Pada hari Ahad (1/9/2024), ada peluncuran terbatas buku berjudul “Jika Saya Menjadi Wali Kota Makassar” di Jl. Dg.Tata II Lorong Daeng Jakking, Paratambung Kecamatan Tamalate, Kota Makassar. Buku yang digagas Komunitas Anak Pelangi (K-Apel) tersebut berisi goresan tangan 31 penulis Kota Makassar dari beragam profesi. Ada akademisi, wartawan, budayawan, penulis, seniman, dan juga pegiat lembaga swadaya masyarakat (LSM). Mereka menulis dan mengandaikan dirinya masing-masing sebagai Wali Kota Makassar.
Saya termasuk salah seorang penyumbang tulisan di dalam buku setebal 207 halaman itu. Penginisiatif buku yang diterbitkan atas kerja sama K-Apel- Arsy Media ini, yang juga Pendiri Komunitas Anak Pelangi, Rahman Rumaday menyebutkan, tulisan saya itu merupakan naskah pertama yang masuk ke pos-e (pos elektronik, e-mail)-nya dalam hitungan tidak cukup tiga jam setelah pesan disampaikan. Mungkin itulah sebabnya, tulisan saya ditempatkan pada urutan pertama, meskipun galibnya, urutan tulisan merujuk secara alfabetis nama belakang penulis. Mungkin itu juga sebabnya, saya memperoleh penghargaan untuk menerima buku itu secara simbolis.
Di dalam tulisan yang menggunakan gaya orang pertama (saya) – tetapi pada tulisan ini saya ubah menjadi orang ketiga – saya mengatakan, ketika seorang menjabat wali kota (dalam tulisan ini dibaca ‘kepala daerah’), pastilah seseorang akan bingung. Masalahnya, tidak ada ‘sekolah kepala daerah’. Sekolah yang mempersiapkan ABC-nya seorang yang akan menjadi kepala daerah.
Untuk menjadi seorang dokter, orang harus berkuliah di Fakultas Kedokteran. Untuk menjadi seorang pengacara atau advokat, orang harus mengikuti pendidikan tinggi di Fakultas Hukum. Tetapi untuk menjadi seorang kepala daerah tidak ada lembaga pendidikan khusus. Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) hanya melahirkan calon-calon lurah. Dulu, Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN), lulusannya menghasilkan para calon camat setelah beberapa saat menyesuaikan diri dan bekerja di lingkungan pemerintahan.
Pada kekinian, saat Indonesia disebut sebagai negara demokrasi, jabatan politik tidak lagi mengandalkan latar belakang pendidikan formal. Tidak lagi mengutamakan seseorang adalah lulusan perguruan tinggi khusus yang mengajarkan ABC pemerintahan. Semuanya diatur dan dikendalikan oleh jalur politik dan uang. Bahkan ke depan, boleh jadi mereka yang hendak terjun sebagai pejabat politik tidak perlu bersekolah, tetapi cukup menimbun harta kekayaan yang kelak digunakan untuk membiayai ongkos politik pada segala level dan tingkatannya.
Lembaga pendidikan, di sekolah dasar misalnya, anak didik disibukkan dengan ruang lingkup pendidikan yang belum menggambarkan kelak seseorang mau menjadi apa. Hanya memperkenalkan inilah pemimpin bangsa dan daerah. Itu pun kalau Pak Guru sempat meluangkan waktunya untuk memberikan ilustrasi dan tidak lupa menambah wawasan anak didiknya.
Begitu pun pada pendidikan menengah dan atas, anak didik dijejali dengan beban pelajaran yang sama sekali tidak membayangkan seseorang akan menjadi apa. Di tingkat pendidikan tinggi, ilmu yang diberikan hanyalah teori belaka. Mahasiswa dijubeli rekaman catatan tertulis dan tidak tertulis yang justru jauh berbeda dengan realitas yang ada dan akan mereka hadapi. Lulusan perguruan tinggi dilepas ke alam bebas dan berusaha ‘survive’ dengan kemampuan dan kompetensi sendiri yang dimiliki dan tambahan bantuan jejaring yang bernama relasi atau nepotisme. Itu pun jika ada.
