‘Mbolo Na’e’ FUI Dana Mbojo di Tengah Prahara Keprihatinan

Penulis : M. Dahlan Abubakar

Di tengah prahara keprihatinan yang menimpa generasi muda Mbojo lantaran badai penyalagunaan narkoba, pada taggal 3 April 2025, Forum Umat Islam (FUI) Bima Raya menyelenggatakan “Mbolo Na’e Ulama ro Ama Rasa Dana Mbojo sa-Indonesia” (Musyawarah Ulamadan Tokoh Umat Islam Bima se-Indonesia) dengan tema “Kembali Mbojo Mantoi” di Masjid Agung Al Muwahhidin Kota Bima.

“Mbolo” ini mungkin merupakan bentuk realisasi keprihatinan “Dou Mbojo” di berbagai daerah di seluruh Indonesia tentang penyalahgunaan narkoba yang melanda generasi muda Mbojo akhir-akhir ini.

Beberapa bulan lalu, para diaspora Dou Mbojo yang bermukim di Makassar mengeluarkan deklarasi “Bima Darurat Narkoba” yang kemudian menyebar ke bebagai daerah di tanah air.

Sebulan setelah deklarasi di Makassar, diprakarsai Prof.Dr. Adam M.Saleh di Palu, adik Sofwan, S.H., M.Hum dari Mataram yang sedang berkunjung ke Palu, saya, Bung Syahruna, serta Pak Abdillah M.Saleh di Kecamatan Parado mendiskusikan keprihatinan prahara penyalahgunaan narkoba ini.

Figur-figur ini kemudian sepakat membentuk Grup Whatsapp Bernama “Bima Darurat Narkoba”.

Musyawarah tersebut membahas sejumlah materi, yakni ;(1) Sakralnya Nilai-nilai Budaya Mbojo; (2) Faktor-Faktor yang menggerus nilai Budaya Mbojo; (3) Solusi dalam mengembalikan Budaya Mbojo; (4) Konflik Sosial Akar Masalah, dan Solusinya, dan ; (5) Kemiskinan dan Solusi mengatasinya. Materi-materi tersebut secara berturut-turut akan dibawakan oleh :Dr.Muhammad Irwan, M.P,;Prof.Dr. Bahtiar; Dr.Hamdan Zoelva, S.H.,M.H,; Dr.Sidra Tahta Muhtar, dan Prof.Dr. Muhammad Adam.

Dalam undangan yang saya peroleh, sejumlah tokoh akan berbagi yakni untuk materi (1): TGH Abdurrahman Haris, M.A., Prof.Dr.Ahmad Thib Raya , M.A., Drs.H.Harun Al Rasyid, Prof.Dr. Muhtar Mahmud; (2) Prof. Dr. Abdul Rahman AlBasyir, Lc., Dr.Mulyadin, Dr.Hermawan Saputra, Dr. (Kand.)Dra. Dewi Ratna Muchlisa, M.Hum; (3), dr.H.Irfan, Dr.H.Arsyad Gani, Dr.Suparman Manjan, Lc. Dan Dr.Mutawali; (4) Brigjen Pol.(Purn) Abdul Gani Abubakar, Kol. (Purn) H.Muhidin, H.Burhanuddin M.Said, dan Dr.Salahuddin Gafar, S.H.,M.H., dan (5) H.Jakariah Umar, M.M., Prof. Dr.Muslimin H.Kara, M.A., dr.H. Sanusi Sp.Og., Ir. H.Sutarman, M.M., dan Abdul Ra’uf, S.T.,M.M.

Pelaksanaan kegiatan ini sangat tepat karena berlangsung di tengah Dana Mbojo sedang hangat-hangatnya perjuangan seorang perempuan bernama Uswatun Hasanah yang karib disapa “Badai NTB” menggempur penyalahgunaan narkoba yang sudah bukan rahasia umum lagi di Dana Mbojo khususnya, dan Nusa Tenggara Barat (NTB) pada umumnya.

Meskipun tidak terdapat satu topik khusus dalam agenda musyawarah, namun masalah ini tetap sangat penting menjadi perhatian kita semua. ‘Mbolo’ ini akan dapat menjadi badai awal untuk memberantas penyalagunaan narkoba sebagai contoh soal sebagai pondasi menciptakan generasi muda “Dana Mbojo” yang tangguh dan bermartabat di hilir.

Sebelum memberi catatan penting tentang satu dua materi yang bakal dibahas dalam “Mbolo” tersebut, saya menyarankan produk musyawarah ini dapat menjadi bagian program penting bagi kedua pemerintah daerah, Kota dan Kabupaten Bima.

Sudah saatnya kita tidak perlu mendikotomikan wilayah administratif bagi membahas dan memerangi masalah penyalagunaan barang haram ini. Kedua daerah menghadapi masalah yang sama.

