Nama ini, hanya sekadar ‘tagline’. “Selasa Menyapa” nama kegiatan yang kebetulan berawal dilaksanakan menjelang hari Selasa. Senin malam, Bupati dan Wakil Bupati Bima Ady Mahyudi-dr. H. Irfan Zubaidy beserta rombongan sudah berada di ibu kota kecamatan yang akan menerima dan melaksanakan kegiatan ini.
Kebetulan yang memperoleh giliran kedua adalah Kecamatan Parado, setelah “Selasa Menyapa” diluncurkan secara resmi di Kecamatan Lambu, 20 Mei 2025, bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional ke-117 (baca: Garda Asakota, 2 Juni 2025).
Dalam kegiatan ini seluruh pejabat mulai dari Bupati, Wakil Bupati hingga para Kepala OPD bersama-sama menginap semalam di satu kecamatan. Pada malam hari ada acara tatap muka dan pada keesokan hari dilaksanakan kegiatan yang sudah dirancang.
Khusus yang di Kecamatan Parado dilaksanakan kegiatan menanam pohon pada tiga sekolah, pelayanan kesehatan dasas gratis seperti penyunatan massal, pemeriksaan kesehatan, dan sebagainya. Ada juga pengurusan KTP, kartu keluarga, dan akta kelahiran.
Pada saat tiba bertepatan dengan magrib, Bupati dan Wakil Bupati beserta rombongan langsung menunaikan salat magrib di Masjid Urwatul Wusta Parado yang sedang dalam penyelesaian pembangunannya.
Tentu saja, kehadiran petinggi kabupaten beserta rombongan besarnya dan menginap di setiap kecamatan yang disambanginya jelas merupakan peristiwa langka.
Bahkan mungkin belum pernah terjadi selama ini. Bupati dan para kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD) jika pun berkunjung ke satu kecamatan, sebelumnya rata-rata tidak menginap. Mereka langsung kembali ke pusat pemerintahan kabupaten.
Melalui “Selasa Menyapa”, pemerintah Kabupaten Bima dapat mendengar, dan menerima apirasi masyarakat, dan memikirkan kemungkinan merealisasikannya.
Yang tidak kalah pentingnya adalah pemimpin daerah dapat melihat langsung situasi dan kondisi kehidupan masyarakat. Syukur-syukur Bupati dan Wakil Bupati dan rombongan menyempatkan diri melihat sepintas lalu, setidak-tidaknya meninjau sekilas beberapa desa yang ada di kecamatan yang dikunjungi.
Program “mendesa” seperti ini sebenarnya memiliki pesan yang mendalam, yakni adanya perhatian dan pengawasan langsung dari pimpinan daerah terhadap pemerintah di daerah bawahan.
Selama ini pemerintah desa mungkin lebih banyak melaporkan yang bagus-bagus kepada atasannya karena berpikir pimpinan tidak akan pernah mengeceknya di lapangan.
Bupati bisa langsung mengecek berbagai masalah secara langsung kepada camat dan juga masyarakat dalam sesi tatap muka.
Bagi masyarakat, kehadiran pemimpin di tengah mereka merupakan kesempatan sangat berharga untuk menyampaikan unek-unek dan curhat-nya. Masalah-masalah pelayanan masyarakat hendaknya harus diungkapkan kepada pimpinan daerah agar pimpinan di tingkat bawah juga bersemangat.
Di Kecamatan Parado, masalah yang sangat urgen adalah belum adanya lembaga keuangan (bank) milik pemerintah. Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang selama ini dinilai dekat dengan rakyat karena menggunakan nama ‘rakyat’ seharusnya jauh lebih dulu hadir bersamaan dengan pemekaran Kecamatan Parado dari kecamatan induk, Monta beberapa tahun silam.
Saya pernah menyampaikan persoalan ini kepada seorang teman yang kebetulan pernah memangku jabatan paling puncak di BRI, namun karena kesibukan beliau yang cukup banyak, masukan informasi saya tersebut terlupakan.
