyat Ngali sebagai akal bulus Belanda dalam memuluskan aksinya memungut pajak dari rakyat.
Mei 1907 kerusuhan pecah gara-gara penerapan pajak tambahan di kalangan Masyarakat, terutama di Raba, Ngali (Belo), Dena (Bolo), dan Kala (Donggo) . Oktober 1907, penduduk Taliwang pun mengikuti jejak rakyat beberapa desa di Bima, menolak mengikuti sensus penduduk.
Di Raba sendiri, paman Sultan Araja Amin pun menolak sensus penduduk. Maka sejak tahun itu, sebagian penduduk menolak mematuhi perintah Sultan. Belanda melalui Gezaghebber sipil yang baru, A.A.Bense melaporkan, situasi politik di distrik Bima tidak menguntungkan.
Sultan Bima, Ibrahim pun tidak mampu menguasai keadaan. Gubernur Celebes dan sekitarnya, Letnan Kolonel H.N.A. Swart yang menerima laporan mengenai situasi ini November 1907, segera ke Bima untuk melihat keadaan politik di Bima.
Pejabat Belanda van der Zwaan yang dikirim ke Bima menyaksikan penduduk Ngali menolak diadakannya sensus dan pembayaran pajak. Zwaan Kembali ke Makassar dan melapor ke Gubernur Swart Bersama A.A.Banse bahwa Raja Amin dan Jeneli Monta, saudara laki-laki Raja Amin mendukung Gerakan antipajak ini.
Setelah menerima laporan tersebut, Gubernur Swart memutuskan melancarkan serangan terhadap Ngali yang dalam ekspansi ini dipimpin oleh Kapten Liefrinck. Januari 1908 Belanda mengirim ‘Marchaussee’ (sejenis penjaga perbatasan) ke Bima yang terdiri atas lima regu polisi militer, sebuah ambulans, empat mandor, dan 72 pekerja paksa, dari Makassar ke Bima menumpang kapal Both. Pada tanggal 16 Februari 1908 mereka menuju Ngali.
Kedatangan pasukan Belanda ini menandai awal Perang Ngali. Tokoh Masyarakat dan para ulama sebagai pemimpin agama mampu memengaruhi rakyatnya berjuang melawan orang Belanda yang disebut “dou kafi’ (orang kafir). Tersebutlah nama Haji Abdul Karim, Haji Se, Haji Yasin, La Iboe (Abbas Daeng Manassa, asal Makassar), Sala Ompu Kapa’a (Kepala Desa/Gallarang) dan Bagda (Bagdad).
Mereka bergabung demi perjuangan membebaskan diri dari pembayaran pajak, sekaligus perjuangan mempertahankan ideologi, ‘fi sabilillah’. Belanda yang dilengkapi persenjataan lengkap menghadapi rakyat Ngali yang mengandalkan benda tajam, mampu menguasai Ngali hanya dalam waktu tiga hari setelah menyerang dari arah utara dan selatan.
Haji Abdul Karim dan Haji Se tewas dalam perjuangan melawan ketidakadilan ini. (Baca: Prof.Dr.Imran Ismail, M.S.”Bima (1945-1950) Perjuangan Fisik dan Organisasi”, Buginese Art, Yogyakarta, 2017).
Bingung dengan Cita-Cita
Dalam akun ‘facebook’-nya dalam tulisan yang muncul 17 Mei 2019, terungkap, Uswatun Hasanah, kerap disapa Rahel/Badai. Menjalani masa kecil tidak jauh berbeda dengan anak-anak kecil pada masa itu. Dia bersekolah dan mengenal lingkungan secara alami. Orang tuanya bukan tipe orang yang egois. Orang tuanya benar-benar memberi ruang untuk berkembang secara alami. Rahel belajar mandiri. Pulang sekolah dia suka ke sawah membantu orang tua. Sepulang sekolah, dia bermain dengan teman-temannya. Pada malam sebagaimana anak desa, Rahel belajar mengaji bersama kakak-kakaknya. Setiap hari itulah rutinitasnya.
Dalam bermain, dia tidak mengenal batas jarak. Sungai-sungai pun dia susuri. Gunung-gunung didakinya. Jalan setapak dilewati. Tempok-tembok dia lompati. Pohon-pohon pun dipanjatinya. Rahel menghabiskan pendidikan di SDN 1 Ngali (2009), SMP Negeri I Belo (2012), dan SMA Negeri 1 Belo (2015).
Selama bersekolah dia tidak begitu ketinggalan dalam hal memahami pelajaran di kelas. Meskipun tak sepintar teman-teman lain, namun bisa diperhitungkan. Sampai tamat SMA alhamdulillah terus masuk dalam urutan peringkat 1-2.
Dulu sebelum tahu cita-cita itu apa, ketika ditanya dia hanya mengikuti teman-temannya. Kalau dalam kelas guru bertanya apa cita-cita, dia hanya menjawab sesuai jawaban teman-temannya.
Kalau teman-temannya menjawab cita-citanya ingin jadi guru atau Polwan, Rahel pun akan menjawab cita-cita seperti itu. Menjadi guru atau Polwan. Dia mengakui, sampai kelas 2 SMA pun masih bingung dengan cita-citanya. Sedikit pun tak ada kepastian. Meskipun banyak yang diimpikannya, namun Rahel takut mengutarakannya. Apalagi sampai mengangankan untuk bisa meraih impian tersebut. Itu hanya sebatas khayalnya setiap malam.
Mengingat kondisi ekonomi keluarga yang terbilang di bawah rata-rata, Rahel tak berani memiliki cita-cita yang begitu tinggi dibandingkan teman-temannya yang dengan bangga dan berbusung dada memamerkan cita-citanya pada saat ditanya Guru atau pun orang lain.
Lalu dia mendapat penghargaan berupa Beasiswa Miskin Berprestasi dari prestasi menjadi Atlet Pencak Silat Kabupaten Bima Kelas B Dewasa Putri yang meraih medali perak dan perunggu diajang Kejuaraan Daerah (2013) dan Porprov NTB (2014). Dia lulus di jalur SNMPTN di Universitas Pendidikan Ganesha Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Jurusan Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi.
Dia juga memilih Himpunan Mahasiswa Islam sebagai tempat menempa diri, organisasi mahasiswa Islam yang pertama berdiri di Indonesia. Kegigihannya ingin mengasah kecerdasan dan kepiawaian dalam membangun relasi adalah faktor utama aktif di organisasi internal maupun eksternal kampus.
Dalam tulisannya itu (2019), Rahel berkutat dengan penyelesaian skripsi, tugas akhir untuk memenuhi syarat untuk menjadi penyandang S-1, dan targetnya bulan Agustus (2019) diwisuda.
Dia termasuk yang suka, selain rutinitas dunia kampus dan berorganisasi, juga mengoleksi buku-buku sosial sampai buku-buku politik.
Dia suka buku-buku Tan Malaka, Soe Hoek Gie, dan Pramoedya. Dia mulai suka mengamati dunia politik nasional maupun internasional sejak umur 17 tahun, Meksipun jurusan akademiknya di Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi, tapi juga tidak buta-buta amat tentang politik.*)