Dana Mbojo sebenarnya memiliki nilai yang sangat dijunjung tinggi, yakni “nggusu waru”. Frasa “Nggahi Mbojo” ini mungkin sangat asing di telinga generasi muda Mbojo, tetapi dapat menjadi ‘pedoman dasar’ bagi “Dou Mbojo” dalam berperilaku dan berinteraksi dalam bermasyarakat. “Nggusu” bermakna “persegi” dan “waru” berarti “delapan”.

Akumulasi frasa “Nggahi Mbojo” ini sebenarnya sangat simbolik filosofis. “Persegi delapan” melambangkan delapan sifat yang sejatinya dimiliki ”Dou Mbojo”. Kedelapan sifat tersebut meliputi; takwa, ‘londo dou’ (keturunan), ‘loara bade’ (kepandaian), ‘ruku ro wawi’ (tingkah laku), ‘mori ro disa’ (keberanian), ‘to’a’ (taat). (Hasan Ali & Anwar Hasnun, 2014).

Dana dan Dou Mbojo memiliki nilai-nilai budaya yang dijunjung tinggi yang kini mulai redup oleh pengaruh budaya eksternal yang menyusup melalui piranti canggih teknologi informasi. Pengaruh perkembangan teknologi informasi tersebut benar-benar sudah “mengobrak-abrik” nilai yang pernah hidup di dalam Masyarakat Mbojo.

Nilai sosial, berupa. gotong royong: Masyarakat Mbojo memiliki tradisi gotong royong yang kuat, yaitu bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Kita melihat masyarakat bahu membahu dalam melaksanakan sesuatu, seperti membangun rumah ibadah, sekolah dan sebagainya.

Namun dengan adanya pengaruh budaya asing dan berkembangnya teknologi informasi serta munculnya gaya hidup orang kota yang masuk ke desa-desa, budaya gotong royong ini mulai tergerus. Pekerjaan-pekerjaan membantu sesama warga dalam melaksanakan kegiatan pertanian yang pada masa lalu dilakukan secara bergotong royong, kini sudah bersifat transaksional. Harus berbayar.

Contoh saja, pada saat pertanaman jagung, seorang harus diupah antara Rp 100.000-Rp 150.000. Tidak ada lagi nilai social, semua harus ‘berbayar”. Mungkin ini adalah suatu keniscayaan di Tengah Masyarakat yang terimbas kehidupan transaksional yang juga imbas dari proses politik yang terjadi.

Nilai kedua adalah kerukunan. Masyarakat Mbojo sangat menghargai kerukunan dan keharmonisan dalam kehidupan sehari-hari. Masalah ini pun sudah tergerus oleh berbagai penyebab. Taruran antardesa di ‘dana Mbojo’ bukan lagi suatu yang aneh. Gara-gara tawruran antardesa, sasarannya poros jalan raya diblokade. Batang pohon dan sebagainya ditelantarkan di tengah jalan agar kendaraan terhalang.

Nilai yang lain adalah respek terhadap orang tua: Masyarakat Mbojo sangat menghormati dan menghargai para orang tua dan para leluhur. Kini, segelintir anak-anak muda di “dana Mbojo” sudah tidak menghiraukan orang tuanya lagi. Pengaruh modernisasi kota yang merangsek ke desa-desa di dana Mbojo membuat para pemuda berperilaku orang kota. Di desa-desa dulu, jika ada satu dua orang tua duduk di pos ronda, orang yang melintas wajib mengucapkan “salam”. Kini, anak-anak muda desa yang berkendaraan ‘honda’, boro-boro mengucapkan salam, malah kian menancap kendaraannya menyisakan bunyi raungan gas yang ditancap kencang.

Nilai religi termasuk salah satu nilai yang dijunjung tinggi dalam masyarakat Mbojo. Pada tahun 1960-an, di desa-desa kita masih kerap mendengar orang mengaji di rumah-rumah guru ngaji pada malam hari. Kini, rumah-rumah sudah sepi dengan suara orang mengaji. Bahkan, guru ngaji tidak terdengar namanya lagi. Jika pun ada masih bisa diidentifikasi jumlahnya.

Yang miris, dalam beberapa kali pulang ke Mbojo menjelang Lebaran, saya kerap menyapa sejumlah penumpang kapal Pelni yang sedang merokok dan mencicipi makanan pada siang hari bulan Ramadan.

Ketika saya bertanya kepada mereka, rata-rata menjawab berkuliah di universitas yang menggunakan simbol agama dan universitas dari organisasi massa Islam. Saya berpikir, bagaimana generasi muda terpelajar Mbojo diharapkan dapat mendiseminasikan perilaku dan berkehidupan religius di tengah mereka sendiri yang hanya menggunakan symbol-simbol agama sebagai kedok.

