Maraknya Survey dalam Pilkada 2024, Doktor Alfin: Tanda Demokrasi Sudah Berbasis Keilmuan

DR Alfin Sahrin.

Mataram, Garda Asakota.- Survey popularitas maupun survey elektabilitas saat sekarang menjadi salah satu trend yang dipergunakan oleh hampir sebagian besar partai politik untuk menentukan Bakal Calon Kepala Daerah (Bacakada) yang akan diusung dalam Pilkada 2024.

Bahkan dalam kondisi kontemporer, ada salah satu partai politik yang melakukan tiga kali survey kepada para Bacakada yang akan diusung untuk memastikan tingginya tingkat elektabilitas pasangan Bacakada yang akan diusung.

“Jadi memang survey ini dalam politik modern menjadi salah satu bagian dari upaya dalam membangun kapasitas diri dihadapan publik,” kata Alfin Sahrin, salah satu Doktor Antropologi Politik alumni Unhas Makassar yang saat ini menjadi akademisi di salah satu perguruan tinggi di Mataram, Sabtu 16 Juni.

Survey juga menurutnya menjadi alat ukur penerimaan dan akseptabilitas publik terhadap pasangan calon yang akan mengikuti kontestasi Pilkada.

Akan tetapi, ia pun menegaskan, berbicara survey sesungguhnya tidak hanya berbicara hasil saja. Akan tetapi juga harus berbicara tentang proses dan metode yang digunakan itu apakah bisa diverifikasi dengan pengukuran yang benar atau scientific.

“Kalau tujuannya adalah mengklaim siapa yang paling tinggi atau paling rendah disebuah basis daerah tertentu, hal itu sah-sah saja sepanjang hasil survey itu menggunakan metode yang sesuai dengan metode dan kaidah ilmiah,” ujar Doktor Alfin.

“Yang salah itu kalau membangun dan mencitrakan hasil survey tinggi tetapi tidak jelas menggunakan metode samplingnya, pendekatan apa yang digunakan, dan konklusi apa yang dipakai. Maka itu yang harus menjadi perhatian, supaya tidak menghasilkan survey yang tidak memenuhi kredibilitas atau parameter keilmuan,” sambungnya.

Menurutnya, pengambilan kesimpulan dengan menggunakan metode sampling terkadang juga tidak cukup representatif dalam menggambarkan realitas objektif terkait dengan dukungan atau arah dukungan pemilih pada pasangan calon tertentu.

“Karena dengan menggunakan sampling dengan metode statistik terkadang dia menjadi tereduksi karena sebagian besar pemilih tidak mengambil bagian atau dikurangi dalam memberikan opini. Sampel juga ada yang random dan ada yang purposif sesuai dengan kriteria tertentu,” paparnya.

Meski demikian pihaknya memberi apresiasi terhadap pendekatan politik yang dipergunakan saat sekarang sudah banyak menggunakan pendekatan yang scientific dan tidak lagi menggunakan spekulasi-spekulasi.

“Itu menunjukan demokrasi kita sudah berbasis keilmuan sekalipun metode yang digunakan masih banyak menuai pertanyaan soal kredibilitasnya,” tandasnya. (GA. Im*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You cannot copy content of this page