MENEROPONG GAJI HAKIM 

(Antara Aku, Kamu dan Bekas Pacarmu)

Reza Apriadi, SH (Wakil Ketua Pengadilan Negeri Takalar)

Mungkin judul opini ini agak tidak nyambung, tapi tidak mengapa, Penulis hanya mencoba mencari sudut pandang lain dan menyampaikan opini terhadap sebuah diskursus yang sedang ramai dibicarakan di kalangan Hakim Indonesia yaitu mengenai gaji Hakim Indonesia.

Gaji Hakim di Indonesia sendiri terdiri Gaji Pokok, tunjangan jabatan dan tunjangan tunjangan lainnya yang diterima Hakim setiap bulan, dimana besarannya bervariasi, dari Hakim yang baru dilantik atau baru menjalankan tugas sampai dengan level pimpinan.

Untuk Hakim baru pendapatan yang diterima per bulan berkisar di angka 11 jutaan, sedang Hakim senior di angka kurang lebih 14 jutaan dan level pimpinanan klas 2 berkisar diangka 21 sampai dengan 24 jutaan.

Lalu yang menjadi pertanyaan adalah. Apakah jumlah pendapatan tersebut CUKUP ?. berbicara cukup atau tidak cukup pendapatan Hakim Indonesia sebenarnya adalah hal yang relatif, tergantung dari sudut mana melihat persoalan ini.

Jika melihat dari sudut besarnya pendapatan dibanding pegawai pemerintah (PNS) kebanyakan pendapatan perbulan Hakim masih lebih tinggi, tetapi dalam hal ini pendapatan Hakim tidak bisa dipandang dari tinggi rendahnya dibanding dengan PNS kebanyakan, ada banyak variable yang membedakanya dengan PNS lain dari status jabatan Hakim sebagai pejabat negara, beban tugas, risiko, mutasi yang kontinyu dan yang tidak pernah diperhitungkan atau ditanggung yaitu biaya pulang kampung, biaya pindah sekolah anak-anak, alat rumah tangga yang sebenarnya kalau dibicarakan akan membuat seorang Hakim terlihat seperti sangat miskin, namun itulah kenyataan yang dihadapi seorang Hakim.

Apa yang penulis sampaikan di atas mungkin masih sebagian kecil dari persoalan Hakim dalam menjalankan tugasnya, kebijakan mutasi secara berkala adalah kebijakan yang tentunya bertujuan salahsatunya adalah untuk menjaga integritas seorang Hakim, namun dengan wilayah Indonesia yang sangat luas tentu menimbulkan biaya yang tidak sedikit, untuk biaya mutasi mungkin relative tidak masalah karena ditanggung oleh negara, tetapi biaya pasca mutasi yang tidak pernah diperhitungkan, dimana ada rekan rekan hakim yang dengan segala pertimbangan tidak membawa keluarga sehingga harus pulang kampung secara berkala, begitupun ada hal hal mendadak yang mengharuskan rekan rekan Hakim terpaksa pulang kampung dengan biaya sendiri yang secara signifikan sangat berpengaruh terhadap pendapatan Hakim.

Ini hanya satu masalah yang dihadapi oleh seorang Hakim, belum lagi untuk pemenuhan hak hak dasar, tidak jarang seorang Hakim harus berhutang di Bank untuk pemenuhan kebutuhan dasar terutama rumah yang layak bagi para penjaga keadilan ini.

Sudah seharusnya pemerintah memikirkan hal ini dan memberikan jaminan kehidupan yang layak bagi seorang Hakim.

Penempatan Hakim pada suatu wilayah sebenarnya juga bukan hal baru, dari beberapa referensi yang ditemukan Penulis.

Tanpa mengenyampingkan sejarah Hakim dari sudut keyakinan yang lain, Penulis mencoba menggambarkan tentang penempatan Hakim dari sisi Sejarah Islam. Jika ada rekan rekan yang memiliki referensi Sejarah mungkin bisa menuliskan pada opini rekan rekan untuk saling memperkuat diskursus Hakim sebagai sebuah profesi yang sangat terhormat.

Pada era kepemimpinan Rasulullah, Rasulullah menempatkan para hakim ke berbagai kota dan wilayah kekuasaan Islam. Diantaranya Beliau pernah mengirim Ali bin Abi Thalib dan Muadz bin Jabal sebagai hakim ke Yaman. Pada masa setelah wafatnya Rasulullah, Abu Bakar yang diangkat sebagai Khalifah meneruskan kebijakan Rasulullah dalam bidang Kehakiman.

Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, menurut Ibnu Khaldun dalam kitabnya yang berjudul Muqaddimah mengatakan, bahwa orang pertama yang memberikan jabatan kekuasaan kehakiman dalam wilayah-wilayah pemerintahan Islam adalah Umar bin Khattab.

