Satu berita yang menghentak dan menyeruak di Kabupaten/Kota Bima dan Nusa Tenggara Barat (NTB) pada umumnya adalah ditahannya Uswatun Hasanah yang dikenal dengan nama media sosial “Badai NTB”. Seorang wanita pemberani yang mengganyang peredaran narkoba di wilayah NTB dan Kabupaten/Kota Bima-Dompu khususnya.
Berita yang beredar menyebutkan, Badai NTB resmi ditahan oleh penyidik Polres Bima Kota dititip di rumah tahanan Polsek Rasanae Barat, Kamis 17 April 2025 sore hingga 20 hari ke depan atas kasus penganiayaan dan pengrusakan.
Kasus itu terjadi di Café Tuk-Tuk Kota Bima yang menimpa Marhaen alias Rara sekitar pukul 22.00 Wita 23 Maret 2025 melalui laporan polisi Nomor LP/B/204/III/2025. Penyidik menetapkan Badai NTB sebagai tersangka berdasarkan bukti-bukti: handphone warna hitam, nota pembelian handphone, dan satu jas berwarna cokelat.
Barang yang dijadikan barang bukti itu sebenarnya merujuk kepada dugaan tindak perusakan yang dilakukan Badai NTB, tidak termasuk ke dalam dugaan tindak penganiayaan sesuai pasal tentang pengrusakan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia.
Bukti forensik dalam kasus perusakan dapat meliputi: dokumentasi foto dan video: dokumentasi visual tentang kerusakan yang terjadi, termasuk foto dan video dari berbagai sudut. – Analisis sidik jari: Analisis sidik jari yang ditemukan pada benda yang rusak atau di tempat kejadian perkara.
Analisis DNA: Analisis DNA dari sampel biologis yang ditemukan di tempat kejadian perkara, seperti darah, rambut, atau jaringan tubuh lainnya. Bukti fisik: Analisis benda-benda yang digunakan untuk melakukan perusakan, seperti alat pemecah, palu, atau benda lainnya. Rekaman CCTV: Rekaman video dari kamera pengawas yang dapat menunjukkan kejadian perusakan atau identifikasi pelaku.
Testimoni saksi: Testimoni dari saksi mata yang melihat kejadian perusakan atau memiliki informasi tentang pelaku. Dokumentasi kerusakan: Dokumentasi yang rinci tentang kerusakan yang terjadi, termasuk biaya perbaikan atau penggantian. Bukti-bukti yang disebutkan itu sama sekali tidak terpenuhi dalam penetapan Badai NTB sebagai tersangka.
Jika melihat barang bukti yang dijadikan alasan hingga Badai NTB ditersangkakan, jelas sangat minim dari tuntutan bukti forensik yang baku. Namun kekurangan ini akan menjadi pintu masuk bagi pengacara Badai NTB untuk bergulat di sang Pengadilan kalau kasus ini sampai ke meja hijau.
Sementara dugaan terhadap tindak pidana penganiayaan justru sama sekali tidak didukung bukti otentik dan forensik. Sebab, bukti forensik dalam kasus penganiayaan dapat meliputi: – Luka dan cedera: dokumentasi foto dan deskripsi luka, serta analisis jenis luka (misalnya, luka sayatan, luka pukulan, atau luka bakar). Sampel biologis: analisis DNA dari sampel darah, air liur, atau jaringan tubuh lainnya untuk mengidentifikasi pelaku atau korban.
Bukti fisik: Analisis benda-benda yang digunakan sebagai senjata atau alat untuk melakukan penganiayaan, seperti tongkat, pisau, atau benda tumpul lainnya. Rekaman CCTV: Rekaman video dari kamera pengawas yang dapat menunjukkan kejadian penganiayaan atau identifikasi pelaku.
Testimoni medis: Laporan medis dan testimoni dari dokter atau tenaga medis yang menangani korban dapat menjadi bukti penting. Dokumentasi forensik: Dokumentasi yang rinci tentang luka, cedera, dan kondisi korban, termasuk foto, video, dan catatan medis. Analisis forensik lainnya: Analisis lainnya seperti toksikologi (untuk menentukan adanya zat-zat berbahaya) atau analisis jejak (untuk mengidentifikasi jejak kaki, ban mobil, atau alat).
Melihat realitas produk penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan penyidik, kasus Badai NTB ini dapat dikategorikan sebagai tindak kriminalisasi terhadap Badai NTB. Kalau dengan bukti-bukti yang ada, itu hanya tindak pidana ringan (tipiring) dengan nilai kerugian yang relatif kecil.
Melihat kasusnya, sejatinya aparat penegak hukum dapat menempuh “restorative justice” (keadilan restoratif), yakni pendekatan dan perbaikan hubungan pelaku, korban, dan masyarakat serta memulihkan kerugian yang disebabkan oleh tindak pidana.
Keadilan restoratif sudah seringkali ditembuh walaupun kasus itu sudah sampai di meja hijau. Malah pada saat penyidikan, keadilan restoratif dijadikan pilihan.
Sekarang muncul pertanyaan, mengapa penyidik tidak melakukan ‘keadilan restoratif. Dalam teori analisis wacana kritis, Teun van Dijk, salah seorang ahli linguistik dan komunikasi asal Belanda yang terkenal dengan teori “Critical Discourse Analysis” (CDA), membongkar bagaimana bahasa digunakan dalam konteks sosial dan politik untuk membangun kekuasaan.