Akibat dari ketiadaan institusi perbankan pemerintah, warga Kecamatan Parado harus meninggalkan kecamatannya hanya untuk berurusan dengan anjungan tunai mandiri (ATM) saat menarik uang di Desa Tangga Kecamatan Monta, tetangganya, yang jaraknya sekitar 25,2 km dan memerlukan waktu sekitar 45 menit berkendara.
Akibat tidak tersedianya bank, peranan lembaga keuangan beralih ke institusi penggadaian swasta, bahkan perorangan yang tentu saja lebih mengkedepankan profit dibandingkan pelayanan dan aspek sosial. Kehadiran sebuah kecamatan baru, sejatinya harus diikuti oleh pengamatan yang mendalam oleh institusi keuangan terhadap kemungkinan peluang membuka kantor baru.
Kehadiran bank ini menjadi penting lagi karena tingkat pendapatan masyarakat Kecamatan Parado sudah mulai membaik dengan adanya sumber-sumber ekonomi yang diusahakan dan pendapatan. Misalnya, penanaman jagung, kemiri, dan sebagainya. Juga dengan usaha peternakan sapi.
Lihat saja banyak kendaraan bermotor roda empat dan enam (truk) dimiliki warga. Ini merupakan pemandangan yang tidak pernah terjadi sekitar 20-an tahun silam.
Akibat tidak adanya institusi perbankan, muncul usaha-usaha model layanan transaksi keuangan secara daring. Usaha seperti ini memang jelas membuka lapangan kerja baru, tetapi masih didominasi dan digandeng oleh mereka yang sudah memiliki beragam usaha yang lain, seperti membuka toko yang melayani berbagai kebutuhan masyarakat.
Jika saja setiap jenis usaha itu dilaksanakan oleh pribadi-pribadi, jelas akan berpengaruh bagi pembukaan lapangan usaha baru.
Sekarang ini, pemerintah meluncurkan program seragam membentuk Koperasi Merah Putih. Berbicara masalah koperasi, lembaga usaha bersama berdasarkan kekeluargaan ini sebenarnya sudah ada sejak lama.
Koperasi sudah ada sejak tahun 1886 yang diperkenalkan oleh Patih Purwokerto R.Ariawiraatmaja yang mendirikan sebuah bank tabungan untuk pegawai negeri dengan tujuan membantu mereka yang kesulitan membayar bunga tinggi dari rentenir.
Ide koperasi disebarluaskan oleh De Wolft van Westerrode yang juga berkontribusi dalam perkembangan koperasi di zaman kolonial. Pada tahun 1908 pergerakan koperasi mulai berkembang dengan pendirian koperasi rumah tangga yang dimotori oleh Boedi Oetomo.
Kongres Koperasi Pertama dilaksanakan di Tasikmalaya pada tanggal 12 Juli 1947 yang kemudian menjadi dasar ditetapkannya Hari Koperasi Indonesia. Dan, terpilihlah Drs.Moh.Hatta sebagai Bapak Koperasi Indonesia karena kontribusinya dalam pengembangan koperasi di Indonesia.
Pada tahun 1967, pemerintah mengeluarkan UU No.12 Tahun 1967 tentang Pokok Utama Perkoperasian. Undang-undang itu kemudian diikuti pada tahun 1978 pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden No.2 Tahun 1978 mengenai Koperasi Unit Desa (KUD). Kehadiran KUD lebih banyak membawa cerita duka dibandingkan suka. Banyaknya kredit yang menyertai kehadiran KUD telah melahirkan banyak penyimpangan dalam bentuk kredit macet.
Sebenarnya ada persepsi yang keliru, masyarakat menganggap kredit yang dikucurkan melalui KUD merupakan hibah pemerintah yang tidak perlu dibayar kembali alias gratis.
Keadaan ini diperburuk lagi oleh pengelola manajemen koperasi yang tidak memiliki integritas dan moral yang dapat dipertanggungjawabnya. Banyak dana koperasi diselewengkan. KUD pun terlilit utang lantaran ulah pengurusnya sendiri. Sudah banyak contoh tentang hal ini. Sehingga, cerita KUD ini hanya terdengar hingga awal tahun 1990-an dan kini tinggal kenangan.