Oleh sebab itu, melihat fenomena ini, saya tiba-tiba ingat hasil diskusi kecil dengan Prof.Dr. Hj Musdah Mulia, M.A. di ruang makannya di Jl.Matraman Jakarta beberapa waktu yang lalu. Beliau mengatakan, simbol-simbol religiusitas tidak menjamin seseorang akan memiliki ketaatan terhadap syariat agamanya.

Ketaatan terhadap ajaran agama sangat ditentukan oleh hati dan nurani. Bukan oleh busana yang membungkus tubuhnya.

Tidak hanya itu, para mahasiswa Mbojo yang kebanyakan berkuliah di perguruan tinggi agama di Makassar, ketika kembali kampungnya, sekali pun tidak pernah saya temukan ikut salat berjamaah di masjid.

Bagaimana seorang mahasiswa yang kuliah di peruruan tinggi agama tidak tampak batang hidungnya di rumah ibadah? Dalam beberapa kesempatan menghadiri kegiatan organisasi daerah, segelintir oknum mahasiswa menjadikan organisasi untuk menggembleng diri untuk mendinamisasi organisasi, bukan untuk kepentingan mengambil peran di dalam masyarakat.

Saya kerap kritik, namun dari waktu ke waktu, tidak ada kegiatan mereka yang sama sekali memperlihatkan perwujudan kepedulian terhadap kehidupan masyarakat di kecamatannya.

Padahal, saya sudah memberikan gambaran yang jelas tentang aktivitas yang dapat dilakukan secara sederhana dan praktis.

Nilai religiusitas mayoritas masyarakat Mbojo beragama Islam dan memiliki tradisi keagamaan yang kuat. Stempel keislaman ‘dou Mbojo’ ini sudah terkenal di mana-mana, termasuk di Makassar, Sulawesi Selatan.

Pada tahun 1970-an jika ada acara kedukaan dan keluarga yang berduka akan melaksanakan tadarus, cukup kontak saja Asrama Bima. Puluhan mahasiswa akan begadang mengaji di rumah duka. Pada banyak masjid, tidak heran kita temukan anak-anak Mbojo yang ikut mengelola rumah ibadah, di samping mengajar anak-anak mengaji. Saya tidak yakin, pemandangan tahun 1970-an itu masih tersisa saat sekarang di Makassar.

Ini juga melambangkan tradisi keagamaan: masyarakat Mbojo yang kuat. Dulu, menjelang hari pertama Ramadan, orang-orang kampung saling mengunjungi dan bermaafan, sehingga tidak dikenal bermaafan pada 1 Syawal. Ketika sekarang berubah orang Mbojo saling berkunjung saat Lebaran, itu lebih karena dari kota-kota lain, seperti Makassar yang ‘menganut’ saling bermaafan pasca-uasa.

‘Dou Mbojo” memiliki bahasa sendiri, yakni “nggahi Mbojo”. “Nggahi Mbojo” dengan beragam irama (‘sentu’) yang hidup dalam Masyarakat. Di balik ‘sentu’ ada pesan dan nuansa paradigmatik dan suprasegmental yang halus dan santun.

Sedangkan bahasa Bima yang selalu digunakan dalam penulisandan literasi itu merupakan terjemahan “nggahi Mbojo” ke dalam Bahasa Indonesia. Jadi pada hakikatnya, bahasa Bima itu tidak ada. Yang ada hanya ‘nggahi Mbojo’. Samahalnya dengan Bahasa daerah Makassar yang dikenal di Sulawesi Selatan.

Meskipun orang-orang pedalaman, terutama di daerah Bugis, selalu menyebutkan ke “Juppandang” (dari kata ‘Ujungpandang’), tetapi tidak ada bahasa “Juppandang”.

Oleh sebab itu, masyarakat Mbojo memiliki bahasa sendiri, yaitu bahasa Mbojo. Bahasa yang digunakan oleh masyarakat dalam konteks domestik, sementara untuk berkomunikasi dalam konteks publik (nasional) orang Mbojo menggunakan Bahasa Indonesia.

Banyak Bahasa Mbojo yang tidak dapat disimbolkan ke dalam Bahasa Indonesia. Misalnya, kata “kalembo ade”. Kata ini mengandung makna kias yang tidak tersimbolkan secara tepat dalam bahasa Indonesia.

Adapun catatan terhadap sejumlah materi lain dalam “mbolo” ini, kita tunggu dan serahkan kepada forum yang akan menguliknya. Selamat ber-“mbolo”. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1446 H, Maaf lahir dan batin. (*).

Penulis: Akademisi, Penulis & Tokoh Pers versi Dewan Pers

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You cannot copy content of this page