Kadis PPPA Kota Bima, Syahruddin, SH, MM (peci hitam) saat menghadiri kegiatan sosialisasi inovasi gerakan cepat pencegahan perkawinan usia anak (Gercep Uma Ruka). |
Kota Bima, Garda Asakota.-
Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Kota Bima melaksanakan kegiatan Sosialisasi Inovasi Gerakan Cepat Pencegahan Perkawinan Usia Anak (Gercep Uma Ruka) di Aula SKB Kota Bima, Senin (27/11/2023). Kegiatan ini dibuka langsung oleh Kadis DPP-PA Kota Bima, Syahruddin, SH, MM.
Sesuai dengan amanat undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 7 Ayat 2 tentang Perkawinan, adalah permohonan yang diajukan oleh orang tua calon pengantin kepada Badilag disebabkan masih anak-anak, atau disebut juga sebagai perkawinan anak.
Produk hukum tersebut kemudian diamandemen menjadi UU nomor 16 tahun 2019 termasuk merevisi syarat usia minimal calon pengantin.
“Jika semula pada UU 1/1974, batas minimal usia perempuan melaksanakan perkawinan adalah 16 tahun, maka tidak demikian halnya pada peraturan perundangan baru,” ungkap Kadis DPPPA Kota Bima di acara yang juga dihadiri Sekretaris DPP-PA Kota Bima, Drs. Muhlis dan Kabid PP-PKA, Muhammad, SE.
Disebutkan bahwa saat ini syarat usia minimal baik bagi perempuan ataupun laki-laki untuk dapat melaksanakan perkawinan adalah 19 tahun.
Amandemen UU 1/1974 tersebut merupakan sikap pemerintah untuk mencegah makin meningkatnya tren perkawinan anak. Tindakan itu diikuti pula dengan diterbitkannya Peraturan MA nomor 5 tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin.
Oleh karena itu, kata dia, perkawinan anak telah menjadi isu mendesak untuk diselesaikan. Pencegahan perkawinan anak adalah satu-satunya program percepatan yang tidak boleh ditunda lagi.
Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan selalu menekankan upaya untuk menekan tingginya angka perkawinan anak. Bahkan dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2020-2024, Presiden menyebutkan, perkawinan anak harus ditekan sampai angka 8,74 persen pada 2024.
Di satu sisi, anak merupakan generasi muda yang memiliki peran penting dalam menjaga dan meneruskan cita-cita bangsa. Sebab itu, upaya perlindungan dan pemenuhan hak bagi setiap anak merupakan kewajiban bagi negara.
Perkawinan anak berdampak masif di antaranya meningkatnya risiko putus sekolah, pendapatan rendah, kesehatan fisik akibat anak perempuan belum siap hamil dan melahirkan. Selain itu terdapat ketidaksiapan mental dalam membangun rumah tangga sehingga akan memicu tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pola asuh tidak benar, hingga berujung pada perceraian.
Itu sebabnya perkawinan anak merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM). “Praktik perkawinan anak akan berdampak buruk terhadap tumbuh kembang dan kehidupannya di masa yang akan datang. Sehingga perkawinan anak juga merupakan pelanggaran HAM karena hak anak adalah bagian dari HAM.
Penyebab perkawinan anak ada beberapa faktor diantaranya faktor Ekonomi dan Kemiskinan, Nilai budaya (anak perempuan sebagai asset keluarga), Regulasi (kebijakan-kebijakan yang masih belum berpihak pada anak perempuan), Globalisasi (perilaku remaja yang terpengaruh budaya negative), Ketidaksetaraan gender (kurangnya partisipasi, akses dan pengambilan keputusan bagi anak perempuan).
Ada beberapa dampak serius hasi perkawinan anak terutama bagi perempuan, diantaranya adalah kesehatan, perkawinan anak dapat mengganggu kesehatan reproduksi termasuk dapat menyebabkan munculnya kanker mulut rahim atau serviks. Ini akibat melakukan hubungan seksual di perkawinan usia anak karena dalam ilmu kesehatan reproduksi, indung telur belum matang untuk bereproduksi.
Pada perkawinan usia dini sangat berpotensi melahirkan anak yang mengalami kekerdilan (stunting), dampak jangka panjang kesehatan bayi yang dilahirkan dalam kondisi stunting dari perkawinan anak dapat menyebabkan pencapaian akademis rendah serta berisiko mengalami KDRT dan penelantaran.
Perempuan hamil sebelum 19 tahun atau dalam usia pertumbuhan, maka fungsi tulang akan terhenti tumbuhnya.
Kecenderungan mengalami osteoporosis atau keropos tulang pun dapat terjadi. Ini akibat perempuan yang menikah di usia anak kehilangan kesempatan melewati titik 4 puncak massa tulang (peak bone mass) saat berusia 32 tahun.
Begitu juga saat memasuki usia menopause atau berhenti menstruasi sekitar usia 50 tahun, maka terancam mengalami tubuh bungkuk dan rentan mengalami fraktur atau tulang patah.
Perkawinan anak bukan saja berdampak negatif pada kesehatan fisik ibu berusia remaja. Tetapi juga kesehatan mental seperti baby blues, depresi, ansietas, sulit menyatu (bonding) dengan bayinya. Bahkan juga berpikir untuk bunuh diri atau menyakiti bayinya.
Komplikasi kehamilan dan melahirkan adalah penyebab kematian terbesar kedua untuk anak perempuan usia 15-19 tahun dan bayi yang dilahirkan dari ibu yang berusia di bawah 21 tahun berpeluang meninggal 1,5 kali lebih besar dari ibu yang berusia di 21-30 tahun.
Dampak perkawinan anak Pada masalah pendidikan, sebanyak 44% anak perempuan yang menikah kurang dari 18 tahun hanya tamat jenjang pendidikan SMP/sederajat.
Pada masalah ekonomi, meningkatnya pekerja usia anak akan berpotensi memunculkan kemiskinan antargenerasi. Masalah lainnya, mengalami KDRT, meningkatnya resiko perceraian, dan menderita depresi. (GA. 212*)