Tantangan koperasi sekarang, yakni Koperasi Merah Putih, juga akan mengalami nasib yang sama dengan KUD, jika para pengurusnya tidak memiliki integritas dan moral yang mulia.
Tantangan ini semakin keras dan menggoda lagi saat manusia Indonesia tergerus oleh pola hidup konsumtif. Gaya hidup manusia Indonesia yang semula hanya dikenal di kota-kota besar, kini akibat perkembangan teknologi sudah masuk ke sudut-sudut desa terpencil.
Tidak heran korupsi pun merebak di desa, terlebih lagi dengan adanya dana desa yang digelontorkan pemerintah beberapa tahun terakhir. Desa-desa yang semula ‘hidup Senin-Kamis’ dalam urusan keuangan, kini tiba-tiba bagaikan mengalami ‘air bah’ finansial dengan hadirnya Anggaran Dana Desa (ADD).
Pola konsumtif masyarakat ini semakin diperparah oleh kehadiran teknologi informasi yang menjanjikan berbagai peluang usaha instan.
Seperti yang kita saksikan di media sosial, masyarakat Bima ramai-ramai menjadi konten kreator. Sebenarnya sah-sah saja dan tidak ada salahnya, bahkan sangat membantu sebagai usaha untuk mengurangi jumlah angka pengangguran, namun konten yang ditawarkan terkadang harus melindas privasi dan kenyamanan orang lain.
Konten yang menunjang berbagai usaha untuk mempromosikan daerah memang sudah ada, terutama di sektor pariwisata alam, namun masih perlu yang lebih spesifik lagi. Misalnya tradisi dan kearifan lokal Bima. Paling tidak instansi terkait harus memanfaatkan mereka (para konten kreator) ini agar lebih positif lagi dalam menyampaikan pesan yang dapat diterima oleh khalayak.
Tetapi yang harus dilakukan oleh pemerintah kecamatan, sebelum rombongan bupati berkunjung, camat yang bersangkutan harus duduk bersama dengan para kepala desa. Tujuannya, apa sebenarnya permasalahan yang paling urgen masing-masing di desanya. Camat menginventarisasi permasalahan seluruh desa tersebut kemudian secara akumulatif menyampaikannya kepada Bupati saat berkunjung.
Cara ini supaya ketika ada pertemuan berlangsung secara efektif, dari segi waktu dan juga jumlah yang menyampaikan. Masukan yang hendak disampaikan pun sudah terseleksi dengan baik. Kalau tidak seperti itu, setiap kepala desa akan berbicara-bicara sendiri dan itu tidak efektif. Lain soalnya, kalau para kepala desa mau juga ikut bersuara di hadapan pemimpinnya.
Oleh sebab itu, kehadiran “Selasa Menyapa” diharapkan dapat memberikan solusi baru terhadap masalah-masalah yang dihadapi masyarakat Kabupaten Bima selama ini. Terutama yang paling memprihatinkan adalah tentang penyalahgunaan narkoba yang sangat marak.
Jangan biarkan masyarakat melapor ke media sosial, satu-satunya kanal yang paling cepat jadi pilihan untuk menyampaikan uneg-uneg.
“Selasa Menyapa” juga dapat bermanfaat bagi upaya pemerintah kabupaten melakukan pengawasan langsung agar tidak hanya menunggu laporan asal bapak senang (ABS).
Makanya, sekali-sekali inspeksi mendadak (sidak) perlu dilakukan untuk mengecek suatu proyek yang sudah diberikan kepada suatu kecamatan. Sidak ini sekarang sudah jauh lebih mudah. Tidak harus langsung fisik pemimpin dan pimpinan yang ke lokasi, tetapi cukup dengan memanfaatkan komunikasi yang saat ini ada di ujung jari.
Jika “Selasa Menyapa” merupakan aksi tiap minggu, ‘sapaan’ melalui gawai atau komunikasi telepon seluler dapat dilakukan kapan saja. Dan, ini lebih memberikan kesan “shock therapy” (terapi kejut) dan inilah sidak yang murni. (*).
* Penulis, akademisi, penulis, dan jurnalis, tinggal di Makassar.