Lalu, bagaimana seorang kepala daerah membayangkan yang akan dilakukannya setelah dia terpilih? Suatu hari saya mewawancarai Wali Kota Makassar, Mohammad Ramdhan (Dany) Pomanto, di vilanya yang asri suatu malam. Pertanyaan saya sederhana, tetapi boleh jadi mungkin belum pernah ditanyakan oleh wartawan lain sebelumnya.
“Ketika Anda dilantik pada siang hari dan pada malam hari pergi tidur, saat bangun keesokan pagi, apa yang ada di benak dan hendak dilakukan sebagai seorang wali kota?,” tanya saya.
Setelah berpikir beberapa jenak, dia pun menjawab.
“Saya bingung”.
“Mengapa bingung?,” kejar saya.
“Bingung tentang apa yang harus saya harus lakukan pada hari pertama menjalankan tugas wali kota!,” jawabnya.
“Bukankah ada kegiatan seremoni yang harus dihadiri?,” kejar saya lagi.
“Itu rutinitias seorang wali kota. Sudah ‘given’. Pastilah terjadi, dan tidak perlu dipikirkan. Kegiatan itu otomatis akan datang dengan sendirinya” tangkisnya. Ya, benar juga. Kegiatan seremonial kepala daerah – hanya saja belum ada yang menghitung – menghabiskan waktu berapa bulan jika ditotal selama satu periode pemerintahannya.
, “Bukankah ada visi dan misi?,” cecar saya lagi.
“Visi dan misi, bukan ‘makanan’ yang siap saji dan ‘disantap’. Bukan sejenis ‘mie instan’ yang tinggal diseduh langsung dilahap. Dia hanyalah kumpulan rencana dan keinginan,” jawabnya.
“Terus…,”kejar saya lagi.
“Visi dan misi memerlukan penjabaran dalam berbagai program yang memakan waktu dan tenaga. Bahkan terkadang, visi dan misi kita lupakan jika sudah terjebak oleh rutinitas pekerjaan sebagai seorang wali kota,” paparnya panjang lebar.
“Lantas apa dong yang harus dilakukan?,” tanya saya lagi.
“Menghimpun keinginan dan kemauan warga!,” jawabnya.
“Caranya?”.
“Saya adakan pertemuan dengan para Camat dan Lurah. Meminta mereka mengumpulkan aspirasi masyarakat. Menginventarisasi daftar keinginan mereka dan program yang mendesak di wilayah kecamatan dan kelurahan mereka masing-masing,”urainya.
“Bukankah ada forum musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang)?,” potong saya.
“Musrenbang memang ada dan sudah pakem. Tetapi itu memuat program jangka menengah dan jangka panjang dan membutuhkan waktu. Saya ingin melakukan sesuatu dengan cepat dan mendesak diperlukan masyarakat. Masyarakat awam tidak tahu itu musrenbang. Yang mereka tahu adalah permasalahan yang mereka hadapi segera teratasi oleh wali kota yang baru,” katanya lagi.
“Bagaimana dengan kelompok sosial masyarakat yang lain, semisal kalangan pendidik, budayawan, seniman, pengusaha, dan ormas,” tanya saya.
“Mereka juga saya undang memberikan saran dan usulnya. Akan direkam daftar keinginan mereka tanpa kecuali. Semua kelompok di kota ini harus dihimpun daftar keinginannya, sehingga ketika ada yang protes wali kota tidak melakukan yang ini dan itu, tinggal tunjuk saja saran dan usulan mereka,” katanya lagi.
“Hanya itu?,” saya bertanya lagi.
“Terhadap hal-hal yang belum terungkap dalam pertemuan dengan semua pemangku kepentingan (stakeholders), saya ke lapangan?,” jawabnya.
“Buat apa?,” pancing saya.
“Melihat realitas permasalahan di masyarakat yang mungkin saja belum terinventarisasi dalam rangkaian pertemuan. Soalnya, saya harus melakukan pengecekan langsung di lapangan. Bisa saja yang diusulkan itu hanya untuk kepentingan dirinya sendiri atau kelompoknya,”bebernya.