Salah satu teorinya yang berkenaan dengan kasus ini adalah relasional, yakni ‘memindai’ hubungan-hubungan antar-objek yang terlibat di dalam suatu wacana (dalam hal ini kasus yang dituduhkan “penganiayaan dan perusakan”).
Dari sisi relasional, ada tiga unsur yang terlibat. Pertama, Badan NTB. Kedua, korban. Ketiga, penyidik (aparat penegak hukum –APH). Kita mencoba menginterpretasi posisi masing-masing unsur dan menarik hubungan antara ketiganya. Mari kita ‘bedah” satu per satu.
Badai NTB, yang dikenal dengan nama Uswatun Hasanah, adalah perempuan “warani” (bahasa Bugis, berani) yang mencoba tampil sebagai pemberantas tindak penyalahgunaan narkoba di NTB, khususnya di Kabupaten/Kota Bima dan Dompu. Gebrakannya tidak pandang bulu.
“Tembok” pun dilabraknya dengan dukungan masyarakat Bima, khususnya kaum perempuan, sehingga menimbulkan banyak kekhawatiran dari pendukungnya. Gebrakan ini jelas membuat banyak pihak yang tidak nyaman, termasuk APH dan para pihak yang sudah teridentifikasi dalam transaksi barang haram tersebut.
Kedua, korban. Munculnya korban yang kemudian melaporkan Badai NTB merupakan ‘durian runtuh’ bagi APH. Ada pintu masuk untuk menjerat Badai NTB dengan pasal-pasal KUHP, seperti yang saya jelas di awal tulisan ini. Kasus ini termasuk tindak pidana ringan yang sangat boleh jadi dan cukup beralasan bagi APH untuk menempuh keadilan restoratif. Tetapi itu tidak dilakukan. Mengapa?
Ketiga, APH menjadikan kasus yang menimpa korban untuk menahan Badai NTB, karena dalam berbagai cuitannya di media sosial yang sangat berpotensi melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), tidak digunakan oleh APH menjeratnya.
Di dalam rangkaian cuitannya yang berseri dalam “kloter-kloter” banyak nama APH yang diduga ikut bermain di balik bisnis haram ini. Sebab, bukan rahasia umum lagi kalau ada oknum APH juga ikut bermain dalam kasus seperti ini.
Di Indonesia, kita masih ingat dengan seorang oknum jenderal polisi bintang dua yang melaksanakan bisnis haram ini sampai menumpang kapal pesiar ke luar negeri untuk mengurus bisnisnya.
Dalam berbagai referensi global, terungkap, badan intelijen sekelas “Central Intelligence Agency” (CIA)-Badan Penyelidik Pusat AS – pun melaksanakan bisnis haram seperti ini demi pundi-pundi mereka. Hanya saja dilakukan sangat tersamar dan “cantik”. Kita bisa membaca buku karya John Perkins, salah seorang bandit ekonomi global yang sudah “sadar” sehingga mengakui semua perbuatannya dan menulis semua pengalaman jahatnya itu dalam beberapa buku.
Di sinilah sisi relasional teori Teun van Dijk dalam kaitan dengan kasus Badai NTB. Menjerat seseorang dengan memanfaatkan kasus yang sebenarnya ‘kaleng-kaleng’ untuk menghukum Badai NTB. Namun saya berpendapat, mengingat masyarakat yang mendukung Badai NTB demikian banyaknya, langkah penyidik Polresta Bima menahan Uswatun Hasanah perlu dievaluasi ulang dan dipikirkan matang-matang.
Mungkin lebih bijak untuk menghindari dampak buruk, APH memilih “restorative justice”. APH berharap ingin menjerat seseorang, yang memiliki pendukung di belakangnya melimpah ruah. Gerakan Badai NTB merupakan gerakan masyarakat yang lahir dari “grass root” (akar rumput). Bahkan, seperti dikatakan oleh Adinda Hamdan Zoelva ketika membukaan “Mbolo Nae” di Masjid Raya Kota Bima, 3 April 2025, langkah yang dilakukan Badai NTB terlebih dahulu dikomunikasikan dengan Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2013-2015 itu.
Hamdan Zoelva mengakui bisa berkomunikasi dengan siapa pun di tingkat pemerintahan pusat terkait dengan perbaikan negara.
Masyarakat pendukung Badai NTB jelas tidak akan tinggal diam. Jika mereka bergerak, ini pekerjaan yang tidak mudah bagi pihak keamanan meredamnya. Mereka bagaikan ‘gunung es” yang terpendam di dasar samudra. Selama ini mereka mungkin hanya mencari ruang dan waktu untuk melampiaskan kejengkelannya atas kerusakan mental dan moral segelintir oknum generasi muda di Bima-Dompu dan NTB pada umumnya.
Bagi Badai NTB, sebagaimana diakuinya, kamar tahanan adalah ruang merdeka. Tempat dia leluasa dapat menulis tentang apa yang diperjuangkannya. Teruslah berjuang, kami ada di belakangmu. Salam sehat selalu. (*).
Penulis: Tokoh Pers, Penulis, dan Akademisi, tinggal di Makassar.