Pertumbuhan Ekonomi NTB 5,57 Persen, Iwan: -1,47% Adalah Statistical Illusion

Assosiate Professor, Dr Iwan Harsono, SE.,M.Ec., melalui pernyataan tertulisnya, Selasa 27 Mei 2025.

Gardaasakota.com.- Pertumbuhan ekonomi NTB dibawah kepemimpinan Gubernur dan Wakil Gubernur NTB, H Lalu Muhammad Iqbal dan Hj Indah Dhamayanti Putri berada diangka 5,57 % diawal triwulan kepemimpinannya.

“Pemerintah NTB dibawah Kepemimpinan DR Lalu Muhamad Iqbal dan wakil Gubernur Hj Indah Damayanti Putri, SE mengawali kepemimpinannya dengan mencapai Pertumbuhan Ekonomi NTB 5,57 % diawal triwulan kepemimpinannya,” kata Assosiate Professor, Dr Iwan Harsono, SE.,M.Ec., melalui pernyataan tertulisnya, Selasa 27 Mei 2025.

Pernyataan ini sekaligus menanggapi Pernyataan Menteri dalam negeri Prof Muhammad Tito Karnavian, PhD dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi 2025, yang menyoroti anjloknya ekonomi NTB yang mencatat kontraksi sebesar minus 1,47 persen dan mempertanyakan kinerja Pemerintah Povinsi di bawah Gubernur Lalu Muhamad Iqbal.

Ia menegaskan Pertumbuhan Ekonomi NTB Triwulan I-2024 sebesar -1,47 % adalah Statistical Illusion. Yang benar adalah Pertumbuhan ekonomi/Tingkat kesejahteraan Masyarakat NTB pada Triwulan I 2025 sebesar 5,57 % meningkat dibandingkan dengan Triwulan I – 2023 sebesar 3,01% dan Triwulan I-2024 sebesar 4,65%.

Iwan menjelaskan, Indikator ekonomi memiliki banyak manfaat dalam menilai kemajuan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat secara makro. Salah satu indikator Ekonomi adalah Pertumbuhan Ekonomi. Tetapi sebagai ekonom harus teliti dan seksama menginterpretasikan angka-angka pertumbuhan yang di release oleh BPS (Biro Pusat Statistik) merupakan lembaga yang secara sah dan resmi menjadi sumber utama data statistik di Indonesia.

Jika ingin melihat indikator kesejahteraan 5,6 juta penduduk NTB secara Makro maka yang relevan digunakan adalah angka Pertumbuhan Ekonomi Triwulan I-2025 sebesar 5,57 % (Angka Pertumbuhan diluar Lapangan Usaha/Sektor Pertambangan.

“Bukan Angka Pertumbuhan Total -1,47 seperti yang dijelaskan oleh Menteri Dalam Negeri diatas,” kritknya.

Alasan Kenapa Non-Tambang Lebih Representatif untuk Ukur Kesejahteraan, menurutnya pada aspek distribusi manfaat ekonomi, sektor pertambangan (khususnya PT AMMAN Mineral di Sumbawa Barat) memang memberikan kontribusi besar ke PDRB NTB. Tapi kontribusinya terhadap pendapatan langsung masyarakat sangat terbatas karena: Padat modal, bukan padat karya (sedikit menyerap tenaga kerja lokal), Nilai tambahnya dinikmati pusat dan luar negeri (ekspor mentah, royalti pusat, profit ke pemilik saham), Efek trickle-down kecil: sektor ini tidak banyak menggerakkan sektor lain secara signifikan (misalnya, UMKM, petani, nelayan).

Dari aspek Fluktuasi dan Volatilitas, harga global tembaga dan emas sangat tidak stabil, Pemerintah Indonesia juga menerapkan larangan ekspor konsentrat mineral mentah (smelterisasi wajib), yang menahan volume ekspor dari NTB. Ini membuat PDRB NTB tampak “naik-turun drastis”, padahal sektor riil (konsumsi, perdagangan, pertanian, jasa) tumbuh stabil.

Dampak Statistik, Pertumbuhan Semu (Statistical Illusion). Misalnya, tahun 2022 dan 2023, pertumbuhan ekonomi NTB bisa mencapai di atas 6–7% karena lonjakan ekspor tembaga. Tapi saat itu masyarakat kecil tidak merasakan efeknya, bahkan inflasi naik karena bahan pokok mahal, sektor pertanian stagnan, dan pengangguran tinggi. Jika memakai angka ini sebagai ukuran kesejahteraan, maka akan terjadi bias besar dalam evaluasi kebijakan.

Ukuran yang Lebih Akurat untuk Kesejahteraan menurutnya menggunakan Pertumbuhan Ekonomi Tanpa Sektor Tambang jauh lebih mencerminkan kondisi ekonomi masyarakat lokal, karena menggambarkan dinamika sektor pertanian, perdagangan, industri kecil, transportasi, jasa, dan konsumsi rumah tangga.

Semua sektor ini adalah penyerap tenaga kerja terbesar di NTB. Pengeluaran per Kapita (PPP) untuk mengukur daya beli nyata, Tingkat Kemiskinan untuk mengukur proporsi masyarakat dengan pendapatan di bawah kebutuhan dasar, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) untuk mengukur Indikasi ketersediaan lapangan kerja, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) untuk mengukur peningkatan derajat pendidikan, kesehatan, dan penghasilan di suatu daerah, Gini Ratio untuk mengukur ketimpangan ekonomi. Kesimpulannya, kata Iwan, menggunakan pertumbuhan ekonomi NTB tanpa sektor pertambangan dan penggalian adalah pendekatan yang lebih tepat untuk mengukur kesejahteraan masyarakat lokal.

Analisis Singkat Fluktuasi Sektor Pertambangan

Kontribusi sektor pertambangan terhadap pertumbuhan ekonomi NTB sangat fluktuatif. Pada tahun 2025, pertumbuhan ekonomi NTB mengalami kontraksi sebesar -1,47% yang disebabkan oleh penurunan tajam pada sektor pertambangan dan penggalian sebesar 30,14% . Hal ini disebabkan : Harga global tembaga dan emas sangat tidak stabil, Pemerintah Indonesia juga menerapkan larangan ekspor konsentrat mineral mentah (smelterisasi wajib), yang menahan volume ekspor dari NTB berakibat penurunan produksi turunannya. Ini membuat PDRB NTB tampak “naik-turun drastis”, padahal sektor riil (konsumsi, perdagangan, pertanian, jasa) tumbuh stabil.

Pertumbuhan Ekonomi Non-Tambang:

Pertumbuhan ekonomi tanpa sektor pertambangan lebih stabil dan mencerminkan kondisi ekonomi riil masyarakat. Pada tahun 2023, pertumbuhan ekonomi non-tambang mencapai 4,65%, lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan keseluruhan. Pada tahun 2024 pertumbuhan ekonomi non-tambang mencapai 3,01 %, dan pada Triwulan I-2025 Pertumbuhan ekonomi Non Tambang mencapai +5,57 % lebih tinggi dari dua tahun sebelumnya. (GA. Im*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You cannot copy content of this page