“Cukupkah itu?,” sergah saya.
“Memang tidak cukup, tetapi untuk sekadar awal dari sesuatu, pengecekan langsung sangat perlu. Saya tidak ingin ada di antara mereka, ‘stakeholders’ itu hanya asal bunyi kemudian asal bapak senang (ABS),” dia menjelaskan.
Dia pun menjelaskan, setelah menjadi wali kota, apa yang dipaparkan itu menjadi bagian dari programnya dan benar adanya. Pekerjaan yang mendesak tidak boleh ditunda-tunda. Harus disegerakan. Jika masyarakat memerlukan ambulans gratis, siapkan karena itu akan mereka rasakan langsung manfaatnya. Tokh, orang meninggal itu masih bisa dihitung dengan jari jumlahnya sehari di kota ini. Ciptakan jalur komunikasi yang memungkinkan setiap warga dapat mengakses untuk menyampaikan informasi tentang kebutuhan angkutan tersebut.
Berkaitan dengan soal ABS, saya memiliki pengalaman berinteraksi dengan salah seorang bupati pada era Orde Baru. Kebetulan bupati itu adalah dosen Unhas yang “dikaryakan”. Sejak pertama saya memberitakan di media pengangkatannya, kami berteman baik setelah melewati jabatan sebagai pembantu rektor I dan Rektor Unhas, Angota Dewan Pertimbangan Presiden RI hingga akhir hidupnya 13 Januari 2020 ketika saya sedang berada di Bima.
Pada setiap hari Jumat, beliau selalu menelepon dan meminta saya mengunjungi daerahnya, 240 km dari Kota Makassar. Tepatnya di Kabupaten Wajo dengan ibu kotanya Sengkang.
Pelajaran yang saya petik dari perjalanan saya ‘blusukan’ ke desa-desa dengan beliau adalah tumbuhnya pengawasan melekat dan jangan pernah menerima laporan ABS. Sebagai seorang akademisi, beliau tidak ingin menerima laporan verbal, tetapi akan selalu diikuti dengan pengecekan di lapangan.
Begitulah pada hari Sabtu menjelang siang, mengendarai Toyota Hardtop warna hijau beliau mengemudikan sendiri kendaraan dinasnya. Saya duduk di sebelah kirinya. Kami bercerita tentang berbagai hal berkaitan dengan programnya sepanjang jalan sebelum tiba pada suatu tempat.
Lokasi yang kami datangi adalah sebuah perkampungan di pinggir sungai dan di sekitarnya terhampar areal sawah yang luas. Kami disambut warga desa yang kaget melihat bupatinya muncul dengan ‘ajudan gadungan’-nya. Belum lama duduk, hidangan goreng pisang sudah tersedia. Sambil mencicipi hidangan, warga menyampaikan uneg-unegnya. Termasuk pemerintahan kecamatan yang tidak pernah menyambangi mereka. Padahal, desa dan kampung mereka sudah ditetapkan sebagai lokasi pemasangan pompa air yang digunakan untuk menyedot air sungai guna mengairi sawah tadah hujan. Program ini disebut dengan ‘pompanisasi’, yaitu memasang beberapa pompa air di pinggir sungai untuk mengalirkan air ke sawah-sawah warga.
Usai menikmati makan siang ala desa, kami mohon pamit. Sasaran berikutnya adalah kantor kecamatan yang bersebelahan dengan rumah dinas sang camat. Melihat mobil dinas bupati, camat yang tidak menduga atasannya muncul, dengan sumringah menyilakan kami duduk di beranda depan kediamannya.
“Bagaimana Pak Camat dengan program pompanisasi yang dibicarakan beberapa waktu lalu?,” Pak Bupati mulai membuka pertanyaan sekaligus melihat reaksi Pak Camat.
“Iya, Pak Bupati. Warga sangat senang dengan kehadiran pompanisasi tersebut,” kata Camat membual, tetapi berusaha tampil serius dan tanpa beban.
