Mataram, Garda Asakota.-Kasi Rekontruksi yang juga Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) BPBD Pemkot Bima 2018-2021, Ismunandar, mengungkapkan peran dan tupoksinya sebagai PPK terutama berkaitan dengan penanganan program tanggap bencana dari BNPB 2019.
Hal itu disampaikannya dalam persidangan perkara korupsi terdakwa Muhammad Lutfi Walikota Bima 2018-2023 di Pengadilan Tipikor Mataram, Jumat (1/3/2024).
Ismunandar yang pernah dua kali diperiksa Penyidik KPK di Polda NTB ini, mengungkap adanya beberapa item yang dikuasai Muhammad Maqdis ipar terdakwa eks Walikota dan juga kontraktor lainnya, Amsal Sulaiman alias Cengsi.
Pekerjaan yang dimaksudnya itu seperti paket pekerjaan yang ditangani oleh CV Zafira Bima pekerjaan jalan perumahan Jatibaru, CV Nawi Jaya jalan lingkungan perumahan Oi Fo’o 1, PT Risalah Jaya Konstruksi (RJK) pembangunan jalan lingkungan Oi Fo’o 2 dan juga paket air bersi Oi Fo’o 1, PT Bali Lombok Sumbawa jaringan air bersih perumahan Jatibaru, dan jaringan air bersih Cengsi PT Permata Hijau Dompu, pengadaan listrik perumahan Jatibaru CV Buka Layar, listrik dan PJU Oi Fo’o 1 CV Buka Layar, dan beberapa paket lainnya.
Diantara perusahaan itu, diakuinya pekerjaan itu benar benar ada dengan sistem pinjam bendera yang diduga dilakukan oleh dua orang Kontraktor yakni Muhammad Maqdis (MM) yang disebutnya adik ipar terdakwa HML dan Amsal Sulaiman (Cengsi).
“Betul yang mengendalikan pekerjaan mereka berdua,” tanya Jaksa KPK. “Betul,” tegas saksi.
MM diduga meminjam bendera PT RJK Cabang Kabupaten Bima, dimana Direkturnya Rohficho Alfiansyah alias AL, diantaranya mengerjakan dua paket pekerjaan yakni jalan lingkungan Kadole dan pengerjaan air bersih lingkungan Oi Fo’o 1.
“Yang tanda tangan kontrak, Rohficho dan saya PPK-nya. Kadang juga dia (AL) ada di lokasi,” tegasnya.
Awalnya, sekitar April 2019 pernah disuruh MM ke rumahnya Kelurahan Melayu setelah sebelumnya ditelepon Ibu Ririn Kabid Cipta Karya Dinas PUPR saat itu, untuk koordinasi terkait dengan pekerjaan sebagai dinas teknis.
Setelah diawali dengan percakapan biasa, ngobrol ngobrol, baru setelah itu disampaikan bahwa pekerjaan itu dia (Maqdis) yang akan kerjakan.
“Pas sampai di sana (rumah MM) saya dikasih tahu bahwa itu pekerjaannya. Saya ndak ngomong apa apa, cuman iyakan saja, tapi prosesnya di ULP,” akunya.
Namun diakuinya pula setelah penandatanganan kontrak, baru dia mengetahui pasti bahwa proyek proyek itu memang benar dikerjakan Maqdis.
“Untuk pekerjaan jalan dan PJU itu dikerjakan pak Maqdis, sedangkan untuk pekerjaan air bersih dan sanitasi cengsi, dengan meminjam perusahaan seperti Indo Bima Mandiri, Risalah sama Permata Hijau,” timpalnya lagi menjawab JPU KPK.
Menjawab pertanyaan, mengapa saksi mau melakukan apa yang diminta Ririn dan Maqdis? Dia beralasan Maqdis sebagai orang dekat Walikota dan Isterinya.
Saksi juga mengungkap bahwa fakta adanya penguasaan proyek oleh MM ini sudah ia laporkan ke pimpinan, Kalak BPBD H Syarafuddin saat itu. “Beberapa hari kemudian baru saya laporkan ke pak H Syara selaku Kadis,” ucapnya.
Ketika JPU KPK menyinggung kesaksian H Syarafuddin yang mengatakan bahwa informasi yang didapat dari PPK soal penguasaan paket proyek oleh Maqdis ini rentang waktunya lama, bahkan setelah selesai semua pekerjaan dan ada ramai ramai KPK?, Ismunandar menduga mantan pimpinannya itu lupa. “Mungkin beliau lupa,” ucap saksi.
Selaku PPK saksi juga mengaku pernah sebelum pelelangan diminta HPS oleh Jamaluddin Direktur CV Nggaro Bae Consultan karena yang diketahuinya Jamal inilah yang membuat penawaran perusahaan tersebut.
Ia berani menyerahkan HPS dalam bentuk soft copy karena diketahuinya untuk kepentingan kerabat Walikota saat itu, Muhammad Maqdis. “Saya tahu pak Jamal ini waktu pembuatan penawarannya pak Maqdis,” katanya.
Kepada PH Terdakwa, Abdul Hanan, SH, MH, saksi mengakui bahwa SK dirinya sebagai PPK dikeluarkan oleh Walikota Bima 2018-2023, Muhammad Lutfi, tanpa ada pemberian uang sepersen pun darinya.
Ditanya terkait pekerjaan pembangunan jalan perumahan Oi Fo’o 2 di BPBD Rp10,2 Miliar lebih?, diakui saksi bahwa kontrak awalnya seperti itu tapi setelah berjalan waktu, tidak adanya ketersediaan tanah oleh Pemkot dan sisi lain diburu waktu, makanya terjadi adendum kontrak menjadi Rp5 Miliar lebih.
Kemudian, darimana saudara tahu bahwa beberapa perusahaan itu merupakan pinjam bendera?, saksi terang mengaku dari masing-masing kontraktor yang ada pada waktu penandatangan kontrak.
“Hanya pengakuan secara lisan, tidak ada dokumen yang menjelaskan bahwa proyek ini dipinjam bendera,” pungkasnya. (GA. Tim*)