Gardaasakota.com.-Bimas Islam-Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, Kementerian Agama melatih 50 penyuluh agama dan penghulu untuk menjadi aktor resolusi konflik.
Pelatihan tersebut dilakukan melalui program Sekolah Penyuluh dan Penghulu Aktor Resolusi Konflik (SPARK) yang digelar di Manado, Senin hingga Jumat (9-13/9/2024).
Dalam kegiatan tersebut, Narasumber dari Lembaga Bina Damai Resolusi Agama (LEMBIDARA) asal Bima NTB, H. Eka Iskandar Zulkarnain, S.Ag, M.Si, menjelaskan bagaimana membangun kolaborasi dalam penanganan konflik kekerasan berdimensi agama di daerahnya dengan peserta kegiatan.
Menurutnya, dalam menangani konflik di suatu daerah, lebih utama membangun pendekatan persuasif sambil merangkul semua stakeholder termasuk pemerintah, lintas tokoh masyarakat dan lingas pemuda dan sebagainya.
Bagi Eka, membangun pendekatan persuasif lebih ampun dalam mencairkan suasana konflik dalam masyarakat dari pada langsung penegakan hukum.
“Pendekatan persuasif jauh lebih ampun dari pendekatan hukum pada mereka yang terpapar konflik kekerasan. Untuk itu, setelah pulang SPAK, _ayok_ kita rangkul seluruh pemerih daerah masyarakat masing-masing di daerah untuk meredam gerakan yang memunculkan potensi konfkik,” jelasnya Rabu, (11/9/2024).
Eka menekankan pentingnya membangun komunikasi dan kolaborasi dengan berbagai pihak tampak melihat perbedaan aktor-aktor yang baik yang terlibat maupun aktor yang berpotensi mendamaikan.
Baginya, perbedaan agama, RAS, suku, bahasa dan pilihan politik dengan berbagai aktor tidak cukup menjadi alasan untuk tidak membangun perdamaian.
“Jangan jadikan perbedaan politik, agama, dan RAS untuk tidak perdamaian di tengah masyarakat,” ungkapnya.
Eka menambahkan, setelah membangun pendekatan persuasif, penting juga membangun konsolidasi dengan kelompok yang netral, independen, dan moderat sebagai penyeimbangan pihak-pihak kelompok yang berkonflik. Kelompok ini perlu diajak untuk membangun narasi perdamaian dalam masyarakat.
“Kekuatan penyeimbangan ini penting dibangun dengan pihak yang netral. Kelompok perlu didorong untuk membangun narasi damai masyarakat,”
Ia menjelaskan pihak netral dan moderat bisa di bangun dari Ormas seperti organisasi, NU, Muhamadiyah, PERSIS dan sebagainya.
“Bangun poros kekuatan dari tokoh lintas agama dan lintas pemuda. Dengan wasilah dan koordinasi dari semua pihak termasuk dalam pemerintah daerah dan aparat kepolisian penanganan konflik bisa lebih cepat tertangani dengan baik.
Baginya, dalam meredam pemicu munculnya konflik sosial berdimensi agama, selain kekuatan Poros Ormas Islam moderat, juga kekuatan tokoh lintas agama dan pemuda lintas agama ( PLA) maka dibutuhkan poros ketiga yakni poros kekuatan aparat penegak hukum, dalam hal ini peran TNI Polri sangat diharapkan.
Penegakkan supermasi hukum harus ditegakkan setelah pendekatan pendekatan persuasif terlaksana ungkapnya.
Terakhir Eka mengingat, kebanyakan penyebab konflik disebabkan oleh faktor kemiskinan dan ketidakadilan sosial, ekonomi, dan politik. Dengan mengetahui penyebab, penanganan konflik bisa dilakukan lebih cepat dan fokus,” pungkasnya. (GA. 212*)