Ia mengangkat Abu Darda sebagai hakim di Madinah, mengangkat Qays bin Abdul-Ash menjadi hakim di Mesir, mengangkat Syuraih bin Harits Al-Kindi sebagai hakim Kufah, dan mengangkat Abu Musa Al-Asy’ari sebagai hakim Bashrah. Selain itu Umar Bin Khatab juga berkirim surat kepada Amr bin Al-Ash agar mengangkat Kaab bin Yasar sebagai hakim Mesir dan menugaskan Ubadah bin Ash-Shamit sebagai hakim ke Syam dan pengajar di sana.

Pada masa Usman bin Affan, adalah masa Pembangunan Kehakiman. Kekuasaan Kehakiman pada masa Khalifah Usman Bin Affan mengalami kemajuan daripada masa sebelumnya.

Pada masa khalifah Usman Bin Affan Kehakiman memiliki kantor sendiri untuk melaksanakan peradilan Dimana sebelumnya tempat melakukan peradilan masih dilaksanakan di masjid.

Berikutnya pada masa Daulah Umayyah lembaga peradilan mulai berdiri sendiri, tidak lagi dipegang oleh khalifah secara langsung.

Di masa inilah para hakim mulai dilantik resmi di ibukota kekhalifahan, Damaskus. Khalifah saat itu tidak lagi terjun langsung dalam memutus suatu perkara, melainkan melakukan pengawasan terhadap kinerja para hakim dan juga keputusan yang mereka ambil. Selanjutnya, khalifah memiliki peranan khusus dalam pengangkatan, pencopotan dan mengontrol para hakim untuk berperilaku lurus.

Ibnu Hajar mengisahkan tentang salah satu Khalifah Bani Umayyah yang melakukan pengangkatan seorang hakim. Salah satunya yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang mengangkat Ibnu Khadzamir Ash-Shan’ani untuk menjadi hakim di wilayah Mesir.

Umar bin Abdul Aziz sebagai seorang khalifah sangat berusaha dalam merealisasikan keadilan di tengah-tengah masyarakatnya. Untuk itu ia pun memiliki kriteria-kriteria utama seorang hakim seperti intelektualitas, ketakwa’an, keadilan, kesucian, kapabilitas dan kejujuran.

Menurut Ibnu Hajar, yang termuat dalam buku “Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia” karya Prof. Raghib As-Sirjani mengisahkan tentang sebab apa yang membuat Umar Abdul Aziz memilih Ibnu Khadzamir Ash-Shan’ani sebagai hakim. Ibnu Khadzamir pun dilantik mejadi hakim negara pada tahun 100-105 H.

Ibnu Hajar sangat mengapresiasi keteladanan yang dilakukan oleh Ibnu Khadzamir dengan mengatakan, “Ibnu Khadzamir adalah orang non Arab pertama yang menjabat sebagai hakim di Mesir. Dan semenjak menjabat sebagai hakim, ia tidak pernah mau menerima satu dirham atau satu dinar pun.”

Sosok hakim pada masa peradaban Islam sangatlah mulia dan disegani oleh masyarakat. Orang-orang selalu bersikap diam dan tidak membuat kegaduhan di hadapan majelis hakim, hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepadanya dan penghargaan terhadap kedudukannya. Mulia dan terhormatnya kedudukan seorang hakim justru membuat sebagian hakim enggan mengambil gaji atau upahnya sebagai hakim. Sebagian hakim berpandangan bahwa hal itu akan mengurangi kemuliaan diri dan tugasnya.

Salah satu hakim yang enggan mengambil gajinya ialah Ibnu Samak Al-Hamdzani, yakni seorang hakim di Andalusia. Adapun kisah Ibnu Samak Al-Hamdzani seorang hakim yang enggan mengambil gajinya terdapat dalam Tarikh Qudhah Al-Andalus karya An-Nabahi.

Dalam tarikh tersebut dikisahkan, “Di antara bukti kezuhudan dan kerendahan hati Al-Hamdzani adalah ia membuka saluran air sendiri. Hal ini didasarkan atas apa yang telah diceritakan oleh Iyadh dan lainnya. Al-Hamdzani juga membelah kayu di depan rumahnya, sementara orang-orang yang ada disekitarnya mengajukan perkara kepadanya.

Ia memakai pakaian yang terbuat dari kain wol, dan tidak mau naik hewan tunggangan atau kendaraan di kota pada saat ia menjabat sebagai hakim. Jika ia pergi ke rumahnya yang ada di desa, ia berpakaian sederhana dan berbekal uang sakunya sendiri. Ia tidak mengambil gaji atas jabatannya sebagai hakim.”

