Kota Bima, Garda Asakota.-
Sidang kasus dermaga Bonto “Tracking mangrove” kembali ditunda. Harusnya tanggal 28 September 2021, sesuai dengan jadwal persidangan, Penuntut Umum sudah membacakan tuntutannya terhadap terdakwa, Feri Sofiyan, SH (Wakil Walikota Bima) sebagai Pemrakarsa pembangunan Tracking Mangrove dari anggaran pribadi.
Akan tetapi, Penuntut Umum belum menyelesaikan tuntutannya dan meminta waktu satu minggu kepada Majelis Hakim untuk menyelesaikan tuntutannya. Satu minggu kemudian, tanggal 6 Oktober 2021, Penuntut Umum masih juga belum menyelesaikan tuntutannya dan kembali meminta waktu dua minggu lebih lagi untuk menyelesaikan tuntutannya.
Setelah terjadi perdebatan antara JPU dan Tim PH, selanjutnya Majelis Hakim yang mengadili perkara ini memberi kesempatan kepada Penuntut Umum untuk menyelesaikan tuntutannya dan akan dibacakan tanggal 21 Oktober 2021.
Terang saja, Tim Penasehat Hukum Terdakwa berkeberatan terhadap penundaan tersebut dan menganggap tidak logis karena ditunda berkali kali.,” ungkap Lily Marfuatun, SH, MH, kepada sejumlah wartawan.
Pantauan langsung wartawan, penundaan sidang ini menimbulkan reaksi warga masyarakat yang mengikuti persidangan, dan terjadi kericuhan masyarakat di dalam ruang sidang maupun di luar sidang.
Warga masyarakat mengindikasikan bahwa Penuntut Umum tidak yakin bisa membuktikan dakwaannya terhadap terdakwa. Oleh karena berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan membuktikan bahwa perbuatan terdakwa tidak termasuk pidana karena hanya ranah administrasi saja.
Sehingga perbuatannya tidak termasuk kategori tindak pidana. Apalagi, dalam proses persidangan ini, telah terjadi perubahan undang-undang yang dipakai untuk mendakwa terdakwa. Sehingga Penuntut Umum wajib menggunakan asas transitoir dalam artian jika terjadi perubahan undang-undang, maka yang diterapkan adalah undang-undang menguntungkan terdakwa.
Untuk itu, sekiranya Penuntut Umum tidak yakin dengan dakwaannya, maka seharusnya Penuntut Umum berani menuntut bebas terdakwa atau setidak-tidaknya menyatakan perbuatan terdakwa bukan termasuk tindak pidana.
Sementara itu, Tim Penasehat Hukum Feri Sofiyan, SH, lainnya Bambang Purwanto, SH, MH, menyoroti bahwa sebelumnya telah diagendakan pembacaan tuntutan pada tanggal 28 September 2021. Tetapi JPU meminta kepada majelis hakim untuk menunda hingga pada tanggal 6 Oktober 2021.
“Lalu pada sidang tadi, JPU belum juga membacakan tuntutan, padahal hari ini jadwal terakhir yang ditetapkan majelis hakim,” ungkap Bambang Purwanto yang didampingi anggota Tim Penasehat Hukum Feri Sofiyan, usai persidangan.
Diakuinya, pada fakta persidangan tadi, JPU belum bisa membaca surat tuntutan dan meminta kepada majelis hakim ditunda sampai tanggal 21 Oktober 2021.
Terhadap penundaan agenda itu, tim penasehat hukum terdakwa keberatan sehingga di dalam persidangan terjadi perdebatan yang sangat sengit dan memicu kemarahan warga Kota Bima yang menyaksikan persidangan.
“Tadi terjadi kericuhan di dalam ruangan sidang, di halaman kantor pengadilan dan di jalan depan kantor pengadilan,” terangnya.
Menurut Bambang, kesempatan yang diberikan majelis hakim kepada JPU dengan berbagai alasan JPU tidak logis, karena sudah 2 kali meminta penundaan dengan waktu yang tidak efisien. Sehingga bertentangan dengan surat edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2014 tentang penyelesaian perkara di tingkat pengadilan utama, tingkat banding dan pada 4 lingkup peradilan.
“Dijelaskan pada poin pertama surat edaran itu penyelesaian perkara pada pengadilan tingkat pertama, paling lambat dalam waktu 5 bulan, sementara kasus ini sudah berjalan 5 bulan,” bebernya.
Sehingga sambung Bambang, penasehat hukum menilai kinerja JPU sebagai penuntut tidak logis, karenanya warga masyarakat merasa tidak puas dengan kinerja JPU.
Sementara itu, M Hadi juga menyorot sikap JPU yang menunda-nunda agenda pembacaan tuntutan tersebut, karena akan memunculkan asumsi negatif dari masyarakat.
“Bahkan kami menilai ini menjadi cikal bakal terciptanya instabilitas daerah,” katanya.
Ia pun mempertanyakan apa maksud penundaan berkali-kali ini. Sebagai masyarakat juga berharap pada majelis hakim yang menangani perkara ini dapat bersikap arif dan bijaksana, berlandaskan hukum yang berlaku. (GA. 003*)