IGP Aryadi: UU Cipta Kerja Jadi Instrumen Kebijakan Esensial Meski Kontroversial

Kadisnakertrans NTB, IGP Aryadi.

Pada sesi tanya jawab, beberapa peserta menyampaikan pertanyaan kritis terkait UU Cipta Kerja. Ibu Misfawati menyoroti dampak UU ini terhadap kesejahteraan pekerja, sedangkan Irwan Hadi, dosen Fakultas Syariah UIN Mataram, mempertanyakan aspek sosiologis dan keadilan pengupahan dalam UU tersebut. Penanya ketiga mengajukan pertanyaan tentang peran hukum dan partisipasi akademisi serta aktivis dalam menyelesaikan masalah ketenagakerjaan.

Menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut, Aryadi menjelaskan bahwa dalam melihat fungsi hukum, Indonesia adalah negara hukum di mana setiap undang-undang yang telah diundangkan dianggap telah diketahui dan harus dipatuhi oleh masyarakat.

“Walaupun tidak sempurna, kami sebagai pemerintah wajib mensosialisasikan dan menerangkannya. Bagi kami harus melaksanakan, kalau ada perubahan, ya diubah, dan ini merupakan bentuk menampung aspirasi,” jelas Aryadi.

Ia juga menyampaikan bahwa pengaruh UU Cipta Kerja di NTB memang belum dapat dievaluasi secara menyeluruh. Terlebih peraturan pelaksanaan dari UU ini belum semuanya terbit. Justru proses penyusunan peraturan pelaksanaan itulah yang perlu di kawal bersama, ujarnya.

“Belum bisa kita tarik kesimpulan. Namun fakta di NTB menunjukkan bahwa industrialisasi meningkat dan ini menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat kita. Berdasarkan data BPS, jumlah angkatan kerja pada Februari 2024 sebanyak 3,03 juta orang, mengalami peningkatan sebanyak 163,34 ribu orang dibanding Februari 2023. Sejalan dengan kenaikan jumlah angkatan kerja, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) juga naik sebesar 2,80 persen poin. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) 2024 sebesar 3,30 persen, turun 0,42 persen poin dibandingkan dengan Februari 2023. Itu artinya ada peningkatan penyerapan tenaga kerja,” paparnya.

Terakhir Aryadi mengajak semua pihak, termasuk pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, akademisi, dan masyarakat, untuk bekerja sama dalam menciptakan lingkungan kerja yang lebih baik dan adil. Selain itu, perlindungan bagi pekerja migran Indonesia (PMI) juga menjadi fokus utama, mengingat NTB merupakan provinsi keempat terbesar pengirim PMI ke luar negeri.

Aryadi mengajak semua pihak untuk memastikan bahwa investasi yang masuk benar-benar memberikan manfaat bagi masyarakat lokal dan perlindungan bagi semua pekerja, baik formal maupun informal. Dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, diharapkan NTB dapat menjadi contoh daerah yang berhasil mengintegrasikan perlindungan tenaga kerja dengan pertumbuhan ekonomi melalui investasi. (GA. Im*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You cannot copy content of this page