IGP Aryadi: UU Cipta Kerja Jadi Instrumen Kebijakan Esensial Meski Kontroversial

Kadisnakertrans NTB, IGP Aryadi.

Dengan hadirnya investasi yang masuk ke NTB tersebut, perlindungan bagi tenaga kerja tentu menjadi perhatian utama pemerintah daerah. Mantan Kadiskominfotik NTB tersebut itu mengungkapkan bahwa terkait perlindungan pekerja, maka ada tiga yang menjadi sasaran utamanya.

“Pertama adalah angkatan kerja yang belum terserap bekerja, di mana proses perlindungannya ini yaitu kita harus memastikan dengan adanya investasi ini tenaga kerja yang ada di sekitarnya bisa terserap. Yang kedua adalah tenaga kerja/buruh yang sudah bekerja, yaitu bagaimana tentang pemenuhan hak-haknya terutama saat mengalami masalah atau kecelakaan dan perselisihan lainnya. Ketiga adalah pekerja yang terkena PHK,” paparnya.

Aryadi menjelaskan angkatan kerja di NTB banyak terserap disektor informal dimana sektor formal hanya mencakup sekitar 500-600 perusahaan menengah hingga besar dan sisanya sebagai pelaku UMKM.

“Pekerja formal di NTB yang jumlahnya sekitar 700-800 ribu jiwa, dan sebagian besarnya telah mendapatkan perlindungan sosial ketenagakerjaan, kesehatan, dan hak-hak lainnya yang diatur oleh undang-undang,” ungkapnya.

Namun, pekerja informal atau bukan penerima upah, yang jumlahnya mencapai 1,6 juta jiwa di NTB, masih minim perlindungan. Kelompok ini mencakup pedagang asongan, ojek, marbot, petani, nelayan, dan sebagainya.

“Jika tidak ada perlindungan bagi pekerja informal ini, jumlah penduduk yang mengalami kemiskinan ekstrem akan terus meningkat,” ucap Aryadi.

Untuk mengatasi masalah ini, Disnakertrans NTB bersama DPRD sedang merancang peraturan daerah yang bertujuan memberikan perlindungan bagi pekerja informal. Salah satu langkah yang diusulkan adalah alokasi dana dari Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan untuk melindungi pekerja informal.

Salah satu bentuk perlindungan lainnya yang dilakukan Pemda adalah terkait penerapan struktur skala upah (SUSU). Ia mengakui bahwa pemerintah saat ini sedang giat mendorong penerapan struktur skala upah di perusahaan agar tercipta keadilan dalam pengupahan.

Selama ini, perhatian utama sering kali terfokus pada Upah Minimum Provinsi (UMP) atau Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), padahal UMP dan UMK hanya berlaku bagi pekerja yang baru direkrut. Padahal pekerja yang sudah bekerja lebih dari satu tahun atau memiliki keterampilan seharusnya mendapatkan upah yang ditentukan berdasarkan struktur skala upah.

“Ini yang kita lewatkan selama ini. Jika perusahaan tidak merekrut pekerja baru, mereka tidak akan memanfaatkan aturan UMP/UMK, yang pada akhirnya merugikan pekerja yang sudah lama bekerja dan memiliki pengalaman,” tuturnya.

Oleh karena itu, pemerintah mendorong perusahaan untuk menyusun struktur skala upah sehingga ada keadilan dalam pengupahan bagi semua pekerja, baik yang baru maupun yang berpengalaman. Terlebih dalam struktur skala upah, tunjangan di luar gaji pokok juga diatur, yang bisa memotivasi tenaga kerja dan meningkatkan etos kerja.

Sementara itu untuk perlindungan tenaga kerja yang berada di luar negeri (PMI), Mantan Irbansus pada Inspektorat NTB menjelaskan, Provinsi NTB merupakan pengirim PMI terbanyak ke-4 di seluruh Indonesia. Jumlah PMI NTB di luar negeri sebanyak 589.023 orang yang tersebar di 108 negara penempatan dengan 19 negara favorit. Sebanyak 16% dari angkatan kerja adalah PMI.

“Sebagai lumbung PMI, tentu saja banyak permasalahan yang terjadi. Oleh karena itu, selama tiga tahun terakhir Disnakertrans NTB terus melakukan pencegahan dari hulu untuk mengurangi kasus PMI non prosedural,” ujar Aryadi.

Sejak dicanangkan program Zero Unprocedural PMI tahun 2021, Disnakertrans NTB semakin giat melakukan edukasi, diseminasi, dan sosialisasi dengan melibatkan Kepala Desa, Satgas, babimkabtinas, dan seluruh instansi terkait tentang permasalahan CPMI ini.

“Pencegahan PMI non prosedural harus dimulai dari hulu, yaitu Kepala Desa dihimbau untuk selektif mengeluarkan rekomendasi. Kita harus tegas dan komitmen dalam menangani masalah PMI, karena melindungi PMI yang berangkat sama dengan melindungi keluarga mereka di sini,” tegasnya.

Selama 3 tahun terakhir kasus PMI non prosedural mengalami penurunan. Disnakertrans NTB dan Polda NTB sudah menangani 67 tersangka yang diduga TPPO, diantaranya P3MI, LPKS dan perorangan. Paling banyak tersangka penempatan non prosedural dan TPPO adalah perorangan.

“Tindakan tegas kami dan hukuman yang dijatuhkan saat ini sudah lumayan menimbulkan efek Jera. Saat ini banyak masyarakat juga sudah mulai aktif bertanya ke Disnakertrans jika ingin ke luar negeri,” ujarnya.

Bentuk perlindungan lain yang dilakukan pemerintah yaitu membangun MOU dengan pemerintah negara lain. Contohnya dengan pemerintah di Timur Tengah, pemerintah membuat MoU untuk menggunakan sistem yang mirip dengan di Malaysia yaitu SPSK (Sistem Penempatan Satu Kanal) sehingga lebih memberikan perlindungan bagi PMI mulai dari proses perekrutannya.

Meski begitu Aryadi mengakui Disnakertrans NTB masih memiliki banyak PR terkait perlindungan PMI khususnya di sektor informal.

“Di NTB, peluang kerja sektor formal sangat terbatas sehingga kita harus mampu menyiapkan angkatan kerja kita agar mampu mengambil peluang sektor formal di daerah lain dan di luar negeri sehingga secara bertahap kita mengurangi pengiriman tenaga kerja di sektor non formal ke luar negeri,” tutupnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You cannot copy content of this page