DPRD NTB Soroti Kecilnya Pendapatan Retribusi Bongkar Muat Kapal Pesiar di Gili Mas Untuk Daerah

Pertemuan Komisi IV DPRD NTB dengan General Manager PT Pelindo Kunto Wibisono, Kamis (13/2/2025).

Gardaasakota.com.-Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi NTB menyoroti kecilnya pendapatann retribusi yang didapatkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lombok Barat terkait kegiatan bongkar muat kapal pesiar di Pelabuhan Gili Mas, Lembar, Lombok Barat, NTB.

Sesuai aturan, jumlah retribusi yang disetor PT Pelindo selaku pengelola Pelabuhan Gili Mas untuk sekali bongkar muat Kapal Pesiar sebesar 5 persen. Jumlah itu pun mendapat kritik dari Ketua Komisi IV DPRD NTB Hamdan Kasim bersama Sekretaris Komisi IV Hasbullah Muis Konco bersama 4 Anggota Komisi.

“Kami kaget, retribusi kapal pesiar ini sangat kecil hanya 5 persen sekali bongkar muat. Kami juga mempertanyakan bagiamana model devidennya. Sebagai daerah yang disandarkan dari provinsi NTB dan kabupaten Lombok Barat bisa dapat apa?” tegas Hamdan mempertanyakan itu kepada General Manager PT Pelindo Kunto Wibisono, Kamis (13/2/2025).

Menurut Hamdan besaran retribusi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari aktivitas kapal di kawasan PT Pelindo itu dirasa cukup kecil dengan banyaknya aktivitas kapal pesiar tahun 2025 mencapai 29 kali sandar.

“Saya pertanyakan aturannya. Kalau 5 persen ke negara berapa ke pusat? Berapa ke provinsi? Berapa ke daerah Lombok Barat? Kalau segitu, pelabuhan ini buat apa? Lebih baik tidak ada,” tegas Hamdan.

Bayangan Hamdan, jika 29 kapal pesiar sandar di Pelabuhan Gili Mas, maka PT Pelindo akan menerima pendapatan Rp 5,8 miliar. Maka PNBP yang diterima negara ke daerah sebesar 5 persen itu tidak lebih dari Rp 300 juta.

“Itu sangat tipis sekali PAD yang kita dapat ini. Kalau seperti itu polanya, untuk apa kita punya pelabuhan Gili Mas ini,” ujar Hamdan.

General Manager PT Pelindo Kunto Wibisono mengatakan pendapatan dari kapal pesiar dan aktivitas kapal di Gili Mas ini dialokasikan untuk pengembangan Gili Mas. Mulai dari proses pembebasan lahan, dan pembangunan dermaga serta fasilitas yang memerlukan nilai cukup besar.

“Ada juga biaya pengelolaan biaya operasional dan biaya pegawai kami ya,” ujar Wibisono.

Menurut Wibisono sesuai kesepakatan retribusi kapal pesiar sekali sandar di pelabuhan Gili Mas mencapai Rp 200 juta. Selama tahun 2024, sebanyak 22 kapal pesiar sudah sandar di Pelabuhan Gili Mas.

“Tahun ini sudah ada 8 kapal pesiar yang sandar dari rencana 29 kapal sampai bulan Desember 2025,” katanya.

Menurut Wibisono 5 persen retribusi kapal pesiar untuk negara itu diserahkan langsung ke Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Kelas III Lembar Lombok Barat.

“Jadi pendapatan yang diterima bongkar muat ini PT Pelindo memberikan 5 persen ke KSOP Kelas III Lembar. Secara kewajiban penyerahan itu melalui perjanjian kerjasama antara PT Pelindo sebagai badan usaha pelabuhan,” ujar Wibisono.

Wibisono mengatakan pada tahun 2024, kapal pesiar Cruise membawa penumpang sebanyak 72.910 penumpang ke Lombok. Rata-rata lama kapal sandar hanya 12 jam di Pelabuhan Gili Mas.

Hadir dalam agenda tersebut, Kepala Dinas Perhubungan NTB Lalu Moh Faozal menjelaskan bahwa keberadaan pelabuhan Gili Mas Lembar Lombok Barat tentu sangat potensial bagi Provinsi NTB dan Kabupaten Lombok Barat.

“Pembangunan Gili Mas ini sangat potensial. Di sini ada 4 aktivitas bisnis sangat potensial, ada Tugu Mas, ada Gili Mas, Pelabuhan Yacht dan Petikemas (rencana),” katanya.

Awal pembangunan Gili Mas kata Faozal dilakukan dengan mereklamasi 15 hektar lebih kawasan pantai di Kecamatan Lembar. Bahkan dalam rencana, Gili Mas bakal dijadikan Petikemas seperti di pelabuhan Perak Surabaya.

“Keluhan pertama kenapa daerah kita tidak bisa ekspor impor karena kita belum bisa melakukan peti kemas. Jadi ini skenario kita reklamasi awal Gili Mas untuk peti kemas,” ujar Faozal.

Selain itu Faozal melanjutkan PT Pelindo juga mengelola khusus Yacht yang akan dikembangkan oleh Pelindo. Jika ini bisa dikelola bisa mendapatkan pendapatan asli daerah cukup signifikan.

“Dulu kita mati-matian gandeng Cruise untuk bisa sandar di sini. Jadi kami melihat lebih bermanfaat ekonomi kita ketimbang mengelola Bandara,” tandas Faozal. (**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You cannot copy content of this page