Gardaasakota.com.-Krisis infrastruktur pertanian mengancam mimpi Nusa Tenggara Barat (NTB) sebagai lumbung pangan nasional. Anggota DPRD NTB, Muhammad Aminurlah, menegaskan bahwa kerusakan jaringan irigasi dan bendungan di sejumlah wilayah kini menjadi penghambat serius upaya swasembada pangan, terutama untuk komoditas padi dan jagung.
“Bagaimana kita mau bicara ketahanan pangan kalau bendungan rusak, irigasi tidak jalan, dan petani kesulitan membajak sawah?” tegas politisi yang akrab disapa Maman, Selasa (16/7).
Sorotan Maman sejalan dengan program besar ketahanan pangan yang tengah digencarkan Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan. Sayangnya, kondisi di lapangan justru memperlihatkan fakta yang memprihatinkan.
Di Kecamatan Ambalawi, Kabupaten Bima, Maman mencatat ada tujuh bendungan rusak parah. Kondisi kian memburuk pascabanjir bandang. “Sudah lima tahun tidak ada perbaikan. Apalagi setelah banjir kemarin, bendungan-bendungan itu tidak bisa digunakan sama sekali,” ungkapnya.
Situasi serupa terjadi di Kecamatan Wera. Petani di sana terancam gagal tanam lantaran sistem irigasi mati total. Akibatnya, pola tanam yang biasanya tiga hingga empat kali setahun, kini terhenti.
“Sudah beberapa bulan masyarakat tidak bisa membajak sawah. Ini jelas berdampak pada pendapatan mereka. Bagaimana kita mau bicara pengentasan kemiskinan kalau kebutuhan dasar petani saja tidak dipenuhi?” cetus Maman, mantan anggota DPRD Bima tiga periode.
Ia mengkritik lambannya respons pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota dalam menangani kerusakan infrastruktur pertanian. Padahal, NTB diandalkan sebagai salah satu penyangga ketahanan pangan nasional.
“Di mana hati nurani kita sebagai pemerintah? Sampai hari ini tidak ada action nyata. Masyarakat makin terpuruk,” tandasnya.
Selain mendesak perbaikan bendungan dan irigasi, Maman juga menyoroti belum optimalnya penggunaan anggaran Belanja Tak Terduga (BTT) Provinsi NTB yang mencapai lebih dari Rp 400 miliar. Ia menilai dana tersebut semestinya menjadi prioritas untuk membantu masyarakat terdampak bencana.
“BTT itu besar sekali, kenapa tidak dialokasikan cepat agar masyarakat tidak makin miskin?” kritiknya.
Lebih jauh, Maman menegaskan bahwa kunci keberhasilan ketahanan pangan ada pada kolaborasi lintas sektor. Ia mengajak pemerintah pusat, daerah, hingga para petani untuk bersinergi.
“Kita tidak bisa bekerja sendiri. Kita harus bergandeng tangan memperluas lahan tanam, meningkatkan produksi, dan memastikan distribusi pangan berjalan efisien,” tuturnya.
Meski banyak tantangan, Maman tetap optimistis NTB bisa menjadi lokomotif swasembada pangan nasional.
“Saya yakin, dengan semangat gotong royong, NTB bisa jadi bagian penting dari mimpi besar Indonesia mandiri dan berdaulat pangan,” pungkasnya. (GA. Im*)