“Ya, baguslah, kalau memang seperti yang Pak Camat jelaskan,” Pak Bupati yang mulai geram dibohongi bawahannya meluncurkan kalimat ‘bersayap’.
Setelah mendengar penjelasan Pak Camat, kami pun pamit. Apalagi Pak Bupati sudah jengkel. Tidak pernah membayangkan bawahannya akan berani menyampaikan laporan ABS seperti ini.
Di belakang hari, Pak Bupati memperoleh informasi dari warga yang pernah kami sambangi, kalau Camat segera meninjau kampung tersebut, setelah Pak Bupati meninggalkan kediamannya.
“Tadi Pak Bupati baru dari sini, Pak Camat!,” lapor warga ketika melihat Pak Camat muncul.
Pada hari Senin berikutnya, masih pagi-pagi, ajudan (yang asli) melapor kalau di depan kamar tamu rumah jabatan bupati sudah menunggu sang Camat yang disambangi pada hari Sabtu. Mengetahui yang datang itu adalah si pemberi laporan ABS, Pak Bupati membiarkan dia menunggu beberapa lama.
“Saya mohon maaf, sudah membohongi Bapak. Saya juga tidak tahu kalau Bapak sudah mengunjungi kampung tempat pompanisasi itu,” kata sang Camat dengan nada getar dan kepala tertunduk, ketika disilakan menemui Pak Bupati.
Pak Bupati tidak memberi komentar apa-apa atas kelakuan anak buahnya itu.
“Biarlah dia menyesali diri atas kesalahan yang dilakukannya sendiri,” kata Pak Bupati dan cerita ini kemudian menjadi bagian di dalam buku kecil yang saya tulis pada tahun 2003.
Camat itu kemudian benar-benar menyesali dirinya dan berusaha menjadi seorang pemimpin yang baik. Dalam pemilihan camat, dia terpilih sebagai camat teladan. Tentu setelah terjebak dalam kesalahan melaporkan yang ABS itu tadi.
Sebagai pemimpin, seorang kepala daerah harus rajin menyambangi warganya. Melihat lokasi-lokasi yang kumuh untuk dipoles menjadi enak dan sedap dipandang mata. Dengan cara ini, warga merasa pemimpinnya memiliki perhatian terhadap mereka. Jangan sampai ada warga tidak mengenal kepala daerahnya sendiri.
Seorang CEO Harley Davidson, Jeffrey Bleustein mengatakan, hal terpenting tentang kepemimpinan adalah ‘mengikatkan diri dengan orang lain. Mencari tahu bagaimana mengembangkan sisi terbaik dari orang lain. Bagaimana menciptakan suatu lingkungan tempat orang lain dapat mengembangkan potensi diri mereka sepenuhnya’. Dengan cara ini, seseorang akan diberi kesempatan untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada di lingkungannya. Misalnya, bagaimana membuat permukimannya yang kurang layak menjadi permukiman yang nyaman dengan potensi yang ada.
Yang tidak kalah pentingnya adalah seorang harus terus belajar. Belajar tentang masyarakatnya dan juga tentang masalah kepemimpinan serta segala aspek yang berkaitan dengan pekerjaan sebagai kepala daerah. John Maxwell, salah seorang pendeta dan penulis tentang kepemimpinan mengatakan, “para pemimpin yang sukses adalah seorang yang mau belajar. Dan dari proses belajar itu terjadi terus menerus, hasil dari disiplin dan ketekunan diri’’.
Belajar juga terkait dengan kekurangan seorang pemimpin masa lalu dalam melakukan kebijakan. Jangan sampai kesalahan tersebut terulang pada pemimpin yang berikutnya. Selama ini ada kesan pemimpin mewariskan kesalahan masa lalu pemimpin sebelumnya. (*).
(Penulis adalah putra Bima, tinggal di Makassar, dikenal sebagai seorang akademisi, jurnalis, dan penulis buku. Termasuk salah seorang Tokoh Pers versi Dewan Pers, dan kini menjabat Wakil Ketua Komisi Pendidikan dan Pelatihan Pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat periode 2023-2028).