Garda Asakota.com.-Sidang dugaan korupsi mantan Wali Kota Bima, HM Lutfi, terus berjalan di Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Mataram.
Pada Jum’at 02 Februari 2024 kemarin, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI mengajukan sebanyak empat orang saksi yakni Agussalim, Rizal Afriansyah, Kamaruddin, dan Ismanuddin.
Untuk kesaksian pertama Agussalim mulai pukul 10.00 Wita hingga pukul 12.00 Wita. Sedangkan tiga saksi lainnya Rizal Afriansyah, Kamaruddin, dan Ismanuddin, didengarkan keterangannya bakdah shalat Jumat atau mulai pukul 14.00 Wita.
Saat menjadi Kepala Bidang Bina Marga PUPR Kota Bima, Agus Salim, dalam persidangan kemarin mengungkap peran terdakwa HML dalam mengatur dan menguasai sejumlah proyek di Kota Bima.
Hal itu diketahui saat Majelis Hakim yang diwakili Djoko Soepriyono membacakan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) nomor 5 tanggal 13 September 2022. Isinya, pada awal tahun 2021, Lutfi melalui ajudannya memanggil Agus agar menemuinya di rumah dinas, di Jalan Gajah Mada, Kota Bima.
Saat bertemu Agus, Lutfi menyampaikan bahwa daftar pengerjaan sejumlah proyek pada Dinas PUPR Kota Bima ada di Fahad, Kabid Cipta Karya Dinas PUPR. Daftar tersebut berisi siapa orang atau pemenang yang mendapat pekerjaan tersebut.
Terungkap juga ternyata Agus sering bertemu Wali Kota Bima periode 2018-2023 tersebut. Sama seperti Dinas PUPR, hal serupa juga dilakukan Lutfi untuk proyek di dinas lain di Kota Bima. Antara lain, Dinas Kesehatan, Dinas Pariwisata, Dinas Pendidikan. Kemudian, Dinas Perhubungan dan Setda Kota Bima.
“Muhammad Lutfi memberikan daftar pemenang yang mendapat pekerjaan tersebut,” ujar Djoko.
Terdakwa korupsi di lingkup Kota Bima, HML, mengarahkan mantan Kabid Bina Marga Dinas PUPR Kota Bima, Agus Salim agar memenangkan sejumlah proyek.
“Apakah saudara menerima arahan dari Lutfi terkait perusahaan yang akan dimenangkan dan mengerjakan proyek pembangunan perpustakaan daerah pada tahun 2021,” kata Djoko membacakan BAP milik Agus.
Saat itu, Agus yang kini menjabat sebagai Kabag Layanan Pengadaan Barang dan Jasa (LPBJ) Setda Kota, mengaku menerima arahan tersebut. “Ya, terima arahan,” katanya.
Sebelum pelaksanaan lelang paket pekerjaan perpustakaan, Agus dipanggil Lutfi ke rumah dinasnya, di Jalan Gajah Mada, Kota Bima. Di sana, Lutfi meminta agar pembangunan perpustakaan daerah itu diserahkan kepada seseorang bernama Richard. Saat itu, Agus hanya mengiyakan permintaan suami Eliya tersebut.
Tidak hanya itu, Agus mengaku sejumlah kepala dinas (Kadis) di Kota Bima membawa list daftar calon pemenang dan pelaksana proyek. Para Kadis mengakui bahwa list itu diterimanya dari Lutfi.
Mendengar aduan itu, Agus langsung mengonfirmasi ke Lutfi. Wali Kota Bima periode 2018-2023 itu membenarkan adanya arahan tersebut. “Iya, benar,” kata Agus mengikuti ucapan terdakwa Lutfi.
Selain mengungkap peran HML, saksi Agus juga mengungkap peran istri mantan Walikota Bima, Ellya, yang juga ikut mengatur proyek di Kota Bima. Dalam persidangan, Agus terungkap menerima sejumlah aliran dana dari istri Walikota Bima terkait proyek pengadaan barang dan jasa di lingkup Pemerintah Kota (Pemkot) Bima pada tahun 2019.
Pertama, Agus memperoleh Rp5 juta dari Ellya Alwaini, istri terdakwa Lutfi. Kemudian, dia mendapatkan Rp1,5 juta dari seseorang bernama Furqon. Totalnya Rp6,5 juta.
Namun, penerimaan sejumlah uang tersebut, tidak dilaporkannya ke penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal itu terungkap setelah majelis hakim diwakili Djoko Soepriyono menanyakan hal tersebut kepadanya.
“Tidak (dilaporkan ke KPK),” kata Kabag Layanan Pengadaan Barang dan Jasa (LPBJ) Setda Kota Bima ini.
Selain diduga menerima sejumlah aliran dana jutaan rupiah, Mantan Kabid Bina Marga di Dinas PUPR Kota Bima 2017-2021, juga mengaku mendapat hasutan dari Ellya Alwaini, istri terdakwa Lutfi agar tidak membayar denda ke pelaksana proyek pelebaran Jalan Nungga Toloweri, Kota Bima. Besarnya Rp600 juta.
“Saat saya akan mengenakan denda, saya dipanggil oleh ibu Ellya ke kediamannya. Di sana, saya diminta tidak melakukan pemotongan kontrak atas pengerjaan tersebut,” ungkap Agus.
Meski dihasut, Agus tetap melakukan pemotongan tersebut. Pasalnya, jika dirinya tidak membayar uang ratusan juta, nantinya akan menjadi temuan Inspektorat dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan pemeriksaan.
“Setelah saya jelaskan persoalan itu, Ellya hanya mengiyakan tanpa memberikan komentar,” jelasnya.
Diketahui, paket pekerjaan jalan tersebut dikerjakan oleh PT Risalah Jaya Konstruksi dengan nilai kontrak Rp6,7 miliar. Pemotongan dilakukan karena sisa material tidak dibuang sejauh 3 kilometer dari lokasi, tapi melainkan dibuang di lokasi pengerjaan jalan.
“Berdasarkan hasil analisis yang kita lakukan, sehingga kita menyimpulkan untuk mengenakan denda dari kontrak senilai Rp6,7 miliar,” sebutnya.
Dia pun meyakinkan, sebelum menuju ke kediaman Walikota Bima untuk bertemu dengan Ellya Alwaini, sebelumnya dia bertemu dengan Edward. Saat itu Edward meminta dirinya untuk tidak melakukan pemotongan kontrak.
“Jadi, sebelum saya ke rumah Ellya saya membahas masalah ini dengan Edward dan disarankan untuk tidak melakukan pemotongan kontrak,” ujarnya.
Proyek jalan tersebut diketahuinya merupakan milik Ellya Alwaini. Hal itu berdasarkan informasi pengawas pekerjaan yang ada di Dinas PUPR.
“Kalau untuk kepastian apakah benar atau tidaknya pemilik proyek itu (Eliya Alwaini), saya tidak tahu karena hanya sebatas informasi dari pengawas PUPR saja,” tutupnya. (**)