Kepala Biro LKBN Antara NTB, Riza Fahriza. dan Pemeriksa Fakta Senior Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Dedy Helsyanto, Selasa 28 Desember 2021, di Hotel Santika Mataram. |
Mataram, Garda Asakota.-
Seiring dengan berkembangnya digitalisasi informasi saat ini, angka informasi hoaks dari tahun ke tahun makin meningkat. Berdasarkan data survey Status Literasi Digital Nasional, di tahun 2018 jumlah informasi hoaks sekitar 1000 hoaks, pada tahun 2019 naik menjadi 1.500 hoaks, dan pada tahun 2020, kian meningkat menjadi 2.500 hoaks. Dan sekitar 60 persen orang Indonesia sudah terpapar informasi hoaks.
Makin meningkatnya angka penyebaran informasi hoaks tersebut, membuat Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara dengan menggandeng Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) menggelar kegiatan diskusi bersama Insan Pers di NTB, Selasa 28 Desember 2021, di Hotel Santika Mataram, dengan mengambil tema “Peran Media di Tengah Informasi Hoaks di Masyarakat,”.
“Diskusi ini digelar mengingat makin meningkatnya informasi palsu atau informasi hoaks yang diproduksi dalam ruang media sosial. LKBN Antara tegas mengambil peran melakukan upaya pencegahan berkembangnya informasi hoaks melalui program anti hoaks. Melawan informasi hoaks ini diperlukan peran dari berbagai pihak, terutama peran dari media massa dengan menyajikan pemberitaan yang benar serta sesuai dengan fakta dan berimbang,” tegas Kepala Biro LKBN Antara NTB, Riza Fahriza.
Peranan insan media dalam melawan berkembangnya informasi hoaks menurut Riza, sangatlah penting. Sehingga menurutnya diperlukan sinergitas yang kuat antara insan pers ini dalam melawan dan menangkal berkembangnya informasi hoaks ditengah masyarakat.
Media Sosial menjadi salah satu ruang bagi para pemproduksi hoaks untuk menyebarkan informasi hoaks ini. Masyarakat bisa langsung menelan informasi tersebut secara mentah-mentah tanpa melakukan cross check terhadap keakuratan informasi tersebut. Salah satu contoh informasi hoaks yang beredar misalnya adalah soal informasi mengenai penghinaan terhadap striker Singapura. Padahal informasi tersebut adalah tidak benar. Informasi hoaks lainnya adalah soal gempa akibat terjadinya sejumlah erupsi gunung di Indonesia.
“Informasi-informasi tersebut jika dibiarkan maka bisa berdampak buruk terhadap berbagai sektor kehidupan masyarakat, seperti pada sektor pariwisata di daerah. Oleh karenanya, kami melawan berkembangnya informasi hoaks tesebut dengan melakukan pelurusan informasi dengan menggunakan kaidah jurnalistis dalam rangka mengerem munculnya berita-berita liar di tengah masyarakat,” cetusnya.
Pemeriksa Fakta Senior Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Dedy Helsyanto, menjelaskan informasi hoaks di Indonesia mulai banyak terjadi saat momentum Pilkada DKI Jakarta pada tahun 2012 lalu serta pada momentum Pilpres tahun 2014.
“Dari tahun ke tahun, kasus informasi hoaks ini terus meningkat dan isu yang disebarkan tidak hanya masalah sosial politik, dan soal SARA, namun juga menyasar soal lainnya seperti soal penanganan pandemi Covid-19. Berdasarkan data survey Status Literasi Digital Nasional, di tahun 2018 jumlah informasi hoaks sekitar 1000 hoaks, pada tahun 2019 naik menjadi 1.500 hoaks, dan pada tahun 2020, kian meningkat menjadi 2.500 hoaks. Dan sekitar 60 persen orang Indonesia sudah terpapar informasi hoaks,” papar Dedy Helsyanto.
Mafindo sendiri menurutnya terus bergerak dan berjuang untuk melakukan berbagai upaya guna menangkal berkembangnya informasi hoaks. Upaya dan langkah yang dilakukan Mafindo adalah dengan memberikan edukasi pada masyarakat terkait cara mengenali dan mengatasi informasi hoaks.
“Memerangi hoaks itu adalah dengan terus memberikan edukasi masyarakat bahwa ketika menerima suatu informasi harus melakukan langkah cross check terlebih dahulu dengan berbagai tools yang disiapkan oleh berbagai aplikasi yang disediakan oleh Google Platform seperti aplikasi pengecekan keaslian video, gambar, serta keaslian informasi yang disebar melalui link informasi yang disebarkan,” kata Dedy.
Dikatakannya, masyarakat Indonesia adalah salah satu masyarakat pengguna Internet tertinggi di dunia. Hanya saja menurutnya, angka literasi digital masyarakat Indonesia masih rendah. Maka tidak heran sekitar 60 persen orang Indonesia sudah terpapar informasi hoaks.
“Masyarakat masih belum mampu membedakan informasi hoaks atau sebuah berita yang ditulis jurnalis. Informasi hoaks tidak menggunakan kaidah jurnalistik. Sementara berita jurnalis menggunakan kaidah dalam penulisannya seperti ada cover both side, ada hak jawab, atau rule of the gamenya. Artinya sebuah berita jurnalis ditulis dengan menggunakan kaidah yang telah ditetapkan. Sedangkan informasi hoaks penulisannya tidak menggunakan kaidah, meski pun informasi hoaks ini menggunakan kalimat-kalimat yang meyakinkan,” ujarnya.
Motif seseorang menyebarkan Informasi hoaks menurutnya biasanya disebabkan oleh motif politik, ekonomi, dan lain sebagainya, bahkan ada juga yang menyebarkan informasi hoaks hanya karena keisengan. Hoaks sendiri menurutnya berasal dari kata hocus yang mempunyai makna mengelabui. Disingkat dari kata hocus pocus atau yang dulunya dikenal semacam mantra yang digunakan pada saat aksi sulap diatas panggung. Dan kata hocus ini mulai digunakan sekitar tahun 1808. (GA. Im/Ese*)