Meskipun kisah di atas mungkin bisa saja terjadi yakni seorang hakim yang memiliki kezuhudan dan ketakwaan. Namun Rasulullah sangat berhati-hati dalam perkara keadilan. Rasulullah berpesan, agar keadilan tetap terwujud dan mendapatkan jalannya, maka seorang hakim disarankan untuk mendapatkan gaji yang cukup dan dilarang menerima hadiah.

Rasulullah bersabda, “Siapa saja yang kami pekerjakan pada suatu pekerjaan kemudian kami memberikan rezeki (gaji), maka apa yang ia terima selain itu dianggap sebagai hasil kecurangan.”

Dari Gambaran diatas, jelas bahwa meskipun seorang Hakim bisa saja atau malah wajib bersikap zuhud sebagaimana Ibnu Samak Al-Hamdzani, tetapi kita harus melihat zuhud ini dalam kacamata yang lebih luas perkembangan zaman dan bagaimana membentengi seorang Hakim agar terbebas dari praktek kecurangan.

Dalam pandangan penulis sifat zuhud ini juga harus dimaknai sikap tidak berlebihan, tidak menunjukan kemewahan atau dalam Bahasa zaman sekarang disebut flexing. Kata CUKUP dalam pemenuhan kebutuhan seorang hakim disini harus dimaknai tidak saja cukup dalam konteks jumlah yang bisa menutup kebutuhan Hakim, tetapi CUKUP disini adalah tembok kokoh yang dapat membentengi Hakim dari perbuatan curang sebagaimana tergambar dari Hadist Rasulullah di atas.

Penulis tidak menemukan referensi gaji Hakim yang CUKUP, tetapi ada sebuah percakapan yang menarik meskipun sebenarnya bukan mengenai percakapan tentang Hakim yaitu pandangan Sultan attabek Zanmi (ayah Nuruddin Mahmud) menanggapi permintaan pegawai untuk menurunkan gaji ahli politik dengan perkataan sebagai berikut. “

Sesungguhnya orang seperti Kamaluddin bin Syaharzuri mendapatkan gaji setahun lebih dari 10.000 dinar, sedangkan pembesar-pembesar lainnya paling tinggi gajinya 300 dinar, kata pegawai melakukan protes. Kemudian attabik Zanki menjawab; dengan fikiran semacam inikah kamu mengurus pemerintahan. Gaji seperti itu masih sangat sedikit untuk orang seperti Kamaluddin, dan gaji 500 dinar terlalu banyak untuk orang lainnya.

Suatu pekerjaan yang dapat terealisasikan oleh Kamaluddin jauh lebih tinggi nilainya 100.000 dinar (Kurdi, 1946, p.25).

Dari percakapan tersebut kita bisa mengambil gambaran bahwa suatu pekerjaan yang dapat direalisasikan itu jauh lebih tinggi nilainya dalam kata lain bahwa profesionalitas harus dihargai lebih tinggi, output yang dihasilkan sangat bernilai.

Dalam konteks Hakim pekerjaan yang harus direalisasikan (OUTPUT) tersebut adalah PUTUSAN YANG ADIL

Lalu bagaimana dengan gaji Hakim saat ini. Kita bisa melihat dari gaji pokok Hakim dan berbagai macam tunjangan yang diterima Hakim saat ini, menurut Penulis komponen dan jumlah yang diterima Hakim saat ini jauh dari kata professional bahkan cenderung merendahkan martabat Hakim.

Meskipun mendapat tunjangan jabatan “agak tinggi dari pegawai”, tetapi gaji Hakim sangat rendah, selain itu Hakim menerima tunjangan-tunjangan yang tidak jauh dari tunjangan yang menggambarkan hakim hidup dibawah garis kemiskinan, kita bisa melihat dari Bahasa tunjangan seperti tunjangan sewa rumah, tunjangan transportasi, tunjangan makan, tunjangan kemahalan yang seharusnya tidak ada lagi dalam konteks kemuliaan jabatan seorang Hakim.

Dari segi jumlah juga sangat memilukan sewa rumah Rp1,3 juta, uang transportasi 50 ribuan/per hari, uang makan 50 ribuan/hari itupun harus dipotong jika sang pengadil cuti atau tidak masuk karena sakit, selain itu Hakim mendapat tunjangan kemahalan yang mempertegas bahwa Hakim itu adalah orang yang tidak mampu hingga harus menerima “Bantuan langsung tunai” tersebut setiap bulan.

Dari tulisan ini sudah selayaknya pemerintah memberikan Hakim pendapatan yang tidak hanya CUKUP untuk hidup tetapi lebih dari itu pendapatan tersebut juga harus mencerminkan kemuliaan seorang Hakim sekaligus benteng bagi Hakim dalam menjalankan tugasnya. Semoga jalan hidup sebagai Hakim bukan “jalan gelap yang kau pilih, penuh lubang dan mendaki’ sebagaimana lagu iwan fals berjudul “antara aku, kamu dan bekas pacarmu”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You cannot copy content of this page